Bibit Lelara

9.7K 665 20
                                    

Ini yang pertama buat aku.. aku belum siap jika harus ada seorang anak di antara kita

Tidak ada jawaban apapun dari Mas Kurnia tentang pernyataanku, hanya sebuah anggukan penuh pemahaman dan mengerti. Perasaanku menjadi kalang kabut, sebab tidak hanya gairah, menahan diri, keinginan untuk puas, perasaan takut, tapi juga khawatir yang besar. Aku telah memikirkan untuk tetap bersiap dalam segala tidak siapku tentang menyerahkan diri ini. Tapi bayangan memiliki keturunan dan bertanggung jawab mengurusnya sama sekali belum ada di pikiranku.

Selanjutnya segala hal tentang melebur menjadi satu hanya kami simpan sebagai dokumen pribadi, tanpa boleh siapapun tahu sehebat mana kiprah lelaki bernama Kurniawan dan apa yang ia lakukan padaku. Malam ini.. menjadi malam perdana, malam yang sebenarnya tidak pernah aku bayangkan perasaan campur aduk ini menimpaku. Bagi kebanyakan pasangan yang saling mencintai, mungkin malam ini akan menjadi malam terbaik sepanjang hidup mereka. Tapi bagiku, sepanjang ritual ini dilakukan, aku menikmatinya seraya menerka-nerka, apakah kami memiliki cinta di dalamnya? apakah Mas Kurnia juga memberikan seluruh perasaannya.

“Maaf baru bangun, Ma” kataku pada Mama di meja makan

Pagi ini aku melihatnya memindahkan kuah soto pada mangkukku. Mas Kurniawan lebih dulu meninggalkanku di kamar entah kemana. Aku belum juga bertanya sebenarnya urusan apa di Solo. Melihat gaya komunikasi kami yang kadang seperti permainan petak umpet begini membuatku kadang curiga, jangan-jangan Mas Kurnia penyelundup satwa dilindungi. Tapi jika harus terbangun dengan Mas Kurnia di sekitarku, aku juga kebingungan harus mengatakan apa. Rasanya akan aneh dan canggung.

“Makan sik” kata Mama tersenyum tipis
*dulu

Aku mengangguk seraya menggumamkan terimakasih karena mangkuk itu kini sudah siap santap. Lengkap dengan bawang merah dan perasan jeruk nipisnya. Mama Tyas duduk di depanku memperhatikanku menyesap kopi pagi ini. Aku baru saja mandi dan rasanya sedikit dingin karena cuaca yang mendung.

“Suka kopi?” tanya Mama padaku

“Ga bisa sehari saja tanpa kopi”

“Jam berapa sampai sini? Semalam Kurnia keluar kamar jam 9, katanya kecapean awakmu”
*kamu

Hampir saja nyaris kuah soto beraroma jeruk nipis itu keluar dari lubang kanan hidungku. Rasanya perih di tenggorokan mendengar pertanyaan Mama. Bisa-bisanya Mas Kurnia keluar kamar setelah aku tidak sadarkan diri. Meninggalkan aku yang tidur dan tak tahu malu karena belum sempat bertemu Mama dan Ayah setelah sampai. Hingga terbangun di pagi yang sudah tidak dapat dikatakan pagi ini.

“Sebelum maghrib.. kata Mbok Pi, Mama ada acara”

“Iya.. tilik bayi cucunya teman Ayah” kata Mama seraya mengambil bakwan
*jenguk bayi

Sebenarnya ini kali pertama aku dan Mama berinteraksi berdua begini. Hampir setiap kali ke Solo, aku tidak pernah terjebak obrolan berdua saja dengan Mama.

“Ma, Maaf ya kalau aku ga bisa bangun lebih pagi kayak perempuan-perempuan lainnya”

Jauh dari lubuk hatiku, aku sering merasa bersalah karena tidak menjadi sosok yang sama seperti perempuan kebanyakan. Perempuan yang mungkin diinginkan Mama menjadi menantunya.

“Kamu kan sibuk, jadi bangunnya gabisa pagi”

Jawaban Mama membuatku sedikit terkejut. Nada bicaranya terkesan lebih santai ketimbang saat dulu beraksi ganas mengetahui anaknya direndahkan olehku pada lamaran.

“Bukan begitu, Ma. Aku aslinya kalau sedang ada kegiatan dan mengharuskanku bertanggung jawab untuk pergi atau bersiap pagi, aku bisa bangun pagi” kataku membangun tameng diri

RipuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang