Hari berganti, kehamilan Lia memasuki minggu-minggu terakhir. Beratnya membawa perutnya akan segera terlepas. Rasanya semakin sulit berjalan dengan perutnya yang besar. Sudah lebih dari 3,3 kg berat bayi yang ia kandung.
Beberapa minggu lalu ia dan Kurniawan sudah berlatih untuk saling menghadapi kelahiran. Pria itu rutin datang ke kelas bersalin, menyimak sekaligus praktik kesiagaan sebagai seorang suami yang menghadapi istri melahirkan.
Tapi Tuhan berkata lain. Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, dokter memutuskan bahwa Lia tidak dapat melahirkan secara normal karena kekurangan pada bentuk tubuhnya. Alasan ini perlu Lia terima dengan tegar, ia tak mau terbawa perasaan yang dalam. Kepalanya tak boleh lebih pusing, ia harus sehat untuk melihat bayinya lahir.
"Maaf, Mas" kata Lia saat melewati lorong rumah sakit untuk pulang usai pemeriksaan
"Kok maaf? Kan Tuhan menakdirkan setiap manusia berbeda-beda, Sayang. Normal ataupun operasi, tidak akan mengurangi nilai kamu sebagai perempuan... Atau bahkan mengurangi rasa sayangku ke kamu dan dia" lelaki benteng hidup Lia itu merangkul bahunya erat. Mendekatkan tubuhnya pada dada tegapnya, membiarkannya sesekali mendengar sayup debar jantung lelaki itu.
Lia mendongak, menatap lelakinya. Wajah rupawan itu menatapnya lembut seolah memberikan dukungan.
"Tapi kita wes latihan, kamu udah bisa bantu dan hadapi aku untuk melahirkan normal" kata Lia lebih lanjut
Kurniawan memelankan langkahnya, kehamilan Lia yang semakin tua membuat langkah kaki wanita itu sulit."Apa salahnya latihan, aku jadi tahu sulitnya melahirkan gimana.. apa saja yang seorang Ibu rasakan ketika melahirkan. Ga ada ilmu yang ga berguna" jawabnya mantap
"Tapi kalau nanti aku melahirkan lagi, harus operasi lagi" Belum cukup kegelisahannya dijawab, Lia mengutarakan hal lainnya
"Satu belum lahir udah mikir yang kedua, Buk" goda Kurniawan
"Awwsss"
Sebuah cubitan gemas mampir di pinggang pria itu. Lia tampak kesal karena kerisauannya dibalas guyonan oleh sang suami.
"Bercanda mulu, aku tenanan"
*seriusLia memberi tatapan tajam pada Kurniawan. Sedang yang ditatap terkekeh. Bibir pria itu mendarat di puncak kepalanya.
"Kamu tu jangan mikir macam-macam, sekarang fokus bahagia biar proses ini lancar. Yang nanti ya pikirkan nanti saja. Oke!"
Lia mengangguk setuju. Cukup lega mendengar Kurniawan berpendapat demikian. Ketakutan yang datang saat mendapatkan fakta bahwa ia tak bisa melahirkan secara normal, perlahan surut. Dukungan suami membuat ia percaya diri. Ia hanya takut dan khawatir ada orang yang mengatainya, jika perjuangannya sebagai seorang ibu tidak sebesar ibu-ibu lain yang melahirkan normal.
"Mau lewat metode apapun, yang harus kamu tahu adalah aku akan terus ada di sana. Kita hadapi ini sama-sama. Paham kan?" Kurniawan lebih terlihat seperti memperingatkan anak kecil. Lia mengangguk lagi.
Mereka telah sampai di parkiran. Cuaca memang sedikit lebih panas dari pada hari-hari sebelumnya.
"Mau beli apa sekarang? Jadi beli lemper Sari Rasa?"
Lia mengangguk antusias. Seolah ia tak mengalami kekhawatiran sebelumnya. Mudah sekali mood ibu hamil satu ini berubah. Lemper Sari Rasa ini tengah viral di sosial media, lantaran isinya yang tidak pelit. Sudah sejak kemarin ia menginginkan jajanan tersebut.
"Jadi!" Jawabnya riang
Kurniawan terkekeh, diusapnya kepala sang istri pelan. Sedang Lia bersiap melingkarkan seat belt.
"Keren banget kan anak aku, bisa bikin kamu gemoy gini"
Lia mendelik mendengar nada aneh yang terdengar seperti ejekan, ditambah kekehan dari sang suami. Kurniawan beralih mengusap perut Lia.
"Bilang aja aku gendut, pake kata gemoy.. lagian mana ada orang hamil yang berat badannya ga naik" bantah Lia
"Kapok kamu, Wan. Pake acara mancing" Batin Kurniawan merutuki diri
Merasa salah mengucapkan kalimat, Kurniawan memperhatikan Lia dan mencoba mencari kalimat revisi lainnya.
"Aku bilang gemoy, gemes gitu lho.. kayak pipinya jadi enak dijiwit" ia larikan tangan kanannya menuju pipi sang istri
"Aaawww.. gausah cubit-cubit!!" Lia memberi peringatan sekaligus menepis tangan milik Kurniawan dari pipinya
"Kamu asliny mau bilang aku gendut"
"Siapa bilang?? Masa kamu tahu isi hati aku, dukun aja gabisa" Kurniawan mencoba mencairkan suasana
"Mas Kurnia! Ga lucu"
"Ya aku kan guyonan"
"Tau ah!"
"Ini ngambek, jadi beli lempernya ga?"
"Ya jadiiiii gimana sih, ga jelas banget"
Senyum Kurniawan mengembang. Segera ia hidupkan mesin mobil dan meninggalkan parkiran rumah sakit. Tak pernah bermimpi jika hari ini akan datang. Hari di mana ia menyambut buah hati datang ke dunia, mengantar sang istri melakukan pemeriksaan, bahkan sebentar lagi ada yang akan memanggilnya "Bapak". Perjalanan hidup yang panjang. Dan Kurniawan mensyukurinya. Termasuk Lia sebagai pendampingnya.
***
Ting!
Suara pesan masuk dari ponsel Kurniawan menyita perhatian Lia. Layar yang tadinya terkunci, menyala. Menampilkan pop up notifikasi pesan.
Lia menoleh ke arah ponsel di meja kecil samping pintu masuk kamar mandi yang ada di kamar mereka. Notifikasi itu lengkap, bagian bawah terisi pemberitahuan email, dilanjutkan dengan kanal YouTube favorit Kurniawan, dan di posisi paling atas, ada pesan WhatsApp.
SMA Alika
Wan, besok bahan bakunya datang dari Boyolali. Kamu besok ke sini kan sebelum ke kafemu?Dahi Lia mengernyit melihat nama yang sebelumnya tidak pernah ia dengar. Beberapa mantan Kurniawan sudah Lia ketahui ceritanya dari sang suami. Tapi perempuan bernama Alika ini tidak pernah ia dengar, bahkan sebagai rekan kerja sekalipun.
Lia penasaran, seperti apa sosok yang menyuruh Kurniawan untuk datang ke suatu tempat sebelum ke kafe itu.
"Sayang... Sabunnya habis" agak berteriak, pria yang berstatus sebagai suaminya dan berada di dalam kamar mandi memerintahkan untuk mengambil sabun. Lia tersentak dari lamunan tentang pesan singkat itu. Beranjak mengambil sabun.
"Makanya kalau mandi itu sebelum lepas baju lihatin masih ada ga sabun dan shamponya"
"Mana aku sempet lihat tadi.." kesal Kurniawan tubuhnya terlanjur kedinginan menunggu istrinya mengambilkan sabun.
"Makasih bojoku" kata Kurniawan menggoda sang istri
Lia kembali duduk bersandar di kepala ranjang, menunggu Kurniawan keluar dari kamar mandi.
"Mungkin temen kerjaan dan Kurniawan belum sempet cerita" batin Lia berpikir positif
Namun ia tak mau dan berniat melakukan klarifikasi kepada Kurniawan. Ia takut dinilai tidak menghormati privasi pasangan karena membaca pesan tersebut. Selama ini, Kurniawan bahkan tidak pernah membuka ponsel milik Lia.
Bunyi pintu kamar mandi dibuka menyadarkan lamunan Lia sekali lagi. Pria itu tak langsung bergegas naik ke ranjang, ia duduk di sofa kecil di samping ranjang. Tangannya sibuk memainkan ponsel mengabaikan Lia yang energinya sebentar lagi habis.
"Mungkin lagi dibales, berarti besok pagi mereka akan ketemuan" batin Lia semakin memanas dan sebal melihat sang suami yang sibuk memainkan ponselnya.
Selain harus memikirkan kelahiran, Lia jadi punya pikiran macam-macam tentang suaminya. Siapa dan apa hal yang bisa menjamin suami setia ketika berada di luar rumah. Cinta? Pikiran Lia bercabang kemana-mana.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Ripuh
General FictionMenjadi seorang yang tidak mudah dicintai tak pernah ada direncana hidup Nurmalia. Hingga ia memutuskan untuk tidak menargetkan diri mendapat pasangan. Kebahagiaan hidupnya bukan untuk menikah. Tapi apa jadinya jika anak teman ayahnya, memilih untuk...