Pijatan Perut Begah

9.9K 631 21
                                    

Menjadi pasangan sempurna adalah impian banyak orang bagi masing-masing pasangannya. Berusaha untuk terus memberikan apa yang ia punya, berkorban untuk banyak hal, hingga mengupayakan diri untuk memberi hal terbaik yang ia bisa. Dan di pernikahan kami, tahun ini adalah tahun pembuktian bahwa kami berusaha menjadi sempurna.

Sudah lebih dari 5 bulan aku berada di Jogja, aku memutuskan untuk melanjutkan program masterku di salah satu universitas negeri yang berada di kota ini. Meninggalkan Lia dan Abi untuk sementara waktu. Memfokuskan diri untuk belajar banyak hal. 

"Lia mana?" tanyaku begitu melihat Abi turun digendong Mbak Ela, orang yang membantu kami mengasuh Abi diantar oleh Rais, supir kami. Mereka tiba di Jogja tepat pukul 2 siang.

"Mbak Lia ke Semarang, Mas. Mewakili Ibuk. Ini saya cuma sama Mbk Ela" jawab Rais

"Ke Semarang?"

Mbak Ela mengangguk

Kenapa Lia memilih untuk tidak meminta izin padaku, mengabari jika ia tak ikut bersama Abi ke Jogja? Ada yang salah.

Kangen Abi, Sabtu bawa dia ke Jogja ya

Pintaku seminggu yang lalu, aku meminta Abi ke Jogja tapi bukan berarti putraku akan datang sendiri. Maksudnya tetap bersama ibunya. Lebih dari itu, kalimatku sudah seharusnya diartikan otomatis jika aku meminta Lia untuk datang ke Jogja.

Nomor Lia tidak aktif. Bahkan pesanku sejak pagi tidak ia balas. Aku berpikir jika Lia tengah berada di perjalanan sehingga tidak sempat membuka hp.

"Hallo"

"Pie, Nang?"

"Mama kok mboten ngendika kalau Lia ke Semarang?"

*Mama kok tidak kasih tahu jika Lia ke Semarang?

"Loh, tak pikir udah izin kamu. Mama ga bisa berangkat soalnya, minta Lia ternyata bisa"

"Tapi ini Abi kok ga dititip ke Mama ya?"

"Abi di Jogja kalih kula"

"Lohh di Jogja to" 

"Kurnia pulang aja"

"Besok aja, biarkan Abi istirahat dulu di Jogja. Kasihan perjalanan terus"

"Iya"

Aku menatap langit-langit dengan hembusan napas kasar. Hatiku nyeri, tahu jika Lia pergi tanpa seizinku. Abi duduk di pangkuanku dengan tenang, tangan anakku sesekali meremas kecil lenganku. Sesekali kukecup dalam ubun-ubunnya.
"Kangen Ibuk nggak, Nang?" Tanyaku padanya yang pasti tak akan terjawab

"Bapak kangen banget ig"

"Kok malah ketawa-ketawa sih kamuu, kok seneng gitu"

"Tawa Abi terdengar tulus saat aku angkat tubuhnya yang baru berumur satu tahun itu ke atas, kubuat geli perutnya.

"Geli ya? Ehmm??"Aku tertidur dengan Abi di sisiku.

Bocah kecil itu bahkan belum melepaskan susu formula dari tabung minumnya meski matanya sudah lebih dulu terpejam.

Sekali lagi ku periksa ruang cakapku dengan kontak bernama Mbak Lia emot love itu. Lia belum juga membalas padahal pesanku sudah terkirim. Ku dial sekali lagi dan tetap sama, tak mendapat jawaban.

***

Kami berdua terdiam. Lia duduk menikmati tehnya dan aku memandang pemandangan di depanku dengan penuh risau. Ada banyak degup yang kencang. Ada rindu yang butuh ruang. Ada tubuh yang meronta sentuh. Ada hati yang menjerit untuk pulang. Lia di dekatku tapi tak bersedia membukakan pintu.

RipuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang