Mi Goreng

8.8K 849 39
                                    

Semakin dekat hari kelahiran, seorang ibu pasti akan dibuat lebih banyak pikiran. Akan sangat melegakan sekaligus menyedihkan mendapati penghuni perut sebentar lagi berada di dunia yang sebenarnya. Menghirup udara dari hidung, menggapai banyak hal, menggenggam banyak benda, hingga merasakan makanan sendiri.

Lia tidak bisa berhenti meyakinkan diri bahwa sebentar lagi, dalam hitungan hari, ia akan segera menjadi seorang ibu sepenuhnya. Perempuan yang akan melalui proses memberi ASI untuk anaknya, perempuan yang rela jam tidurnya diambil, juga hal-hal pertama lainnya yang akan ia hadapi.

"Hallo"

Suara di seberang sana membuat Lia bergetar, sudah lama panggilan kepada seorang yang melahirkannya tidak pernah ia sambungkan. Beberapa kali berhubungan dengan sang Ibu harus melalui Kurniawan.

"Buk.."

"Pie, Yaa?"

*bagaimana, Ya?

"Ibuk sehat?" tanya Lia bimbang

Pertanyaan basa basi yang memang ia tunjukkan pada sang Ibu, rindu untuk bercanda terasa mengumpul membuat seluruh penjuru hatinya sesak.

"Sehat" jawab Bu Ambar seperti memastikan sesuatu

Setelah balasan singkat itu dilontarkan, Lia teralu sulit untuk membuka kembali mulutnya, menanyakan sesuatu atau bahkan mengutarakan maksudnya. Ia gigit bagian atas bibir dalamnya, berharap rasa ragu itu perlahan surut.

"Ibuk purun ting, Solo? Kula badhe operasi"

*Ibu mau jika ke Solo? Rencananya aku akan operasi

Lia mengeratkan kedua sisi giginya, menghalau air mata yang sepertinya hanya dalam hitungan detik akan turun. Sudah ia pasrahkan segala jawaban yang akan keluar dari mulut sang Ibu. Bahkan jika penolakan sekalipun. Tidak ada yang harus ia paksakan, ia tidak ingin menaruh ekspektasi berlebihan yang nantinya malah melukainya.

"Syukur yen ngana.. tak dongakke muga gampang anggone nglakoni operasi"

*syukurlah kalau begitu.. nanti ku doakan semoga mudah saat dilakukan operasi nanti

Hampir saja air matanya tumpah tapi Lia mencoba menegarkan diri. Jawaban seperti ini bukanlah jawaban yang ia inginkan. Nyatanya sang Ibu tidak memberi pernyataan jika ia bersedia datang atau tidak. Tak apa. Setidaknya ia merasa lega, pinta doanya telah ia sampaikan.

"Maturnuwun, Buk. Salam buat Bapak. Semoga sehat-sehat" jawab Lia pelan, mengubur dalam isakan tangisnya. Meredam bunyi isak yang bisa keluar dari mulutnya.

"Iya, Nduk"

Rasanya hancur mendengar kecanggungan seperti ini masih terus berjalan meski banyak hari terlalui. Kehamilan ini berat. Meski tak pernah Lia utarakan bagaimana beratnya. Bahkan kepada Kurniawan sekalipun. Pria itu hanya mengetahui bagaimana ia kesulitan berjalan dan tidur, selebihnya hanya Lia sendiri yang merasakan.

***

Sejak Lia sama sekali tidak bekerja dan hamil, Kurniawan menjadi lebih giat dari biasanya. Pria itu bahkan tidak banyak menolak tawaran diskusi-diskusi bisnis juga entrepreneur yang dulu sering ia tolak. Tidak jarang Kurniawan pulang larut malam karena harus menjadi pengisi pada diskusi dengan mahasiswa di warung kopi dan lainnya. Seperti ada ketakutan tersendiri yang pria itu rasakan untuk menjadi seorang ayah. Entah persiapan seperti apa yang sedang ia siapkan.

Jika dinilai, keadaan komunikasi mereka akhir-akhir ini berjalan lumayan buruk. Pagi hari, mereka hanya akan bertemu di meja makan, menyantap sarapan lengkap dengan laporan tempat yang akan dituju Kurniawan. Terkadang Lia memilih tidak sarapan bersama, belum selera katanya. Malam hari, Kurniawan akan pulang saat Lia sudah terlelap lelah dengan kegiatan hariannya.

RipuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang