Tidak pernah ada terbesit bayangan paes Solo ini berada di wajah Lia. Meski banyak berkunjung ke kondangan sahabat, rekan kerja, bahkan saudara-saudaranya, Lia selalu mengenyahkan pikiran jika otak liarnya melanglang buana untuk memikirkan bagaimana rasanya ia memakai paes. Persoalan hubungan dalam hidupnya memang sudah seburuk itu. Konsep pernikahan tidak pernah ada dalam daftar khayalnya. Bahkan sampai detik ini, ketika wajahnya diubah sedemikian rupa sejak tadi pagi.
Diskripsi perasaannya saat ini adalah dominasi rasa kesal, sebal, tertekan, dan kalah. Juga tambahan nervous yang entah datang dari mana. Perasaan ini jelas tidak mungkin dirasakan calon pengantin wanita (CPW) pada umumnya. Kebanyakan dari mereka pasti merasakan senang, gugup, terharu, tidak sabar, atau bahkan syukur yang sangat banyak. Seharusnya Lia juga begitu. Tapi lagi-lagi, mempelai wanita satu ini bukan seperti biasanya.
"Keluarga Kurniawan sudah bersiap semua. Ayo Mbak kita turun" kata Lulu antusias mengajaknya
Perias segera mengangsurkan sandal kembali karena Lia lepas setelah pengambilan beberapa gambar sebelum pernikahan.
Pintu ballroom terbuka, Lia memasuki ruang acara. Semua mata tertuju padanya, beserta ponsel pribadi untuk mengabadikan momen ini. Di samping kanan dan kiri Lia telah ada sang adik yang menggandeng lengannya. Tidak ada senyum sedikitpun. Kurniawan yang telah duduk di salah satu kursi utama tersebut, enggan menoleh ke belakang.
"Pernikahan ini ga kayak biasanya, jadi jangan berharap suamimu akan menoleh dengan tatapan kagum, bersyukur, dan memujamu yang terlihat cantik" caci batin Lia
Entah apa yang ada di benak Lia sampai saat ini. Kegiatan yang berlangsung di depan matanya seolah berlalu begitu saja tanpa ia sadari. Kesadarannya kembali saat Kurniawan akhirnya menatap wajahnya, kedua tangan pria itu memegang lembut lengan dan sikunya lalu mendekatkan bibir miliknya di atas kening, menyentuh sebentar, terabadikan kamera, dan kembali seperti biasa.
"Oh ini to rasanya dicium keningnya sama suami, lah kok biasa wae ki" batinnya bertanya-tanya.
Lia mengamati pemandangan di depannya seperti mimpi dan bayangan. Tidak nyata. Bahkan ketika Kurniawan sesekali membantunya berdiri setelah sungkem, Bu Ambar yang menangis, perintah untuk saling menyuapi, hingga petuah ayahnya. Lia seperti melaluinya dengan setengah sadar. Entah apa yang ia pikir dan rasakan. Tiba-tiba acara pagi ini selesai.
Waktu begitu cepat berlalu hari itu. Teman-teman Lia beberapa sudah datang dengan penuh kemarahan atas undangan dadakan yang teramat mengejutkan ini. Lia kembali dirias untuk berganti gaun resepsi. Gaun yang baru ia lihat saat ia fitting, karena semua keperluan diurus oleh sang Ibu dan Bu Tyas.
Rambut Lia dibuat bergelombang tersampir di bahu kiri sehingga memperlihatkan punggungnya yang terbuka hampir ke bagian pinggang. Konsep gaun mahal yang mengundang brand anti masuk angin bergegas menyodorkan diri. Lagi-lagi ia hanya bisa pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ripuh
General FictionMenjadi seorang yang tidak mudah dicintai tak pernah ada direncana hidup Nurmalia. Hingga ia memutuskan untuk tidak menargetkan diri mendapat pasangan. Kebahagiaan hidupnya bukan untuk menikah. Tapi apa jadinya jika anak teman ayahnya, memilih untuk...