BAB 45: Jujur Lebih Banyak.

3.7K 743 227
                                    

********

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

********











"Biarkan saja, aku bisa sendiri," menggunakan tangannya Aria menolak bantuan Ibunya Khathelinj yang pelan-pelan mengompres pipi Aria dengan kain basah.

"Aku akan mengompresnya dengan pelan, kalau sakit bilang saja," kata Ibunya.

"Tidak usah, aku bisa melakukannya sendiri," tolak Aria lagi.

"Ibumu sudah menawarkan bantuan, biarkan Ibumu mengompresnya," kata Jan, Ayahnya yang muncul dari pintu kamarnya membawa bantalan gel dingin untuk menghilangkan bengkak. Jan berjalan mendekati Aria dan Khathelinj yang duduk di sudut tempat tidur Aria.

"Aku bisa melakukannya sendiri," ulang Aria kembali seraya mengambil kain basah dari tangan Khathelinj.

"Kenapa kau keras kepala sekali? Bagaimana caramu mengobatinya sendiri? Lihat? Baru sebentar saja kau sudah meringis," celetuk Jan, saat Aria menerapkan kompres pada pipinya dan meringis sesaat.

"Biar aku saja," akhirnya Khathelinj merebut kembali kain dari tangan Aria.

"Aku bisa---"

"Aku Ibumu, dengarkan aku," tegas Khathelinj.

Aria akhirnya diam, membiarkannya. Jan berjalan ke sisi lain tempat tidur Aria, menaruh bantalan gel di bantal Aria agar Aria tidur dengan itu, kalau memakainya mungkin besok pagi bengkaknya sudah hilang.

"Kau bukan Ibuku."

"..."

Sesaat, aktivitas sepasang suami istri itu.

Hanya sesaat sebelum akhirnya Khathelinj mengabaikan ucapan Aria dan melanjutkan kompresannya. "Jangan banyak bergerak, berhenti bicara, ini akan sakit."

"Tidak, tidak sakit," kata Aria.

"Tidak sakit bagaimana? Pipimu bengkak seperti ini," ujar Jan yang lebih dulu menyela Khathelinj, seperti tidak sabar untuk menjawab Aria.

"Aku bilang tidak sakit."

"Aku pernah ditampar lebih sakit dari ini, berkat itu aku bisa beradaptasi dengan cepat. Rasanya tidak sesakit tamparan yang dulu."

"..."

Canggung.

Jan menghilangkan kecanggungannya dengan melihat sekeliling kamar Aria, sementara Ibunya menolak untuk menatap mata Aria.

Jan berdehem, sepertinya sangat canggung. Jan melihat jam tangannya dan berkata, "biarkan Ibumu mengompresnya sampai bengkaknya hilang---"

"Bukan Ibuku," kata Aria lagi. Dia memotong ucapan Jan. Sedari tadi dia terus bicara dengan nada suara yang pelan dan halus, tapi kali ini dia menunjukkan ketegasan.

Ekor matanya melirik ke arah pintu kamarnya yang sedikit terbuka, Aria bisa melihat dari sini kalau ada seseorang yang memutuskan untuk mengintip pembicaraan di dalam ruangan.

KINGS: ThemisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang