56. DEBAT RASA

533 48 13
                                    

Gavin menatap Keiza sesaat. "Karena dia itu kekasihku," jawab Gavin kemudian. "Apakah kamu tak ingat kalau Green adalah kekasihku sekarang? Wajar saja kalau perhatianku hanya untuknya sekarang," lanjut Gavin.

Keiza mendesah pelan karena merasakan dadanya seakan sakit dan matanya terasa panas ingin menangis. Rasa sedih menyelimuti hatinya melihat Gavin makin menjauh darinya. Rasa cinta yang dulu selalu untuknya, perlahan tapi pasti mulai terkikis dan itu serasa membuat dadanya begitu sesak.

"Kapan kalian bertemu? Kapan kamu mulai jatuh cinta padanya?" tanya Keiza dengan mata berkaca-kaca ke arah Gavin karena selama ini ia memendam perasaan kecewa dan ingin tahu perasaan sesungguhnya Gavin kepada Green.

"Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu atau menjelaskannya padamu karena itu tak ada gunanya," sahut Gavin sambil beranjak keluar ruangan. "Sekarang ini hanya Green yang menjadi fokus utamaku."

Saat tangan Gavin hendak menyentuh gagang pintu, tiba-tiba sebuah pelukan erat dari arah belakang membuat langkahnya terhenti. Keiza memeluk pinggangnya erat dengan isak tangis.

"Jangan perlakukan aku seperti ini. Aku masih mencintaimu, Gavin," tangis Keiza sehingga membuat Gavin berdiri tegang tanpa berani bergerak. "Aku bertunangan dengan Aryo karena terpaksa. Aku harus berbakti pada kedua orang tua-tuaku. Mereka sangat menyayangiku dan aku tak bisa berbuat apa-apa ketika mereka menerima pinangan keluarga Aryo. Aku tak berani menolaknya."

Gavin perlahan melepas pelukan Keiza yang erat memeluknya. "Bagiku kesetiaan adalah hal paling penting dalam sebuah hubungan. Ayahku tega mengkhianati ibuku dengan wanita lain. Ibuku hidup dengan kesedihan dan kesepian, sampai dia tak memperhatikan kesehatannya dan jatuh sakit hingga dokter memvonis ibuku terkena kanker stadium akhir. Selama berjuang melawan sakitnya, ibuku juga berjuang mempertahankan keluarganya agar aku tetap memiliki orang tua utuh.  Ibuku tak pernah bahagia semenjak wanita lain hadir dalam hidup keluargaku, aku selalu melihat senyum palsunya sambil menahan perih hatinya yang sebenarnya menangis sedih. Aku ingin mengumpat wanita itu karena berani menyakiti ibuku dan melanggar pagar keluarga orang lain tanpa sopan apa pun alasannya. Salah tetap salah tak bisa ditutupi dengan hiasan dan alasan penyejuk sekali pun," jawab Gavin dengan tatapan kecewa dan menahan marah. "Kau tahu, aku tak pernah bisa memaafkan ayahku karena pengkhianatan itu. Dan kamu telah melakukan hal yang sama seperti dia. Teganya kau menduakan hatiku.  Apa kau tak pernah sadari itu?" ujar Gavin dengan senyum sinis. "Kau ini terlalu egois, Keiza."

Keiza berdiri kaku mendengar jawaban itu dan hanya bisa membiarkan airmatanya mengalir pelan menyusuri pipinya yang mulus. Gavin membuka pintu ruangan dan melangkah keluar tanpa mau melihat ke arah Keiza.

"Maafkan aku Gavin. Aku tak bermaksud melukaimu," tangis Keiza sendu dan perlahan kepalanya tertunduk. "Tolong jangan menjauh. Kembalilah padaku...," pinta Keiza dengan suara serak tapi Gavin tetap melangkah pergi dan tak menoleh sama sekali.

***

Di luar Kafe Mix.

Green sedang berjalan bersama Marcelin ketika tiba-tiba ponselnya berdering nyaring dan ternyata kakaknya White yang menghubunginya. Wajahnya terlihat serius saat berbicara dengan kakak keduanya hingga tak lama terhias sebuah senyum kegembiraan di wajahnya. Green sangat bahagia mendengar berita dari kakaknya sebelum memutuskan sambungan telepon.

"Ada apa?" tanya Marcelin ingin tahu melihat Green terlihat senang.

"Ayahku mendapat bonus dari Kak Aryo karena target bulan ini di perusahaannya tercapai. Ayahku ingin mengajak makan malam kita sekeluarga!" jawab Green sangat senang hingga membuat Marcelin terkejut.

"Bagus!" seru Marcelin ikut gembira.

"Aku harus menghubungi Kak Aryo. Aku harus berterima kasih padanya. Dialah yang selama ini membantu keluargaku. Tanpa dia, semua ini tak akan terjadi!" sahut Green sambil memencet nomor ponsel Aryo dengan wajah riang tanpa memperhatikan raut wajah Marcelin berkerut melihatnya.

Marcelin memperhatikan Green begitu antusias ketika menelepon dan mengucapkan terima kasih kepada pria bernama Aryo. Nama pria asing yang tak dikenalnya. "Siapa Aryo?" tanya Marcelin heran setelah Green selesai berbicara dengan Aryo via ponsel.

"Dia bos ayahku. Kenapa?" sahut Green heran dengan nada suara Marcelin yang terdengar curiga.

"Tidak. Hanya baru kali ini kudengar namanya," jawab Marcelin dengan senyum masam. "Apa dia menyukaimu? Atau diam-diam berusaha mendekatimu?" ujar Marcelin dengan nada curiga.

Green tak langsung menyahut tapi hanya tersenyum kecil. "Kak Aryo itu sudah punya tunangan. Aku bahkan mengenal tunangannya. Mereka sebentar lagi akan menikah. Kamu mencurigai kita ada hubungan? Itu jelas tak mungkin," jawab Green.

Marcelin hanya diam dengan wajah masih tersirat kecurigaan. "Kita lihat saja nanti ke depannya," jawabnya lirih. "Aku hanya merasa ada yang janggal saja."

"Kau tahu, aku dan keluargaku berencana pindah rumah beberapa hari lagi. Kak Aryo membantu memilihkan rumah untuk kami sekeluarga," ujar Green dengan wajah tampak terharu. "Dia orang baik padahal dulu aku segan dengannya karena dia dari keluarga sangat kaya dan terpandang di Jakarta. Kata ayahku, usaha keluarganya sangat banyak dan rata-rata perusahaan yang besar."

"Rumah baru? Apa rumah kalian yang dulu?" tanya Marcelin terkejut karena teringat rumah lama keluarga Green termasuk besar dan di lingkungan perumahan mewah.

Green menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan. Tentu saja kami tak mampu membeli rumah kami yang dulu saat ini. Hanya rumah kontrakan baru tapi paling tidak lebih luas dan nyaman," jawab Green. "Entah kapan kami bisa membeli rumah kami lagi. Mungkin nanti setelah aku dan kakakku bekerja di tempat yang bagus setelah lulus kuliah dan bisa menghasilkan banyak uang," ujarnya lagi dengan tatapan mata penuh harap.

"Aku ikut bahagia mendengar berita ini," sahut Marcelin saat melihat sekilas semburat mendung di wajah gadis itu saat teringat rumahnya yang dulu.

Green dan Marcelin serentak menoleh ke samping, ketika mendengar sebuah mobil keluar dari halaman Kafe Mix dengan cukup cepat. Ternyata mobil itu milik Gavin yang melaju meninggalkan kafe. Tak lama kemudian Keiza muncul dari dalam kafe dengan kedua mata tampak sembab menuju ke mobilnya sendiri.

Green menatap wajah Gavin yang tampak dingin dan menahan emosi dari balik kaca mobil saat melewatinya tanpa meyadari jika ia berdiri di pinggir jalan. Pandangan Green kemudian beralih ke raut wajah Keiza yang tak bersemangat dan tampak sedih. Green bisa menebak jika mereka baru saja bertemu di Kafe Mix dan mungkin saja membicarakan hal penting tentang perasaan mereka. 'Apakah mereka sebenarnya masih saling mencintai?' batin Green dalam hati dengan wajah berubah mendung.

***

DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang