70. JANJI

532 68 9
                                    

Gavin memegang surat pengunduran diri Green dengan tangan gemetar di depan meja Mbak Sandra. Gavin tak melihat sekretarisnya terlihat takut melihat wajahnya yang menahan emosi. Sudah beberapa hari ini Gavin menunggu kedatangan Green di Kafe Mix pasca pertengkaran mereka beberapa waktu lalu dan berusaha menghubungi ponselnya, tapi Green sama sekali tak menjawab telepon atau membalas pesannya. Green benar-benar membencinya. Gavin sudah kehilangan akal mencari Green yang seakan menghilang. Dan sekarang, yang dipegangnya adalah surat pengunduran diri gadis itu yang sudah terjadi beberapa waktu lalu.

"Dia sudah mengundurkan diri begitu lama? Kenapa kamu tak memberitahuku?" tanya Gavin gusar sambil meremas surat itu.

Mbak Sandra tampak pucat dan takut karena Gavin terlihat begitu marah. "Saya juga baru tahu hari ini saat menata dokumen. Soalnya surat ini terselip di tumpukan berkas kantor. Pasca kebakaran semua file jadi berantakan," jawab Sandra gugup.

"Berikan aku alamat rumahnya!" suruh Gavin karena selama ini ia hanya mengantar Green sampai depan gapura di gang rumahnya.


Mbak Sandra dengan tangan gemetar bergegas mencari file karyawan di lemari di belakang mejanya. Ia tak berani melihat wajah Gavin yang terlihat galak dan bergegas mencarinya dengan wajah gugup. Akhirnya ia berhasil mendapatkan berkas milik Green dan membacanya sekilas.

"K-kak Gavin," panggil Mbak Sandra dengan suara takut.

"Apa?" sahut Gavin dengan wajah tak ramah.

"Alamat rumah Green sudah pindah, bukan di alamat yang tertera di berkasnya. Dari informasi beberapa teman di sini, dia sudah pindah beberapa waktu yang lalu. Tetangganya juga tak ada yang tahu ke mana keluarganya pindah," jelas Mbak Sandra lirih sehingga membuat Gavin makin berwajah masam.

Gavin terdiam sesaat dan menatap tajam ke arah Mbak Sandra yang hanya menunduk karena takut. Tak lama kemudian Gavin melangkah pergi meninggalkan tempat itu sambil menggenggam erat surat pengunduran Green.

***

Green melangkah pelan menyusuri jalanan di sebuah komplek perumahan dengan wajah datar. Tak ada lagi sinar cerah di matanya beberapa minggu ini. Mata indahnya kembali mendung dan dingin. Wajahnya makin tak bersemangat tiap mengingat hubungannya dengan Gavin. Ia kadang tak mengerti seperti apa hubungan mereka selama ini. Terkadang mereka seperti dua kutub yang bertentangan, tapi terkadang mereka juga seperti magnet.

Green menunduk memandang tas kuliahnya yang sedikit terbuka, ia melihat sebuah amplop putih berlambang kampus tempatnya kuliah yang baru saja diterimanya dari salah satu dosen. Dibalik rumitnya kehidupannya akhir-akhir ini, ternyata masih ada secercah harapan untuk masa depannya. Sekarang ini, ia hanya ingin semua masalahnya segera selesai sehingga bisa melanjutkan hidupnya tanpa beban, termasuk hubungannya dengan Gavin dan masalah perjanjian mereka.

Ketika sampai di ujung jalan, kedua mata Green melihat sebuah mobil mini cooper muncul dari arah lain menuju ke arahnya. Pintu jendela mobil itu terbuka secara otomatis dan tampak Aryo tersenyum ke arahnya. Pria itu langsung membukakan pintu mobil untuknya.

"Ikut aku, ada sesuatu yang harus kita bicarakan," ajak Aryo sambil menggeser tubuhnya ke samping dan mempersilakan Green masuk ke dalam mobilnya.

Green sesaat diam membisu dengan dahi berkerut, kemudian masuk ke dalam mobil sambil menatap Aryo yang menyuruh sopir pribadinya menjalankan mobil. "Ada apa?" tanya Green heran.

Aryo tersenyum ke arah Green dengan wajah misterius. "Kamu dari mana?" Aryo malah balik tanya.

Green diam menunduk dan tak langsung menjawab pertanyaan itu. "Kampus."

"Tadi aku mencarimu di rumahmu yang dulu tapi kata tetangga kalian sudah pindah? Maaf, aku tak sempat membantu mencarikan rumah kontrakan baru untuk keluargamu," ujar Aryo. "Tapi ada informasi jika kamu pindah di sekitar daerah sini. Jadi aku iseng ke mari dan ternyata bertemu denganmu di sini."

Green mengangguk pelan. "Iya, ayah yang mengajak pindah, salah satu teman baiknya mengijinkan kita pindah ke rumahnya dan tinggal di sana tanpa membayar apa pun."

"Teman ayahmu sangat baik," ujar Aryo dengan dahi mengerut. "Di mana?"

"Perumahan Bumi Melati," jawab Green lirih.

Aryo mengerut keningnya karena setahu dia, perumahan yang ditempati keluarga Green adalah salah satu komplek perumahan menengah ke atas yang hanya bisa dibeli orang-orang berkantong tebal dan mungkin teman baik ayah Green adalah salah satunya. Ia bisa memaklumi mengingat ayah Green dulunya adalah salah satu pengusaha berhasil dan teman-temannya pastilah orang-orang yang cukup berada.

"Oya Green, apa kau ingat satu permintaanku dulu?" tanya Aryo tiba-tiba setelah beberapa saat mereka saling diam.

Green perlahan menoleh ke arah Aryo. "Iya, aku masih ingat. Aku pasti tak akan lupa untuk membalas budi orang yang telah menolong keluargaku," jawab Green.

Aryo menatap Green dengan pandangan penuh arti. "Kau memang gadis yang baik."

"Oya, Kak Aryo ingin aku melakukan apa?" tanya Green.

Aryo menunduk sesaat lamanya. "Kau ingat adikku yang pernah kuceritakan padamu beberapa waktu yang lalu?" tanya Aryo ke arah Green.

"Iya," sahut Green.

"Dia patah hati sehingga membuatnya lari ke obat terlarang sehingga membuatnya meninggal karena over dosis. Aku dan adikku mungkin lahir dari keluarga yang tak kurang materi apa pun tapi hidup kami tak seperti keluarga lainnya. Ayahku memiliki wanita lain yang entah berapa kali masuk dalam hidup keluarga kita. Ibuku sibuk dengan kehidupannya sendiri untuk lari dari frustasi. Ibuku takut bercerai karena takut miskin sehingga akhirnya menghabiskan banyak uang karena membalas perlakuan ayahku yang tak setia. Bisa kukatakan, hidup kami itu gersang. Uang hanyalah benda, tak bisa membeli ketulusan atau hal baik yang dibutuhkan untuk menyuburkan keindahan sebuah keluarga. Saat kita sendirian, kita bagaikan di ruang yang gelap tanpa celah sinar sedikit pun," ucap Aryo dengan tatapan nanar.

Green terdiam mendengar curahan hati Aryo yang selama ini tak begitu banyak diketahuinya karena pria itu begitu misterius di balik wajahnya yang selalu terlihat tenang. Ia tak pernah menyangka kehidupannya yang penuh gemerlap ternyata menyimpan banyak goresan luka dalam keluarganya.

Aryo menoleh ke arah Green dengan pandangan seperti ada keraguan. "Kau tak akan terkejut apa itu permintaanku?" tanya Aryo lirih.

"Apa yang Kak Aryo inginkan?" tanya Green lirih.

"Permintaanku adalah...?" Aryo menatap Green dengan tatapan serius. "Tolong jangan bersama dengan Gavin. Jauhi lelaki itu sejauh mungkin. Hanya itu permintaanku. Kau boleh bersama laki-laki mana pun untuk kau cintai, tapi jangan Gavin. Kau tak akan pernah bahagia bersamanya," pinta Aryo dengan serius.

"Menjauhi Pak Gavin?" tanya Green kaget.

"Dia bukan laki-laki yang baik. Aku tak percaya dengannya. Aku ingin kamu menjauh dari hidup Gavin. Aku tak ingin kamu bersama dengan seorang laki-laki yang tak layak dicintai. Hanya itu satu saja permintaanku. Jangan pernah terlihat bersamanya dan berhubungan dengannya lagi," pinta Aryo lagi dengan wajah sungguh-sungguh.

"Bi-bisakah aku diturunkan di sini?" pinta Green tiba-tiba dengan suara bergetar sambil meraih gagang pintu mobil hendak membuka pintu tapi tangan kiri Aryo mencekal lengannya erat.

"Dengarkan aku, Green!" bujuk Aryo. "Kamu tak bersalah soal kebakaran itu. Percayalah padaku, aku memiliki buktinya di sini dan ini bisa menyelamatkanmu," jelas Aryo sambil menunjukkan ponselnya. "Aku bahkan bisa menghancurkan Kafe Mix dan pemiliknya."

Green terpaku menatap Aryo dan tak menyangka sama sekali dengan semua penjelasan Aryo. Entah mengapa ada sesuatu dalam diri Aryo yang seakan tak dikenalnya. Kedua matanya yang selalu terlihat kalem, sekarang telah lenyap tergantikan tatapan tajam yang sungguh berbeda dan penuh kebencian. "Jangan lakukan itu, jangan hancurkan Kafe Mix," pinta Green sambil menggelengkan kepalanya mengingat hidup para pekerjanya dan arti kafe itu untuk mendiang ibu Gavin.

Aryo tersenyum miring. "Aku mau asal kamu mau menuruti permintaanku," ujar Aryo.

Green dengan berat hati menganggukkan kepalanya pelan. Ia tak bisa berkata-kata dan kembali duduk di samping Aryo dengan terpaksa. Semua yang menimpanya terasa makin berat dan entah kenapa permintaan Aryo makin menusuk hatinya dan terasa begitu sakit!

***

Note Penulis :

Untuk informasi update novel saya sekarang dan ke depan, silakan cek atau follow akun IG saya di : readkanuna atau akun fesbuk : Ka Nuna. Terima kasih atas perhatiannya :)

DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang