Hidup Baru

9K 871 49
                                    

“Pak Atman, nanti minta tolong ambil karangan bunga ya. Sekalian nanti anterin, soalnya kula mboten bayar ongkir sekalian hehe. Rencananya biar Pak Atman mawon ngoten sik antar
*saya tidak membayar ongkir
*saja begitu yang mengantar

“Siap, Mbak. Ibu sudah pulang, Mbak”

Perempuan yang memerintah Pak Atman mengangguk paham seraya mengacungkan jempol tangan kanannya dengan bibir yang lamat-lamat mengucapkan terimakasih. Setelahnya berbalik untuk masuk rumah. Cuaca beberapa hari ini memang sedang panas-panasnya. Sepanjang perjalanan pulang tadi, tak henti bola matanya melirik ke arah penjual es. Rencananya ia akan segera menghancurkan buah semangka di kulkas dibubuhi banyak es batu untuk meredakan hausnya.

“Ma.. tadi kula supe mundut laund..”
*aku lupa ngambil

Sebab terburu-buru masuk dan mendapati orang yang ia cari tengah berdiri menatapnya sejak ia membuka pintu, perempuan yang baru masuk rumah bernuansa tropis ini tidak sadar sama sekali jika ada orang lain di ruangan tersebut.

“..ry”

Kalimatnya tertelan begitu mendapati tatapan menghunus tanpa ekspresi seorang pria yang ia hindari selama beberapa hari ini.

“Ga diambil ya? Gapapa nanti Mama telfon suruh anter sekalian aja” jawab perempuan paruh baya yang mengetahui anak perempuannya baru masuk rumah dan terlihat tegang.

“Iya, Ma. Supe
*lupa

Nurmalia Mega Kinanthi, perempuan yang mati gaya karena ditatap dengan tajam bak terdakwa yang tak memiliki pembelaan apa-apa. Rencana kaburnya memang setengah-setengah. Kaburnya justru ke kandang habitat asli pria yang ia hindari, ke Solo. Dimana di dalamnya pasti ada sang induk yang siap memberi pertanyaan ‘kenapa tidak datang bersama Kurniawan?’. Tapi dugaan itu salah. Kedua orang tua baru Lia itu tidak memberi pertanyaan yang mendesak sama sekali. Satu hal yang membuat Lia merasa bersyukur.

Kamu ga harus punya alasan untuk datang ke sini, rumah ini, bukan hanya rumah Kurniawan. Tapi sudah menjadi rumah kamu juga. Kamu bisa pulang” kata Bu Tyas saat ia berpamitan untuk pulang ke Jogja dikunjungan mereka yang lalu.

Lia mendekat ke arah sang suami, memutari sofa tempat sang suami duduk menghadap tv 24 inch. Totebag berisi laptop dan paper bag di tangan kanannya ia letakkan di sisi kiri sofa kosongnya.

Punggung tangan Kurniawan, Lia bawa ke bibirnya untuk ia kecup tadzim. Ada ibu pria itu yang membuat Lia mau tidak mau tetap harus menunjukkan respon hormatnya pada sang suami. Bu Tyas tersenyum menyaksikan interaksi putra kedua dan menantunya. Ia memilih membiarkan kedua orang yang sedang dalam perseteruan batin rumah tangga ini untuk menyelesaikan masalahnya. Melangkah pelan meninggalkan ruang tv tanpa berniat mengusik keduanya.

“Di sini?” suara Kurniawan terdengar serak, tercekat, dan penuh keraguan setelah beberapa menit hanya berisi Lia yang duduk terdiam di sampingnya.

“Iya” jawab Lia singkat

“Kok bisa kepikiran ninggalin suami gitu aja sih? Aku pikir-pikir ga nalar soalnya di pikiranku”

Sebagai seorang yang sering mengambil keputusan-keputusan yang berat dan serius, Kurniawan dibuat terkejut saat mendapat pesan dari sang Mama membocorkan tempat persembunyian istrinya. Rumah ini sama sekali tidak berada di dalam list kemungkinan tempat yang digunakan Lia untuk bersembunyi. Tidak terlintas dipikirannya jika Lia akan datang mengadu pada lingkaran satunya.

Marahnya orang yang kebanyakan hiha hihi memang lebih mengerikan. Kurniawan termasuk kriteria lelaki yang senang bercanda, serius di pekerjaan, dan mode petir saat marah (mengeluarkan suara sesekali tapi berupa sambaran). Ketakutan melanda sekujur tubuh Lia setelah mendengar kalimat yang di keluarkan suaminya. Sejak tadi pandangan Lia hanya tertunduk pada kedua telapak tangan pria itu yang bertaut.

“Kalau ada masalah itu dibicarakan, dicari jalan keluarnya.. bukan umpet-umpetan kayak gini”
*sembunyi-sembunyi/main petak umpet

RipuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang