Ambyar

9.3K 768 14
                                    

"Kamu di Solo?" Tanya Bu Ambar pada putrinya melalui sambungan telepon. Lia baru saja bangun, jadwal siarannya terlanjur berantakan setelah menikah dengan Kurniawan.

"Hah enggak, di rumah. Kurnia sik ke Solo"

"Lho pie to bocah iki. Mbah e Kurniawan itu meninggal. Mbah sik momong Kurniawan ket cilik"

Pasti semua orang tahu bagaimana rasanya mendengar kabar buruk orang, berhubungan denganmu dari mulut orang lain. Yang berduka suami Lia sendiri. Hati Lia seakan jatuh menggelinding.

Bagian sedih dalam pernikahan bukannya milik berdua? Lalu kenapa pria itu justru tidak membaginya sama sekali. Lia terduduk lemas. Rasanya tak sanggup dijadikan orang asing oleh suaminya.

***

Tok tok tok

Ceklek

Suara pintu dibuka dari arah dalam kamar. Gagangnya turun tanda orang di dalamnya membuka.

"Ada Lia" ucap Pak Riyandi pada putranya dengan Lia berdiri di belakangnya.

Lia baru saja sampai beberapa menit lalu, setelah duduk sebentar dan memantapkan diri, akhirnya ia bergegas pergi menuju kamar Kurniawan. Ia tahu pasti jika seluruh keluarga Kurniawan pasti berpikir yang tidak-tidak tentang pernikahan mereka. Pernikahan harmonis seperti apa di mana seorang istri tidak mengetahui duka keluarga besar suaminya.

Kurniawan datang semalam, ia menyusul sesiang ini. Saat upacara pemakaman telah selesai. Bahkan Lia sendiri belum diajak dan dikenalkan Kurniawan kepada almarhum Mbah yang meninggal ini. Lia merutukki, mencaci, dan mengasihani diri.

Kurniawan membuka pintu itu semakin lebar. Mengisyaratkan Lia untuk masuk. Sepulang dari pemakaman Mbah, ia langsung bergegas ke kamar malas bertemu saudaranya bahkan belum juga menyantap sarapan dan makan siangnya. Ia kehilangan energi.

Tapi mendengar jika istrinya datang. Perasaannya menjadi campur aduk, ia tidak tahu harus mengekspresikan dengan raut yang bagaimana lagi. Rasanya ingin marah setelah sejak semalam ia tidak mampu mengeluarkan kesedihannya.

Senyum di bibir Lia melengkung tulus, tangannya membawakan sepiring nasi, lengkap dengan lauk pauknya. Pak Riyandi yang sejak semalam sempat curiga hanya tersenyum dan meninggalkan pintu kamar Kurniawan seraya menutupnya.

Mata Kurniawan tak lepas dari gadis dengan tunik biru panjang dan celana putih itu. Rambut yang biasanya tergerai, kini dibuat sanggul sedikit urakan dan sebagian tertutup oleh selendang putih yang ia jadikan kerudung.

"Makan dulu" kata Lia berdiri gugup karena ditatap intens oleh sang suami.

Cup

Terjadi secepat kilat, tidak ada yang tahu kapan Kurniawan memberanikan diri untuk maju. Menyergap bahu Lia. Menyusupkan telapak tangan kanannya ke dalam kerudung selendang itu dan menempatkannya di bawah telinga. Tangan kirinya ia bawa mendekatkan tubuh Lia untuk semakin menempel pada tubuhnya. Sementara bibirnya sudah jelas paling tahu kemana berlabuh.

Lia tersenyum dalam ciuman itu.
"Dicium juga" batinnya

Entah senyum yang bermaksud untuk apa. Tapi yang jelas, Lia tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah menerima dan membiarkan Kurniawan memamerkan skill mumpuni ciumannya. 32 tahun, selama itu, Lia membawa tubuh yang belum terjamah siapapun itu. Pengalamannya bisa dikatakan tidak ada. Malang sekali terdengarnya.

"Stt..op" kata Lia memperingatkan Kurniawan yang akan mengambil langkah lebih dari sekadar ciumannya.

Kornea mata yang beberapa detik lalu berkobar memancarkan apinya seketika redup akibat penolakan Lia.

RipuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang