Menikah dengan Kurniawan secara tiba-tiba menjadi hal yang tidak pernah aku persiapkan. Dulu aku berandai, jika aku akhirnya dinikahkan dengan anak Bu Yuni tetanggaku yang bekerja sebagai tukang teknik pertambangan. Mungkin aku akan mempersiapkan diri untuk tetap bekerja, sembari menyibukkan diri karena jauh dari suami.
Pernah terlintas di benakku pula jika aku menikah dengan teman sekolahku. Dia seorang pegawai bank, orang tuanya sudah lama bercerai, menjadi istrinya mungkin akan membuatku berada di rumah mengurus anak dan menunggunya bekerja. Aku tidak merasa harus dituntut apa-apa.
Aku tak pernah mempersiapkan menjadi istri Kurniawan. Seorang yang sebenarnya biasa saja. Hanya saja ia lahir dari keluarga berada dan harmonis. Seorang yang sejak kecil hidup dengan banyak kecukupan. Seorang anak kedua yang tak terlalu diberi beban berat. Seorang yang jika tak jadi apa-apa ia telah dimudahkan dengan banyak hal.
Selain harus beradaptasi dengan banyak hal baru, aku juga sekarang banyak belajar agar dapat berbisnis dengan lebih serius. Mebel Bapak dulu masih terlalu manual jika harus bersaing dengan bisnis di zaman sekarang. Cafe milik suamiku selalu berubah mengikuti tren. Sering mewakili Mama juga membentukku menjadi orang baru, aku jadi terbiasa bicara untuk membangkitkan seseorang memiliki jiwa bisnis. Padahal aku juga baru belajar.
"Oleh piyayi sae kok ya"
*dapat orang kaya dan terpandang kokTeman SDku pernah mengomentariku demikian di sosial media. Katanya aku sudah jarang pulang ke Jogja dan menjenguk keluarga. Aku tak terlalu peduli, toh kami hidup tak lagi bersinggungan.
“Kalau seandainya aku nanti ga bisa ngasih ilmu ketahanan buat Abi, kamu yang harus ngasih semuanya. Kamu yang paling kuat di sini” kata Mas Kurniawan suatu malam saat kami berbincang di atas ranjang, dengan Abi berada di ranjang sebelah kami.
“Dari kita berdua. Kamu yang harus lebih kuat, dia pasti melihat ke bapaknya”
“Tapi nanti dia sayangnya pasti berat ke kamu” katanya seraya mencubit pelan pipiku
“Kamu juga, banyak ngomong sama Abi. Jangan jadi Bapak yang diem doang sama anaknya. Aku suka lihat interaksi kamu sama Ayah”
Mas Kurniawan menghela napas, dadanya kembali turun.
“Diusahaiin ya, Mbak”
Sebuah kecupan mendarat di pipi bawahku. Tempat yang ku tebak sebagai ruang sembunyi favoritnya.
Setelah Abi lahir, kami memang lebih tumbuh. Hasrat kekanak-kanakan kami entah menguap ke mana. Atau kami sudah banyak beradaptasi, bekerja sama untuk membangun rumah tangga ini.
Mungkin memang seiring berjalannya waktu, keterampilan menjadi orang tua juga secara natural terbentuk. Sama seperti singa bukan? Seganas-ganasnya dia tetap bisa mengurus anak.
Pria di sampingku juga berubah menjadi seorang yang sangat peka, ia tak akan membiarkanku sendirian mengurus Abi. Dia menjadi sosok yang bisa ku andalkan, meski jika bicara cara interaksinya pada Abi lebih seperti teman. Tak jarang Mas Kurniawan meletakkan tubuh Abi di punggungnya dan berjalan seperti seekor kuda.
Aku juga terlalu kehilangan energi untuk mengurus hal-hal kecil dalam sebuah hubungan. Aku tak terlalu marah suamiku akan pulang ke rumah jam berapa. Mas Kurniawan juga lebih pandai membagi kesibukan. Ia tahu kapan harus mengambil peran. Bahkan di tengah-tengah studinya.
“Aku ga mau ribut kamu mau pulang jam berapa, pergi jam berapa, kamu sudah bukan anak kecil.” kataku suatu waktu
“Iya, iya. Tapi gini terus ya. Banyak cerita.. kamu tahu kan, ga ada yang lebih penting dari ngobrol dalam pernikahan tuh” jawabnya beralih memberiku nasehat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ripuh
General FictionMenjadi seorang yang tidak mudah dicintai tak pernah ada direncana hidup Nurmalia. Hingga ia memutuskan untuk tidak menargetkan diri mendapat pasangan. Kebahagiaan hidupnya bukan untuk menikah. Tapi apa jadinya jika anak teman ayahnya, memilih untuk...