06. TAWARAN PERJANJIAN

1.4K 134 14
                                    

Di sebuah ruang ICU rumah sakit.

Green memegang telapak tangan ayahnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan wajah sendu. Sebulan lalu ayahnya tiba-tiba ambruk dan harus dirawat serius di rumah sakit karena jantungnya terganggu lagi karena riwayat komorbid-nya. Kemarin ayahnya terpaksa dimasukkan ke ICU karena kondisinya drop dan masih belum sadar dengan peralatan kedokteran di tubuhnya. Green sangat terpukul ketika ayahnya masuk rumah sakit lagi dan kesehatannya tak seperti dulu sejak musibah itu terjadi. Ditambah kondisi keuangan keluarganya yang tak bagus seperti dulu.

Green perlahan mencium telapak tangan kanan ayahnya dengan lembut. "Ayah, Green akan cari duit sebanyak-banyaknya agar Ayah lekas sembuh. Kita bertiga masih membutuhkan bimbinganmu. Ayah harus kuat dan sabar...," ucap Green dengan suara parau dan tak menyadari airmata di pelupuk matanya perlahan mengalir di pipinya yang halus.

Green perlahan berdiri dari kursi kemudian mengambil kertas tissue dan membersihkan wajah pucat ayahnya dengan pandangan sedih. Saat ayahnya dimasukkan ke ruang ICU, itu berarti mereka harus mengeluarkan uang yang tak sedikit jumlahnya karena tidak semua bisa di-cover BPJS. Diperkirakan uang yang diperlukan sekarang sekitar 150 juta lebih untuk biaya perawatan di ICU. Green makin sedih saat mengingat tentang masalah biaya rumah sakit. Uang hasil pekerjaan sampingan mereka bertiga jelas tak cukup untuk biaya perawatan di ruang ICU. Ibu memberitahunya jika tanah kebun miliknya yang luasnya kecil dan satu-satunya harta berharga mereka saat ini sudah dijual dan sudah dibeli orang sebesar 100 juta. Keluarganya hanya tinggal mencari kekurangannya sekitar 50 jutaan lagi.

Green sesaat diam membisu dan perlahan mencium kening ayahnya pelan dan bertekad untuk mencari kekurangan uang itu dengan cara apa pun demi menyelamatkan hidup ayahnya. Ia  bertekad melakukannya agar masih bisa bersama ayahnya.

***

Keesokan harinya, Gavin hendak membuka pintu ruangannya ketika tanpa sengaja ia mendengar suara sekretarisnya sedang berbicara serius dengan seseorang siang itu. Gavin sekilas melihat sosok Green tengah duduk di depan meja Mbak Sandra dari balik pintu yang terbuka sedikit. 

"Maaf ,Green. Kami tidak bisa memberimu rekomendasi uang yang akan kau pinjam karena kamu belum lama bekerja di sini. Peraturannya sudah begitu dan nominal yang kau pinjam juga tidak sedikit," jelas Mbak Sandra tegas selaku salah satu pengurus koperasi simpan pinjam karyawan di perusahaan. "Uang sebanyak itu untuk apa? Kenapa tak pinjam di bank? Orang tuamu bagaimana sampai kamu pinjam uang sebanyak itu?" tanya Mbak Sandra heran.

Green tak menyahut dan hanya mengangguk pelan. "Kalau memang tidak bisa, ya sudah Mbak. Terima kasih untuk waktunya," ujarnya lirih sambil bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan Mbak Sandra yang hanya bisa geleng-geleng kepala heran.

"Dasar, anak aneh," gumam Mbak Sandra heran dan kembali sibuk dengan pekerjaan di mejanya. Tanpa menyadari sosok Gavin tiba-tiba muncul dan berdiri menjulang di depannya hingga membuat jantungnya seperti copot saking kagetnya. "Eh, Kak Gavin?!" ucap Mbak Sandra kaget.

"Anak itu mau apa?" tanya Gavin dengan wajah serius.

"Di-dia mau pinjam uang di koperasi karyawan. Barusan dia berkonsultasi dengan saya dulu," jelas Mbak Sandra dengan wajah tegang melihat tatapan tajam Gavin.

"Kenapa kamu tidak memberikan pinjaman itu? Bukankan, setiap karyawan boleh meminjam di koperasi perusahaan?" tanya Gavin gusar.

"Dia belum lama kerja di sini, Kak Gavin. Lagipula uang yang dipinjamnya tidak sedikit," jawab Mbak Sandra lirih.

"Berapa memangnya?" tanya Gavin ingin tahu.

Mbak Sandra tidak langsung menjawab tapi melihat Gavin serius menunggu jawabannya, ia hanya berkata lirih. "Dia mau pinjam 50 puluh juta."

"Apa?!" ulang Gavin kaget. "Kamu pasti salah dengar?"

Mbak Sandra menggelengkan kepalanya pelan sehinga membuat Gavin terdiam sesaat kemudian beranjak pergi masuk kembali ke ruangannya.

"Hadeh, Kak Gavin itu kalau lagi bad mood galaknya keluar," keluh Mbak Sandra sambil menghapus keringat dingin di keningnya. "Untung saja, walau galak begitu wajahnya tetap cakep sehingga paling tidak, lumayan enak dipandang dan wangi," lanjutnya jujur sambil tersenyum garing.

***

Jam dua siang di ruang pengunjung, Gavin mengamati semua pegawainya yang sibuk bekerja melayani para pelanggan  yang datang dan kebanyakan para mahasiswa. Gavin memperhatikan jika para pekerja part time pengganti sudah mulai berdatangan untuk menggantikan yang pagi. Tanpa sengaja Gavin melihat Green berjalan keluar dari ruang karyawan sambil membenahi letak tas ranselnya untuk bersiap pulang.

Gavin menatap gadis ramping itu melangkah keluar lewat pintu belakang dengan wajah seriusnya. Tiba-tiba terhias senyum tipis di wajah Gavin. Pria berbadan tinggi itu bergegas mendekati Green yang sedang berjalan keluar dan langsung berdiri menghalangi langkah gadis itu di depan pintu keluar.

"Ada apa, Pak Gavin?" tanya Green kaget melihat Gavin tiba-tiba menghalangi langkahnya ketika akan keluar dari pintu belakang.

"Ikut ke ruang kerjaku," suruh Gavin sambil berjalan melewati Green yang berdiri bingung dan hanya berdiri diam. "Heh, cepat jalan! Malah bengong?" tegur Gavin galak saat melihat Green hanya berdiri tak bergerak.

Green dengan ragu melangkah mengikuti langkah Gavin menuju ke ruangannya. Ia tak menyadari semua mata pegawai yang lain tertuju ke arah mereka dengan pandangan heran, apalagi raut muka Mbak Sandra yang heran dengan bibir melongo melihat mereka berdua memasuki ruangan bosnya.

Sampai di dalam ruangan, Green melihat Gavin duduk di kursi kerjanya sambil memandang ke arahnya dengan wajah serius dan tanpa ada sedikit pun wajah ramah.

"Ada apa, Pak? Saya masih ada kegiatan lain sehingga tidak bisa lama-lama di sini?" jelas Green lirih sambil tetap berdiri di depan meja Gavin.

"Duduk," suruh Gavin sambil menunjuk kursi di depannya.

Ketika Green duduk di kursi seberangnya, matanya yang lentik melihat Gavin mengetik sesuatu di laptop-nya. Ia menunggu dengan sabar saat Gavin mengetik, sehingga tak terasa sudah lima belas menit berlalu. "Kalau Bapak masih lama? Saya permisi saja," ujar Green saat melihat Gavin sibuk mengetik sesuatu tanpa memperdulikan kehadirannya di situ sehingga membuat kesabarannya habis.

"Benarkah kamu butuh uang 50 puluh juta? Aku bisa berikan padamu saat ini juga bahkan lebih." Terdengar suara Gavin tiba-tiba sehingga membuat Green terdia.

Ia menatap wajah Gavin dengan wajah terkejut. "Bagaimana Bapak tahu?"

"Tak perlu kamu tahu, bagaimana aku tahu. Yang jelas kamu butuh uang itu, bukan?" jawab Gavin dengan wajah datar. "Aku heran, kenapa gadis kuliahan sepertimu membutuhkan uang sebanyak itu?" ujarnya lagi sambil geleng-geleng kepala.

"Saya memang butuh uang itu, tapi Bapak tak perlu tahu untuk apa. Kalau begitu saya permisi keluar," sahut Green menahan diri untuk tidak emosi sambil beranjak dari kursi dan melangkah ke arah pintu.

"Dengar! Aku menawarkan kerja sama denganmu. Aku akan transfer uang yang kamu butuhkan ke rekeningmu sekarang juga. Tidak hanya 50 juta tapi aku bisa berikan kamu sebanyak 150 juta, tapi tentu saja ada syaratnya!" Tiba-tiba terdengar suara Gavin lagi sehingga menghentikan langkah kaki Green yang sudah hampir sampai di pintu keluar.

Green diam sesaat sambil membelakangi sosok Gavin dan perlahan tubuhnya berbalik ke arah pria itu. Ia mendapati wajah Gavin menatapnya dengan senyum angkuh.

"Bagaimana? Apakah kamu tertarik dengan tawaranku?" ujar Gavin  dengan senyum begitu percaya diri.

***

DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang