Ruang VIP di hotel tempat lamaran berlangsung menjadi sunyi, hanya terdapat dentingan garpu dan sendok membentur piring. Keluarga inti Lia dan Kurniawan berada di ruang VIP lain untuk menyantap makanan. Di ruang ini hanya ada mereka berdua, yang sama-sama sedang mengisi perut setelah sejak pagi terlebih Kurniawan sama sekali tidak memasukkan makanan sedikit pun. Acara masih berlangsung, dengan beberapa hiburan meski acara inti telah terlaksana.
"Ga enak kebayanya?" tanya Kurniawan pelan setelah melihat Lia yang tampak sering membetulkan bagian pinggangnya. Kalimat pertama yang Kurniawan lontarkan setelah pertarungan di panggung tadi.
"Perutku ketahan banget" balas Lia singkat dan buru-buru meracik nasi beserta lauk dari piringnya
Model kebaya memang dibuat untuk memperlihatkan kesan ramping pemakainya. Kebaya berwarna sedikit jingga yang ia pakai dipadukan dengan kain batik yang membelit sekujur kakinya. Lia berubah menjadi wanita yang elegan, pembawaannya mahal, Kurniawan merasa jika Lia tampak lebih berbeda meskipun sejak tadi senyum tulus tak pernah gadis itu tampilkan.
"Besok-besok kalau ada apa-apa diurus sendiri" tambah Kurniawan
Lia sedikit terkejut dengan respon pria di sebelahnya. Baru kali ini ia mendengar Kurniawan mengomentarinya. Selama kurang lebih sebulan menuju lamaran, jangan berharap komunikasi mereka lancar, masih lebih longgar kemacetan jalan dua arah ditutup satu untuk perbaikan.
"Biar tahu kenyamanannya. Yang tahu nyaman enggaknya juga kamu sendiri"
Kurniawan menyantap sup krimnya perlahan, tangan kirinya bertumpu di atas meja. Sesekali ia memperhatikan Lia yang tidak kalah sibuk menyantap sate penuh semangat. Sejak pagi Lia tidak menyantap makanan hanya karena Bu Ambar takut kebaya miliknya sempit di bagian perut.
Kurniawan membawa tisu di sebelahnya ke arah cincin permata hijau yang ia sematkan di jari tengah Lia. Tepat di atas cincin tersebut, bumbu sate yang Lia makan tercecer. Lia menghentikan agenda mengunyahnya. Terkejut dengan tingkah (tunangannya) ini.
"Aku bisa sendiri" kata Lia mengambil tisu yang masih berada di tangan Kurniawan
Kurniawan membuang senyumnya ke arah kiri, menyembunyikan raut tersebut dari Lia.
"Cantik"
Lia yang baru saja mengusap pelan tepi bibirnya karena selesai makan, terhenti menatap Kurniawan yang memujinya. Hampir tidak pernah ia mendapat pujian cantik dari seorang laki-laki dalam hidupnya. Tak lama kemudian, Kurniawan tampak menatap serius kilau permata hijau di jari tengah Lia. Cincin pemberiannya. Objek pujian tersebut.
"Cincinnya"
Fiuuuhhh.. sepercik kecil kebahagiaan Lia hilang. Terganti perasaan sebal. Kurniawan tidak mungkin memujinya cantik, sekali lagi, mereka hanya akan menikah, bukan sudah saling jatuh cinta dan ingin merajut kasih sepanjang masa seperti pasangan pada umumnya.
Lia hanya tidak sadar, jika sejak tadi pria di sampingnya sering mencuri pandang. Entah definisi seperti apa tentangnya yang pria itu pendam. Kurniawan bahkan menjaga Lia seksama, berada di sebelah kanannya agar tidak menyenggol orang yang berpapasan dengannya. Kurniawan bahkan meminta adik Lia untuk membawakan sandal, melihat beberapa kali Lia sedikit terlihat kesakitan pada bagian tumit.
**
"Kamu udah gila, Mas!! Kamu tidak berpikir banyak tentang ini.. bagaimana bisa perempuan yang akan menjadi istrimu itu bersikap semena-mena terhadap kamu" Bu Tyas mengeluarkan segala emosinya begitu sampai di kamar hotel yang disewa oleh keluarga Kurniawan.
Sejak keluar dari aula dan berpisah dengan kedua belah keluarga, Bu Tyas mengisyaratkan Pak Riyandi dan Kurniawan untuk mengikutinya. Di dalam juga ada Himawan, kakak Kurniawan yang ikut menyaksikan bagaimana Lia mengajukan syarat tadi. Himawan tersenyum lebar melihat adiknya diperlakukan sedemikian rupa oleh calon iparnya itu.
"Kenapa ga kamu tolak saja, kamu katakan ke dia bahwa ini sudah keterlaluan. Biar seluruh keluarga tahu tidak sopannya cah wedok itu karena tidak berbicara denganmu terlebih dahulu." Amarah Bu Tyas makin menjadi-jadi. Sambil mondar mandir mengelilingi kursi yang diduduki suami dan anak-anaknya, ia terus merentetkan kalimat penuh nada kesal.
"Kamu tahu kan respon keluarga kita bagaimana?!!"
"Mbok sudah, Ma. Ini kan sudah jadi keputusan Kurnia.." Pak Riyandi akhirnya bersuara
"Ayah lihat ga to tadi ituu!"
"Ya lihat.. Ayah kan ada di sana juga.. sebelah Mama juga" gurau Pak Riyandi
"Halaaahhh" kata Bu Tyas dengan cemberut
"Kurnia boleh izin menyuarakan pendapat?"
Bu Tyas diam, duduk di samping Himawan seraya mengontrol napasnya. Berupaya untuk mendengarkan Kurniawan dan meredam emosinya.
"Yang pertama, tidak mungkin Kurnia menolak persyaratan tersebut, sejak awal cara Kurnia untuk langsung mengajak Lia menikah memang kurang tepat. Kedua, kalau Kurnia menolak, otomatis kedua keluarga semakin curiga jika hal ini sebelumnya belum kita bicarakan. Ini lamaran, urusan nanti sama Lia, biar Kurnia bicarakan berdua. Lagi pula sesekali Lia sering menyinggungnya saat kami berkomunikasi.."
Untuk yang satu ini, Kurniawan memilih sedikit berbohong. Paling tidak, sosok Lia dimata kedua orang tuanya tidak seburuk itu. Jangankan berkomunikasi dan membahas ini, baik dirinya dan Lia sama sekali tidak pernah berupaya membangun komunikasi. Catatan terakhir komunikasi mereka terjadi saat lamaran via telefon. Selanjutnya ia hanya berani melihat keseharian calon istrinya melalui story tanpa mengetik pesan apa pun.
"Yang ketiga, sejak awal Ayah dan Mama lebih tahu terlebih dahulu mengenai latar belakang Lia dibanding aku. Mama sendiri yang ngendika kalau Lia sudah Mama kenal sejak dulu. Aku juga gak bisa bayangin kalau syaratnya ku tolak. Bukankah kita juga ikut malu."
"Tapi Mama kasihan dengan kamu, Nang..." pungkas Bu Tyas jujur
Ibu mana yang tega melihat anaknya diperlakukan demikian di hadapan keluarga besarnya.
Kurniawan tersenyum tipis pada sang ibu.
"Itu tantangan Kurnia, ya gak, Nang!" sahut Himawan memberi dukungan pada sang adik
Kurniawan terkekeh setuju. Ya.. tantangan seorang laki-laki.
"Lagian cuma gini, cah lanang kudu kuat" tambah Pak Riyandi
"Tenang aja, Ma. Makanya Kurnia butuh banyak doa. Doain ya.. mau kan?"
Semburat senja muncul di pipi Bu Tyas yang mencoba meredam senyum kesalnya.
"Mana ada Ibu yang gak mau doain anaknya"
"Mama berharap, dia bisa jadi istri yang baik buat kamu, istri yang penurut, yang menghargai kamu sebagai sosok pemimpin keluarga."
"Amiiinnn.." Kurniawan mengaminkan harapan mamanya dengan keyakinan penuh
"Wess gede too cah iki, Ya!!"
Himawan menepuk pundak Kurniawan lumayan keras, disambut kekehan oleh Pak Riyandi dan Bu Tyas.
"Mangsane cocok tanam!!"
"Heh!!" tatapan tajam Bu Tyas memperingatkan
Kurniawan tersenyum menatap mamanya. Perasaannya menghangat, setidaknya semangat dari keluarganyalah yang bisa terus menguatkannya. Urusan hubungannya dengan Lia biar sambil berjalan, toh wanita itu terlihat untuk tidak terus buru-buru dalam menjalani hubungan mereka. Lagi pula Kurniawan punya banyak waktu untuk terus mengenal Lia. Untuk membuktikan keseriusannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ripuh
General FictionMenjadi seorang yang tidak mudah dicintai tak pernah ada direncana hidup Nurmalia. Hingga ia memutuskan untuk tidak menargetkan diri mendapat pasangan. Kebahagiaan hidupnya bukan untuk menikah. Tapi apa jadinya jika anak teman ayahnya, memilih untuk...