21. MEREDUP KEBENCIAN

934 85 3
                                    


Tengah malam, Green membuka mata karena mendadak kedua matanya terasa silau terkena sinar cahaya. Ia berusaha membuka mata dan terkejut melihat sosok tubuh jangkung tengah mengganti lampu kamar yang mati. "Pak Gavin?" ucap Green kaget dan langsung duduk di tengah ranjang dengan wajah masih mengantuk sambil merapikan rambutnya. "Apa yang Pak Gavin lakukan?"

Gavin turun dari kursi plastik yang dinaikinya setelah memasang lampu baru. Ia mengangkat kursi tersebut untuk dibawa keluar dengan wajah datar. "Bagaimana aku bisa tidur kalau mendengar ada yang mengigau nangis di rumahku malam-malam," jawabnya singkat.

Green menunduk malu dan menyentuh kedua matanya, ternyata ia memang menangis dalam mimpi karena kedua matanya ternyata basah kena air mata.

"Tadi aku sudah mengetuk pintu tapi sepertinya kamu tak mendengar. Maaf, aku masuk ke kamar tanpa ijin dan tak ingin mengganggu tidurmu," ujar Gavin lirih di depan pintu kamar. "Tidurlah sekarang agar bisa istirahat dengan baik. Besok  kita harus berangkat pagi ke kantor," suruhnya lagi sambil menutup pintu.

"Terima kasih, Pak Gavin," sahut Green lirih bertepatan saat pintu kamarnya tertutup.

Green menunduk lesu sesaat lalu menatap lampu tidur yang baru terpasang di kamar itu. Ia tersenyum tipis karena kamar jadi tampak lebih terang. "Ternyata dia tak sejutek wajahnya dan masih ada setitik peduli dengan orang lain," gumam Green lirih sambil membaringkan tubuhnya kembali ke ranjang tidurnya.

Green menatap ke arah jam dinding kamar yang menunjukkan jam 12 malam. Ia kembali memejamkan mata sambil memeluk guling di sampingnya. Tak sampai lima menit, hembus nafasnya tampak teratur dan Green sudah jatuh ke alam tidurnya dengan nyenyak.

***

Keesokan paginya.

Green bergegas keluar kamar setelah membasuh mukanya dan sedikit merapikan penampilannya. Ia tak pernah lupa membawa perlengkapan pribadinya di dalam tasnya sehingga ia tak perlu khawatir untuk masalah make-up dan sikat gigi. Saat keluar kamar ia mendapati Gavin tengah duduk di ruang tamu sambil membaca koran dengan pakaian kerja yang sudah rapi. Ia sedikit heran, di jaman serba digital seperti sekarang, Gavin masih membaca surat kabar seperti pria yang sudah berumur.

"Pagi, Pak....," sapa Green lirih dengan wajah kikuk sambil merapikan rambutnya saat menyapa Gavin yang menoleh ke arahnya dengan wajah dingin.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Gavin singkat dan kembali membaca koran. "Heran melihatku membaca koran seperti ini?"

Green dengan lugu mengangguk pelan. "Kan pakai ponsel bisa menemukan banyak berita di medsos,"ujarnya lirih.

Gavin tersenyum tipis sambil tetap membaca surat kabar tanpa melihat ke arah Green. "Surat kabar itu dijamin isinya tidak akan sembarangan atau banyak hoax seperti di medsos karena lebih berhati-hati saat menulisnya. Dan lagi aku tak ingin hidupku terisi dengan ponsel terus. Kita harus hidup secara nyata, salah satunya ya membaca koran seperti ini sambil menikmati teh hangat," jawab Gavin.

Green mengangguk mengerti dan setuju dengan pola berpikir Gavin. Di jaman sekarang, semua orang hidup seakan hanya dengan ponsel dan mulai berkurang aktifitasnya secara nyata dengan orang lain. Dunia digital memang makin maju tapi perlahan mengikis kehidupan bersosialisasi secara nyata dengan orang lain dan dampak negatifnya adalah menggerus sopan santun dalam mengungkapkan perasaannya di media sosial.

"Sekarang kamu mandi dulu di kamarku, aku tahu kamu hanya mencuci muka," suruh Gavin sambil tetap membaca koran. "Tak usah banyak protes, mandi sekarang agar tubuh lebih segar dan sehat."

Green mendesah pelan kemudian melangkah dengan berat menuju ke arah kamar Gavin tanpa banyak bicara. Ia masuk ke kamar Gavin dengan perasaan tak nyaman dan tak enak. Tak jauh dari kamar mandi, ia melihat handuk bersih dan kemeja putih tergeletak di meja. Ia mendekat dan mengambilnya, saat menyentuh kemeja putih itu ia menghirup bau harum yang sangat khas. Ternyata itu salah satu kemeja milik Gavin. Ia tak pernah membayangkan ia akan mengenakan salah satu pakaian bosnya dan itu seperti sebuah mimpi buruk!

***

Satu jam kemudian.

Green berdiri di tengah ruang makan dengan wajah jauh lebih segar setelah mandi dan mengenakan kemeja Gavin yang sedikit kebesaran untuknya sehingga terpaksa dilipat lengan panjangnya. Pagi itu, Gavin sudah membeli sarapan dengan cara online dan menyiapkannya di meja makan sehingga  mereka bisa sarapan bersama.

Sekarang Green berdiri di depan teras rumah Gavin dengan tas ransel sudah tergantung di punggungnya sambil memperhatikan Gavin tengah mengunci pintu rumahnya. Pria itu berjalan menuju ke arah mobil BMW-nya yang sudah dipanaskan mesinnya.

Green berjalan mendekati Gavin yang sedang membuka pintu mobil dan mendapati pria itu hanya melihatnya sekilas. "Kenapa?" tanyanya acuh.

"Terima kasih untuk semuanya. Pak Gavin berangkat saja duluan, aku naik bis atau ojek online saja," ucap Green dengan tulus tapi malah membuat Gavin tersenyum kecil di wajah acuhnya.

"Bagus jika kamu menyadarinya. Jangan pernah berpikiran aku mau berangkat ke kantor bersamamu? Aku tak mau ada gosip miring dan menimbulkan kecemburuan sosial di kantor," jawab Gavin enteng. "Kalau begitu aku berangkat dulu. Sampai ketemu di kantor," sahutnya sambil memasuki mobilnya dan menghidupkan mesin mobil.

Tak beberapa lama, mobil mengkilap itu bergerak pergi meninggalkan Green sendirian di halaman teras rumah dengan wajah masam. Green kemudian bergegas mengambil ponsel dalam tasnya dan berniat memanggil ojek online tapi ia baru sadar jika ponselnya tertinggal di rumah. "Aduh, kenapa baru sadar sekarang kalau ponsel tertinggal di rumah," keluhnya.

Green kemudian melangkah pelan menyusuri jalan di gang perumahan mewah itu. Ia bergegas berjalan mencari jalan raya besar agar bisa segera mendapatkan bis agar tidak terlambat sampai ke kantor.

***

Lima belas menit kemudian, setelah lama menunggu bis di halte di dekat perumahan Gavin, akhirnya Green mendapat bis dengan jalur menuju ke Kafe Mix. Setelah setengah jam perjalanan, Green turun dari bis tepat di depan halte yang tak begitu jauh dari kafe. Ia melihat dari kejauhan, Marcelin sudah menunggunya di depan mobilnya. Wajahnya terlihat kuyu dan letih. Jelas sekali kalau ia tidak tidur semalaman. Mata mereka saling beradu dan Marcelin segera menegakkan tubuh dari sandaran mobil menuju ke arahnya.

"Dari mana kamu? Aku dengar dari Priyanka kalau kamu bertengkar dengan ibumu dan pergi dari rumah. Aku coba hubungi ponselmu tapi tidak aktif. Apa yang terjadi denganmu? Aku semalaman mencarimu tapi tak ada yang tahu di mana kamu berada?" tanya Marcelin dengan wajah khawatir. "Kamu ini seperti bukan gadis yang kukenal selama ini. Kamu ke mana saja semalam?"

"Ponselku tertinggal di rumah dan aku baik-baik saja. Tak ada yang kurang dariku. Kamu tak usah khawatir," jawab Green dengan suara datar. "Terima kasih, sudah memperhatikanku. Tapi hubungan kita sudah lama berakhir. Kamu harus ingat dengan kekasih barumu, Adenta. Gadis itu yang jadi alasanmu putus denganku," lanjut Green

"Aku sudah tak ada hubungan dengannya lagi. Aku sudah putus dengannya," sahut Marcelin kesal saat tahu Adenta selalu mengekorinya ke mana pun ia pergi.

"Semakin kau menjauh darinya, Adenta akan semakin membenciku. Dia selalu ke sini karena mengawasiku. Aku merasa tak nyaman, Marcelin," jelas Green berusaha sabar. Ia tahu Adenta ketakutan jika Marcelin akan kembali lagi bersamanya.

"Aku akan jelaskan padanya bahwa aku memilihmu!" tegas Marcelin. "Aku tahu, aku salah telah memperalat dia untuk menyakitimu. Waktu itu aku tak berpikir panjang dan bodoh, sehingga membuat hubungan kita putus."

"Hubungan kita sudah berakhir. Aku ingin memulai hidupku dengan tenang. Aku juga masih menunggu kembalinya seseorang yang penting buatku," jelas Green sungguh-sungguh.

"Apa?" Marcelin menatap Green dengan wajah terkejut.

Green tak menyahut dan hanya diam saja sambil melangkah pergi menjauh dari Marcelin tapi tangan Marcelin langsung memegang lengannya dengan erat.

"Ada apa lagi?" tanya Green kaget.

Marcelin menatap Green dengan pandangan tak percaya dan banyak tanda tanya. Ia sampai sekarang tak mengerti, alasan apa sebenarnya sehingga Green begitu sabar menunggu pria tetangga rumahnya itu kembali. 

***

DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang