Kita Yang Saling Salah

9.6K 773 13
                                    

"Banyak pasangan menikah berdasar rispek. Sedikit sekali yang beruntung bisa menikah karena merawat cintanya sejak lama. Berpacaran bertahun-tahun atau bahkan sejak di bangku sekolah. Lelaki bertahan dan serius dengan komitmen hingga berumah tangga. Kamu pasti tahu kita termasuk kelompok mana"

Aku mengangguk. Kala itu bersama Yelwa kami duduk di restoran cepat saji, menikmati kulit ayam krispi dan minuman bersoda. Kami membicarakan keputusasaan kami dalam dunia percintaan.

Aku yang hampir tidak pernah dekat dengan siapapun. Yelwa baru saja putus dan satu tahun setelahnya aku menikah sedangkan dia gagal lagi.
Kehidupan pernikahan setiap orang tentu berbeda.

Tidak semua rumah tangga seharmonis rumah tangga Ayah Riyandi. Mertuaku adalah dua orang dengan kisah cinta mainstream yang manis hingga umur pernikahan lebih dari 30 tahun. Mereka jatuh cinta karena satu kelas dulu saat duduk di bangku SMA.

Ayah tidak pernah malu menunjukkan perhatiannya pada Mama. Membuatkan kopi untuk Mama meski baru saja pulang kerja, mengekori Mama kemanapun, hingga tak sungkan untuk memberikan kecupan manis di pipi sang istri meskipun di depan keluarga.

Mama juga tak jauh berbeda, ia paham betul apa yang mampu menyembuhkan Ayah ketika sakit. Mama bahkan membelikan vinyl band asal Amerika yang sama-sama mereka berdua gemari. Hampir setiap pagi, Mama menemani Ayah berolahraga. Gambaran pria dan wanita berkecukupan yang hidup dalam ketenangan dan menikmati masa tua bersama.

Melihat interaksi kedua mertuaku sering serta merta membuatku iri. Memang menyenangkan untuk menua dengan orang yang serasi sekaligus serius.

Mama beruntung mendapatkan Ayah, sedangkan anaknya tak seberuntung itu. Kurniawan tidak menikah karena mencintaiku sejak awal. Tapi kami saling mengusahakan untuk menumbuhkan cinta itu.

"Lia, menikah itu bukan hubungan yang biasa. Ini hubungan yang serius. Dan agama kita sama sekali tak menghalalkan hubungan lawan jenis yang bukan mahram selain pernikahan. Di dalamnya ada cinta, ada pertanggung jawaban, ada kesetiaan." jawab Kurniawan dulu saat kami ditimpa sebuah masalah

Aku menjalani pernikahan seperti biasanya aku menjalani hidup sendiri. Tidak terlalu banyak berubah, tapi sesekali rasanya seperti tidak percaya diri. Ternyata ada pria yang menikahiku.

Kadang rasanya kagum dengan beberapa sikap Kurniawan. Kami jauh berbeda. Meski tingkat kedewasaan dan kematangan seseorang tidak lantas membuatnya luput dari kesalahan.

Selain tubuh yang belum kembali lebih segar, proses pemulihan paska operasi benar-benar menguras tenaga. Selama berhari-hari Kurniawan tidak beranjak dari sisi kami berdua. Ia bahkan lebih siaga urusan mengganti popok ketimbang aku yang masih terus belajar untuk duduk dan berjalan.

"Yaa.. maaf.. aku tahu seribu alasan atau seribu maaf yang aku kasih ke kamu sama sekali ga bisa menebus kesalahan yang aku lakukan. Aku sadar ini sangat fatal. Tapi izinin aku minta maaf.."

Kurniawan menjeda kalimatnya. Wajahnya memerah, menahan tangis setelah mendapat kesempatan untuk berbicara. Aku melihat bagaimana urat di lehernya ikut bergerak ke sana ke mari karena kegugupan dan kesedihan yang ia tutupi. Dia sedih.

"Maaf udah lakuin ini ke kamu.. maaf udah jadi suami yang keterlaluan. Maafin aku, Ya.. maafin pria bodoh ini"

Aku tidak sanggup untuk memberikan jawaban tapi Kurniawan sudah lebih dulu terisak. Ia letakkan wajahnya tepat di bahuku. Memelukku dari samping dan menumpahkan rasa kesalnya padaku.

Sejak Kurniawan kembali dan melihatku yang berjuang keras untuk pulih, kami memang belum terlibat berbicara serius. Maaf belum ia sampaikan. Aku cenderung diam sedangkan Kurniawan mencoba menebak dan melakukan berbagai tindakan inisiatif untuk membantuku.

"Iya gapapa" kataku pelan

"Ngono banget responmu" katanya kesal
*begitu banget respon kamu

Rasanya sulit menemukan bahasa penutur atas lukaku saat ini. Aku belum bisa memaafkannya, kesalahan Kurniawan kemarin belum bisa ku ikhlaskan. Ada sesak, ada luka, ada banyak kecewa. Tapi memang seharusnya aku mengiyakan maafnya. Aku menerima maaf Kurniawan, tapi tidak untuk mengikhlaskannya. Bukankah beberapa masalah dalam pernikahan memang demikian?

Aku ingin Kurniawan lebih sadar untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Termasuk keputusannya berangkat ke Pontianak. Hal lainnya yang sulit dimengerti dari Kurniawan adalah sikapnya yang sulit menerima pendapat. Terlebih jika keinginannya sudah bulat.

"Ya, udah aku terima maafnya"

"Kamu belum maafin aku, jangan gini, Lia. Kamu boleh pukul dan maki aku"

"Padahal kamu ngerti, aku ga akan lakuin itu. Aku terima maaf kamu, itu udah cukup kan?" jawabku

Jauh di dasar sana, tepat pada tatapan iba Kurniawan, kutemukan luka atas kekecewaannya terhadap responku. Aku tidak ingin memperpanjang masalah tidak hadirnya Kurniawan. Toh hari ini dia ada di sini. Bersama kami berdua. Itu cukup.

Kurasakan pelipisku dikecup lama olehnya. Kami sama-sama menikmati momen ini bersama. Tanpa tangisan cowok kecil yang kini mengisi hari-hari kami.

"Cukup, asal kamu masih di sini.. aku usahakan sisanya. Terimakasih udah berjuang buat dia. You safe my better half" katanya lagi

"Ohh jadi better half kamu dia"

Kurniawan yang sejak tadi tak menatap mataku akhirnya mendongakkan pandangan. Matanya membulat, dahinya sedikit mengernyit.

"Ini apaan ya? Cemburu?"

Rasa panas menjalar ke seluruh pipiku, menggoda Kurniawan nyatanya memang salah satu kelemahaku. Karena pada akhirnya, aku sendiri yang dibuat salah tingkah.

"Dik, lihat Mamanya! Masa iri ke kamu"

Kurniawan terkekeh setelah mengadukan diriku pada anaknya.

"Engggaa.." sangkalku

"You are the one, Mbak Lia"

Kecupan hangat dari bibirnya kuterima di pipi kanan, rasanya seperti diberi energi banyak. Aku mulai sadar jika ikatan suami istri memang bukan sekadar sebuah hubungan biasa. Ada nilai jiwa yang sama-sama membutuhkan satu sama lain.

Meski belum sepenuhnya berbaikan, kehadiran Kurniawan di sisiku cukup membuatku lebih tenang. Sejak kemarin aku hampir pusing menghadapi drama ASI yang belum lancar. Anak yang menangis karena tidak sabar mendapatkan asupan makanannya.

"Makasih, Pak Kurnia"

Senyum Kurniawan seketika berubah malu-malu. Mulai hari ini, aku bertekad untuk menggodanya yang baru saja resmi menjadi seorang bapak.

"Iya ya.. Pak Kurnia.. duhh tua ki aku"

"Aku juga tua"

Kami menikmati momen ketika anak kecil ini tertidur setelah mendapatkan minumnya. Rasa syukur sekaligus tak percaya sesekali mampir. Fakta bahwa bayi yang tidur di pangkuanku ini adalah hasil kolaborasi Kurniawan dan aku, cukup membuatku didera perasaan yang sulit dipahami.

"Dia terlalu memukau untuk aku yang biasa-biasa aja, Mas" keluhku

"Ga boleh gitu, kamu harus lebih luar biasa. Kamu Ibunya."

Aku mengangguk setuju. Sebagai seorang Ibu, aku memang tidak seharusnya terus merasa tak layak. Setidaklayaknya aku menjadi siapapun bagi orang lain, akulah satu-satunya orang yang layak sebagai ibu untuknya.

"Ayah udah nyiapin nama untuk dia, katanya kamu sama sekali ga boleh urun jeneng"
*ngasih ide nama

Tatapan Kurniawan berubah sendu.

"Emangg.. ga marahin tapi serakah"

"Salah sendiri" komentarku

"Ga papa, besok aku bikin anak lagi, aku kasih nama sendiri."

Aku hanya tersenyum tipis, banyak doa yang ku panjatkan atas kebersamaan kami. Semoga kami selalu dimudahkan dalam memberi dan menerima maaf untuk banyak salah-salah berikutnya. Semoga kami terus belajar.

RipuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang