Disclaimer:
Cerita ini mengandung banyak hal-hal yang bertolak belakang dengan norma dan aturan moral masyarakat umum. Ini sekali lagi hanya karya fiksi, mungkin pola pikir yang menyimpang (LGBT, Freesex, kekerasan verbal/unverbal, dll) akan lebih m...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bugh!
Jaehyun meringis. Tangannya terulur menyentuh sudut rahangnya yang terasa lumayan nyeri. Untung saja seratus juta dolar itu besar. Kalau tidak, mungkin sekarang ia sudah membalas tinjuan itu dan mengabaikan fakta kalau Kwon Jiyong adalah konglomerat golongan teratas di Korea.
"Bagaimana kemajuannya?"
Bahkan pria tua itu berbicara tanpa basa-basi lagi.
"Sekarang putri anda sudah hampir sepenuhnya mempercayakan segala hal pada saya, tuan."
Sudut bibir Jiyong tertarik apik. Ia kemudian kembali duduk di kursi kekuasaannya. Mempertemukan jemarinya di atas meja, masih dengan tatapan fokus pada Jaehyun. "Lalu?"
"Lalu setelah itu, mungkin saya akan lebih mudah membawanya datang ke hadapan anda tanpa rasa curiga sama sekali."
"Kau ingin membohonginya?"
Jaehyun terdiam. Ia tak berani menjawab, apalagi menatap mata lawan bicaranya. Nada bicara Jiyong juga sudah terdengar lain, seakan ada hal lain yang sengaja ia siratkan dari kalimat pertanyaan itu.
"Suatu saat, mungkin saat kau kembali melihatnya, kau akan jadi target baru yang paling ingin di bunuhnya. Atau bahkan di lupakannya. Dia akan bertingkah seolah tidak pernah mengenalmu dan melupakanmu tanpa peduli kalau kau mungkin akan merindukannya saat itu. Apa kau baik-baik saja dengan itu?" Jiyong berujar seakan tau dengan sesuatu yang mulai tumbuh di dalam hati Jaehyun. Tatapan matanya menyelidik, menatap Jaehyun dengan seutas senyum tak percaya.
"Saya baik-baik saja dengan itu, Tuan Kwon."
Melihat Jaehyun yang seakan percaya diri dengan kalimatnya, tak ayal membuat Jiyong jadi tertawa lepas. "Hahahahaha... Baguslah kalau kau juga paham. Aku juga tau putriku sangat cantik, makanya aku ingin memberinya dunia yang paling sempurna, yang di inginkan semua orang. Tidak, Korea bukanlah rumah yang baik untuknya. Aku hanya ingin menjaganya tanpa rasa benci darinya lagi. Aku ingin berdamai dan melihatnya hidup bahagia. Lisa itu berlian terakhir yang ku punya, yang bahkan sebutir debu pun tak seharusnya lancang menyentuhnya."
Lain kali Jaehyun akan mengingat kalimat itu. Baiklah, Jaehyun adalah debu yang di maksud si Konglomerat. Sebenarnya itu menyakitkan, tapi Jaehyun juga tak memiliki apapun untuk membantah kalimat itu. Nyatanya memang benar, hidupnya memang seperti debu yang beterbangan tak tentu arah. Tidak jelas. Ia hanya mengikuti alur angin yang membawanya.
"Selesaikan tugasmu dengan hati-hati, selalu laporkan tentang perkembangannya, tanpa harus menungguku yang menghubungimu lebih dulu."