Hari-hari berjalan semakin berat tanpa komunikasi. Hubungan Lia dan Kurniawan saat ini seperti tengah berada di laut pasang berombak, sementara mereka sedang tidak ada di satu kapal yang kuat. Lia masih dengan keputusannya untuk tetap tidur di ruang tv, sementara Kurniawan tidak juga menemukan waktu yang tepat untuk berbicara dengan Lia.
“Ya.. kamu ga mau tidur di dalam?” tanya Kurniawan beberapa waktu lalu saat Lia akan keluar kamar ketika mendapati ia masuk
“Nanti” jawab Lia seadanya bergegas keluar
Helaan napas kasar dan keputusasaan benar-benar kentara di wajah lelah Kurniawan sepulang dari mebel. Buntut pertengkaran Lia dengan ibu dan adiknya tentu berimbas ke mebel.
“Yaa..” keluh Kurniawan berharap Lia duduk dan mendengarkan apa yang akan ia sampaikan
Nihil. Jangankan untuk didengar, harapan agar Lia berhenti dan menatapnya sebentar saja tidak terwujudkan.
Selama seminggu ini, di pagi hari Lia akan menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah saat mentari belum juga terlihat akan bersinar. Lalu ketika Kurniawan bangun, Lia sudah bergegas siap-siap membersihkan diri dan segera pergi dari rumah. Kemana perempuan itu pergi, sama sekali tidak Kurniawan ketahui.
Sore sekitar pukul 5, Lia pulang dengan keadaan tubuh yang lelah dengan menenteng plastik berisi gorengan dari depan rumah lalu menyiapkan makanan yang ia beli untuk makan malam. Saat Kurniawan pulang, Lia sudah berada di ruang baca, mengunci diri. Lia baru akan berpindah ke ruang tv untuk tidur saat tidak ada tanda-tanda sama sekali Kurniawan akan keluar kamar.
Pernah sehari yang lalu, Kurniawan sengaja menyempatkan diri berpindah tidur di sofa single yang terletak tidak jauh dari tempat Lia berbaring. Lia tersadar dan berpindah ke ruang baca hingga pagi, tertidur di karpet tipis yang ada di sana. Apa yang tersisa di hati Kurniawan hari itu selain rasa bersalah atas inisiatifnya?
“Sabar ya, Mas”
Kurniawan hanya tersenyum tipis mendapati tepukan dari Kukuh, staf di mebel milik Pak Kiswanto.
“Nek ora krana Lia, aku juga ora nang kene” jawab Kurniawan dengan senyum yang ia coba buat tegar
*kalau bukan karena Lia, aku juga tidak akan ada di sini“Ngerti aku.. Mbak Lulu pancene begitu kok, Mas. Aku sering lihat Mbak Lia kayak tertekan, Mas. Aku kadang sok merasa kasihan, Mbak Lia itu sudah berjuang banget buat mebel ini”
*tahu banget aku.. Mbak Lulu memang begitu mas“Sampe saiki.. Lia ra gelem krungu suaraku”
*sampai sekarang.. Lia tidak mau mendengarku bicara“Butuh waktu mesti, Mas”
*pasti“La dipikir dia tok yang butuh waktu, aku yo sayah ngene iki nuruti kahanan sik ana nang keluarga iki”
*dipikir hanya dia yang butuh waktu, aku juga capek harus menuruti apa yang ada di keluarga iniPembicaraan mereka berhenti, Kuniawan meneruskan perkerjaannya. Sesekali matanya melirik ke arah ponsel pribadinya yang terletak di samping laptop, berharap benda pipih persegi panjang itu mengeluarkan bunyi sebuah pesan masuk dari seseorang yang saat ini terus menerus menjadi topik pikirannya.
Ting
Nasib baik, doanya dikabulkan. Layar yang semula hitam, menyala, sebaris pesan datang dari nama kontak “Lia (titik)”
Aku keluar kota tiga hari
Sayangnya bukan pesan yang tengah ia harapkan. Pesan tersebut berisi permintaan izin yang jika digunakan untuk absensi sekolah tidak akan di terima izinnya. Chat yang terlalu tidak sopan sebagai sebuah perizinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ripuh
General FictionMenjadi seorang yang tidak mudah dicintai tak pernah ada direncana hidup Nurmalia. Hingga ia memutuskan untuk tidak menargetkan diri mendapat pasangan. Kebahagiaan hidupnya bukan untuk menikah. Tapi apa jadinya jika anak teman ayahnya, memilih untuk...