Menjadi Ibu

9.9K 761 23
                                    

Gyanav Abiyya Kamal

Harapan memiliki seorang cucu yang penuh pengetahuan, berani, dan sempurna telah Pak Riyandi wujudkan. Dibanding mencari sendiri nama yang tepat untuk sang cucu, Pak Riyandi melimpahkan pada Himawan untuk mencarikan nama. Larangan pada bapak sang bayi untuk ikut memberikan nama adalah larangan yang serius.

Kurniawan menerima dan menyerahkan pada Pak Riyandi untuk memilihkan nama terbaik untuk sang putra. Tak apa, ia tengah sibuk bersyukur, keadaan rumah tangganya tetap baik-baik meski ia baru saja membawa obor api yang menyulut amarah.

"Abi di mana, Mas?" tanya Lia begitu Kurnia ikut masuk ke kamar

Kurniawan yang ditanya malah berbaring miring merebahkan diri seraya mengamati sang istri. Lia tengah sibuk memasukkan cucian kering yang baru saja dilipatnya ke dalam lemari.

"Digendong Mama" jawabnya singkat

Melanjutkan kegiatan menatap Lia dengan tatapan sulit ditebak, sesekali ia tersenyum, sesekali mencoba tersadar, lalu tersenyum lagi.

Ia tengah mensyukuri hidupnya. Mempunyai istri, seorang putra, kamar lengkap dengan kasur bayi, celana kacamata berukuran kecil warna-warni yang terlipat rapi, baju-baju mungil bermotif pesawat dan karakter lucu, hingga berbagai perlengkapan bayi lainnya tersedia di sana.

"Maturnuwun Gusti" gumamnya dalam hati

Hal-hal yang dulu tidak selalu serius ia doakan terwujud dengan bentuk nyata yang lebih baik. Memang Tuhan selalu mengerti apa yang hambaNya butuhkan.

"Kamu kalau ga nikah sama aku, pasti udah dapet yang lebih sesuai selera kamu, Ya. Dapet PNS, pelukis, atau petani, orang sederhana tapi punya banyak bahagia kecil yang kamu mau. Ga kayak aku, kadang banyak di rumah, kadang lupa rumah"

Tidak ada angin tidak ada hujan, Kurniawan membuka sebuah topik. Lia sibuk membereskan peralatan bayi yang berserakan di nakas samping tempat tidur.

Jarang-jarang mereka mengobrol banyak hal setelah kehadiran Abi. Hanya ada wajah lelah karena begadang hingga ribut sesekali tentang siapa yang harus mengatasi bayi kecil mereka.

"Ga tahu sih aku. Dulu udah frustasi banget soal jodoh. Cowok pasti cari yang cantik, ga terlalu suka cewek mandiri.. bahkan ada yang bilang jangan nikahin anak nomor satu kalau ga mau diatur"

Lia menjeda kalimatnya, sesekali tersenyum tipis membayangkan dirinya dulu. Kurniawan mengernyitkan dahi mendengar istrinya yang lebih percaya Twitter.

"Ya gimana coba.. cantik? Engga. Suka ngatur? Iya. Prinsip keras, anak nomor satu, tulang punggung keluarga, jago ngomong. Aku kasihan sama kamu sih sekarang."

Lia terkekeh mengakhiri kalimatnya.
Kurniawan berjalan ke arah Lia. Berdiri di belakang sang istri dengan tangan mengusap bahu milik ibu dari anaknya itu. Kepalanya menunduk, mengecupnya pelan dan lama.

"Dulu ada yang pernah bilang, "kasihan ya yang jadi suaminya nanti, pasti kurus karena dimarahin saben dina".. pacar temenku bilang gitu" keluh Lia

Tidak ada yang lebih menyedihkan dulu dibanding dewasa dengan tekanan harus segera mencari suami. Berbagai ucapan buruk bernada memojokkan sering Lia terima. Tidak hanya datang dari keluarga, saudara, dan kawan saja, tetapi juga orang baru yang ia temui.

Seolah menjadi perempuan dewasa yang belum menemukan jodoh menjadi sebuah masalah besar yang harus segera dipecahkan.
Padahal mau bagaimana hebatnya perempuan, pada akhirnya ia tetap harus menunggu.

Kurniawan mengambil jeda beberapa saat sebelum menjawab argumen sang istri.

"Memahami karakter orang itu pelajaran seumur hidup. Sama orang tua yang dari lahir aja ga selalu kita tahu jalan pikirannya. Tapi tenang aja, aku ga akan kurus hanya karena dengerin omelan kamu. Cowok yang bilang gitu biar tetap dengan asumsinya, yang jelas mau kurus atau gemuk sekalipun asal itu karena kamu, aku siap"

RipuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang