16. CURIGA

932 95 4
                                    

Setengah jam kemudian di Toko Buku Gramedia.

Gavin melangkah pelan menuju ke lantai dua untuk mengeluarkan unek-unek kepalanya yang membuatnya gelisah. Sudah menjadi kebiasaan Gavin sejak dulu, jika ada masalah ia akan lari ke toko buku untuk mencari buku-buku menarik yang bisa mengalihkannya dari masalah.

Sesaat lamanya Gavin sibuk mencari dan mengamati beberapa buku asing tentang pemasaran dengan wajah serius. Ia akhirnya berhasil menemukan sebuah buku yang menarik perhatiannya ketika tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang amat dikenalnya tak jauh dari tempatnya berdiri di samping sebuah rak buku yang terbuat dari kayu.

Gavin segera menoleh dan mencari asal suara itu. Ia tak menduga sama sekali, tepat dua deret dari rak buku setinggi dadanya, muncul sosok gadis berambut panjang sebahu dari arah bawah rak buku. Gadis itu bersama dengan seorang pria jangkung yang membelakanginya. Gavin mengerutkan keningnya dengan pandangan kaget karena melihat gadis itu tak lain adalah... Green!

Gavin tak menduga sama sekali, jika tiba-tiba saja Green muncul di Gramedia, padahal terakhir kali dilihatnya naik bis Trans Jogja sendirian. Dan sekarang, gadis berkulit putih itu mendadak bersama pria lain selain Marcelin yang selalu datang ke kafenya.

Dan yang membuat Gavin mengerutkan wajahnya, lelaki di samping Green adalah pria asing yang sangat menarik. Wajahnya khas oriental dan berkesan pendiam. Matanya agak sipit. Hidungnya mancung. Kulitnya putih bersih dengan tinggi badan kurang lebih 180 centimeter. Sosok lelaki asing yang tampan. Gavin makin heran melihat keakraban di antara mereka berdua. Green tampak dengan senang hati membawakan buku yang dibeli pria itu dan hanya diam saja ketika lengan kiri pria itu melingkar di bahunya dengan akrab.

'Mungkinkah, dia lelaki yang dinanti Green selama ini?' tebak Gavin dalam hati dengan wajah makin serius.

Gavin bergegas membungkukkan badan jangkungnya dibalik rak buku, saat Green tiba-tiba menoleh ke arahnya. Sesaat lamanya Gavin bersembunyi dibalik rak buku dengan wajah tegang. Tak beberapa lama, ia perlahan menaikkan tubuhnya dan bergegas melihat ke sekelilingnya. Saat bersembunyi ia sempat melihat Green bersama pria asing itu berjalan menuju ke arah kasir, tapi sekarang mereka sudah menghilang.

Gavin bergegas menuju ke kasir dan membayar semua buku yang dibelinya. Tanpa sengaja ia melihat Green dan lelaki asing itu menuruni tangga menuju ke lantai satu menuju ke pintu keluar. Bergegas Gavin melangkah keluar Gramedia dan sesampainya di area parkir mobil, Gavin segera masuk ke dalam mobil. Dari dalam mobil, kedua matanya yang tajam masih berusaha mencari sosok Green bersama pria asing itu dengan wajah penasaran di sekitar parkir mobil dan motor.

Gavin tiba-tiba seperti tersadar dan terdiam, memikirkan tingkahnya sendiri yang dirasa aneh. "Kenapa aku jadi bertingkah seperti ini? Aku ini kan Bosnya? Kenapa aku jadi ingin tahu tentang Green?" ucap Gavin sambil menepuk dahinya pelan. "Bodo amat dengannya. Bukan urusanku!" lanjut Gavin sambil menghidupkan mesin mobil lalu menjalankan mobilnya ke luar dari halaman parkir sambil mengenakan kaca mata hitamnya.

Baru beberapa meter mobilnya meninggalkan Gramedia, kedua mata Gavin yang tertutup kaca mata hitam, tak sengaja melihat Green dan pria asing itu terlihat berboncengan dengan sepeda menyusuri jalan raya besar.

Green duduk di boncengan sepeda sambil memegang erat pinggang pria berwajah oriental itu. Green tampak begitu terbiasa dan dekat dengannya. Gavin perlahan melambatkan laju mobilnya, agar tak mendahului mereka karena ia yakin Green pasti hafal dengan mobilnya.

Sampai di pertigaan jalan di sebuah lampu merah, Gavin membelokkan mobilnya ke arah kanan sedangkan Green dan pria itu tetap melaju sepedanya lurus ke depan. Gavin hanya bisa melihat mereka dari balik kaca spion di dalam mobilnya dengan mata menyipit dengan wajah terlihat berpikir. 'Dia benar-benar gadis misterius dan banyak rahasia. Ternyata dia memiliki banyak fans pria rupanya,' gumam Gavin sambil geleng-geleng kepala dengan wajah tampak kecewa.

***

Green turun dari boncengan sepeda saat berhenti tepat di depan gapura sambil membenahi rambutnya yang tak rapi terkena angin.

"Terima kasih sudah nemenin beli buku. Sekarang kamu pulang saja dulu. Aku mau ambil wadah kue titipan Ibu di toko dan warung. Tolong, taruh buku yang kubeli tadi di meja belajarku," pinta White, kakak kedua Green dengan suara lirih sambil mengayuh sepeda menyusuri jalan raya dan meninggalkan Green di depan gapura.

White Mamoru Buditomo, kakak kedua Green yang pendiam dan sangat acuh. Mahasiswa tingkat akhir jurusan akutansi di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja. Sejak kecil hingga sekarang, ia selalu menjadi nomor satu di sekolahnya. Saat ini White hanya tinggal menyelesaikan skripsinya agar bisa menyandang gelar sarjananya dengan nilai yang bagus. Wajah White dominan dari keluarga ibu yang masih keturunan Jepang, sehingga wajahnya begitu oriental dan dianggap ganteng oleh banyak orang. Tak heran banyak gadis yang antri menyukainya dan ingin menjadi kekasihnya. Sayang, sikap White yang pendiam dan berkesan acuh, membuat mereka segan dan mundur teratur.

Green melangkah menapaki tangga menuju rumahnya yang kecil, sebuah rumah kontrakan bercat coklat muda dan berdempet-dempet dengan rumah tetangga lainnya. Sampai di teras rumahnya yang sempit, Green mengetuk pintu dan membukanya pelan. Mata Green yang lentik mendapati ibu tengah duduk di ruang tamu sambil menatapnya tajam dan tak seperti biasanya.

"Ada apa, Ibu?" tanya Green heran.

Ibu perlahan bangkit dari kursi rotan kemudian melangkah mendekatinya dengan mata yang terlihat sembab seperti habis menangis

PLAK!

Sebuah tamparan keras mengenai pipi kiri Green sehingga membuatnya terkejut sambil menyentuh pipinya yang terasa panas. "Ibu, ada apa?" tanya Green bingung saat ibu menamparnya tiba-tiba.

"Sudah berkali-kali Ibu bilang, jangan jual harga dirimu sebagai seorang gadis. Kamu ini orang timur, punya adat dan moral!" bentak Ibu kecewa sambil memukul-mukul tubuh Green yang langsung melindungi dirinya dengan kedua lengannya, sampai-sampai ia harus menunduk dan membungkukkan badannya.

"Ibu, jangan!" pinta Green dengan wajah menahan tangis. Bukan karena menahan sakit akibat menerima pukulannya, tapi untuk pertama kalinya ia melihat ibunya begitu terluka hingga menangis seperti itu dan memukulnya. Selama ini Ibu tak pernah memukulnya, berarti Ibu memang sangat kecewa dan marah padanya.

"Ibu sedih! Tiap orang di sekitar sini membicarakan anak gadisku yang jadi perempuan tak bener. Pulang malam dan diantar laki-laki asing. Tega benar kamu menyakiti orang tuamu dengan cara seperti itu, Green. Jadi selama ini, kamu obati ayahmu dengan uang tak bener. Tega sekali kamu! Kau biayai ayahmu dengan jual dirimu. Ya, Tuhan! Apa yang ada dipikiranmu, Green," tangis Ibu sedih dan terus memukuli tubuh Green yang akhirnya berlutut di depannya. "Ibu selalu mengajari anak-anakku agar bisa berpikir bijaksana dan tidak mempermalukan keluarga. Kita ini orang timur. Apalagi kamu seorang gadis. Harus bisa menjaga hati dan diri kita baik-baik, termasuk harga diri kita. Walaupun kita ini orang nggak punya. Bagaimana orang lain menghormati kita, kalau kita tak bisa menghargai diri kita sendiri? Ibu kecewa padamu. Sangat kecewa!" tangis Ibu sedih sambil terus menggoncang-goncang bahu Green yang masih diam dan hanya bisa menangis sesenggukan.

Green tak mengerti, siapa yang telah menfitnahnya dengan begitu jahat. Green termenung kemudian teringat dengan Jabrik dan Benni akan kejadian beberapa waktu lalu. Ia yakin mereka pasti melihatnya diantar Pak Gavin lalu menyebar fitnah itu karena sakit hati dan dendam padanya.

"Ibu, ada apa?" Tiba-tiba muncul White ke dalam rumah dengan wajah terkejut. Pria jangkung itu bergegas menaruh wadah makanan yang baru diambilnya ke meja tamu, lalu mendekati Green. Ia berusaha melindungi adiknya dengan berdiri di antara Ibu dan Green.

***

DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang