30. GORES HATI

757 76 6
                                    

Rasa malu langsung menderanya saat kepergok sedang memperhatikan wajah Gavin dari samping sehingga Green langsung mengalihkan tatapannya ke depan dengan pipi memerah sehingga kontras dengan kulitnya yang putih. Green hanya memejamkan matanya dengan wajah sangat malu.

"Kalau sudah selesai. Kita pulang sekarang!" ajak Gavin tiba-tiba setelah selesai makan es krim rujak dan istirahat sebentar. Ia berdiri dari bangku dan mendekati Bapak Penjual es krim rujak dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.

"Mas, ini terlalu banyak," ucap Bapak Penjual Es Krim rujak itu heran.

"Kembaliannya untuk Bapak saja karena sudah menjaganya sebelum saya datang," bisik Gavin ke telinga Bapak Tua itu yang mengangguk-angguk mengerti dengan wajah senang.

"Makasih lho, Mas!" sahut Bapak Penjual itu girang. "Hati-hati di jalan, nggih. Kalau besok undangannya sudah jadi, jangan lupa saya dikabari ya, Mas! Atau paling tidak ke sini lagi berdua dan beli rujak saya lagi," lanjutnya dengan wajah sangat senang.

Gavin hanya tersenyum tipis dan memegang lengan kanan Green agar segera meninggalkan tempat itu dan pergi bersamanya menuju ke arah jalan besar.

"Bapak Penjual itu ngomong apa? Kenapa sebut-sebut undangan segala?" tanya Green bingung sambil menatap Gavin dengan tatapan bingung.

"Ayok, pulang!" ajak Gavin mengalihkan pembicaraan sambil melangkah tegas di depan Green sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana panjangnya.

Mereka bersama-sama menyusuri jalan kecil itu menuju jalan raya besar yang masih lumayan jauh dan sesekali menoleh sehingga tak sengaja kedua mata mereka saling bertemu tak sengaja.

***

Setengah jam kemudian.

Setelah berjalan cukup lama, akhirnya mereka sampai juga di pinggir jalan besar di Jalan Kaliurang. Gavin dan Green terlihat berdiri berdampingan dengan wajah letih dengan keringat menghiasi kening mereka. Gavin membuka satu kancing kemeja birunya di bagian atas karena rasa gerah sehingga terlihat kaos dalam putih yang dikenakannya. Ia kemudian melipat baju lengan panjangnya sampai ke siku agar mengurangi rasa panasnya hari itu.

Kedua tangan Gavin tampak memegang pinggang sambil melongok ke jalanan berharap ada taksi atau kendaraan umum lewat tapi tak satu pun yang lewat karena saat itu jalanan terlihat lebih sepi karena bukan hari weekend di mana orang-orang akan berakhir pekan di daerah Kaliurang. Green yang berdiri di samping Gavin tampak berdiri lesu karena letih.

"Moga-moga hape masih bisa ke pakai," ucap Gavin sambil merogoh saku kemejanya lalu mengambil ponsel tanpa memperhatikan ekspresi wajah Green yang kaget.

"Kenapa Pak Gavin tidak pakai dari tadi? Kita kan tak perlu berlama-lama di sini? Kita bisa pesan driver online sejak tadi, tidak perlu capek-capek jalan?" tanya Green heran dengan wajah tak percaya.

Gavin tak berkomentar dan malah menghubungi seseorang di Kafe Mix dan berbicara sedikit  buru-buru. Green menatap Gavin dengan bibir mengerut, ia bisa menebak siapa yang sedang diajaknya berbicara. Orang itu pastilah Mbak Sandra, sekretarisnya yang jutek dan tak menyukainya sejak awal ia bekerja di Kafe Mix.

"Sebentar lagi taksi online akan datang ke sini," ucap Gavin sambil menutup ponsel dan menatap Green dengan pandangan datar.

"Kalau tahu Pak Gavin bawa hape. Aku sudah pinjam dari tadi," ujar Green dengan nada kecewa. "Tapi ngomong-ngomong, boleh tidak pinjam hape-nya?" tanyanya dengan wajah berubah memohon sehingga membuat alis mata Gavin mengerut.

"Serius sekali kamu?" tanya Gavin heran melihat wajah Green yang berubah drastis, dari wajah kesal langsung berubah memohon.

"Ini masalah penting. Aku harus segera menghubungi temanku. Tolonglah, Pak Gavin," pinta Green dengan wajah sungguh-sungguh memohon sehingga membuat warna matanya yang berwarna kehijauan tampak bersinar penuh harap dan itu membuat Gavin tertegun sesaat.

"Nih!" Gavin menyerahkan ponselnya ke arah Green yang menerimanya dengan antusias.

"Terima-kasih!" Green langsung tersenyum senang sehingga membuat Gavin heran karena pertama kalinya melihat gadis itu bisa tersenyum dengan riang. Biasanya Green selalu menampilkan wajah dingin dan sangat jarang tersenyum.

Saat jari lentik Green hendak memencet nomor di ponsel tersebut, kedua matanya tampak kaget melihat baterai ponsel sudah berkedip-kedip merah dan mendadak ponsel itu langsung mati.

"Makanya, aku tidak pakai hape sejak tadi dan aku matiin. Bateraiku itu lowbat dan tinggal 3 persen saja karena lupa charge di mobil Keiza. Itu pun sudah kupakai untuk menelepon Sandra agar bisa mencarikan driver online buat kita dari map yang aku kirim untuknya. Aku khawatir saat aku pakai untuk pesan driver online, hape mati dan kita tak bisa minta bantuan siapa-siapa," jelas Gavin saat melihat tampang Green yang terlihat kecewa. "Dicoba saja dihidupkan lagi, siapa tahu baterainya masih kuat buat nelpon," ujar Gavin dengan wajah tanpa bersalah.

"Terima kasih atas penjelasannya yang lengkap dan detail." Green menyerahkan ponsel tersebut ke arah telapak tangan kanan Gavin dengan nada kecewa, lalu melangkah pergi menyusuri jalan besar itu.

"Heh, mau ke mana?" teriak Gavin tampak geli karena melihat tampang Green yang gondok karena masalah ponsel tadi hingga bibir gadis itu mangerut dan manyun.

Green tak menyahut dan terus berjalan sendirian tanpa peduli Gavin mengikutinya dari belakang dan memanggil-manggil namanya. Ia kesal dengan sikap Gavin yang seakan kejadian pinjam ponsel tadi hanya candaan belaka, padahal ia sangat berharap bisa menghubungi Priyanka. Ia ingin sekali bertemu dengan Kak Alim tapi entah kenapa, penantiannya terasa sulit semenjak terlibat dengan perjanjian itu.

Lima belas menit lamanya Green berjalan di pinggir jalan raya ketika tiba-tiba muncul sebuah mobil sedan hitam berhenti tak jauh di depannya. Pintu mobil itu langsung terbuka dari dalam dan muncul Gavin menghalangi langkahnya. Pria jangkung itu hanya berdiri dengan sikap percaya diri sambil menatapnya. 

"Masuk!" suruh Gavin agar Green masuk ke dalam taksi yang dipesan oleh Mbak Sandra.

Green memandang Gavin dengan pandangan dingin. Mereka bertatapan sebentar tanpa bicara sepatah kata pun. Green kemudian melangkah melewati tubuh jangkung Gavin dan tak sengaja menyenggol lengan kanan pria itu.

"Green!" panggil Gavin keras saat melihat Green tetap acuh saja dan tak peduli sama sekali dengannya. Gadis itu tetap berjalan meninggalkannya.

Melihat Green makin menjauh darinya. Wajah Gavin tampak masam sambil mengerutkan bibirnya dengan mata menyipit. Bergegas pria berbadan tegap itu masuk ke dalam taksi dan menyuruh sopir agar segera pergi dari tempat itu. 

Saat mobil sedan hitam itu melewati Green yang tengah berjalan sendirian di pinggir jalan, Gavin tak berniat sedikit pun untuk menghentikan taksi itu. Gavin dari balik kaca jendela mobil, tampak acuh tanpa berniat sedikit pun menoleh ke arah Green.

Saat taksi yang ditumpangi Gavin makin menjauh, Green menatap mobil itu dengan wajah berubah kecewa dan sedih. Kedua kakinya yang ramping langsung berhenti melangkah dan matanya yang bagus menatap langit yang berubah senja.

Hari menjelang sore dan Green masih sendirian di pinggir jalan yang tampak lengang. Kedua mata Green tanpa sadar berkaca-kaca dan setetes air mata jatuh pelan di pipinya yang putih. Green mengusapnya cepat sambil menarik nafas dalam-dalam berusaha sabar. Ia kembali berjalan walau sebenarnya ia sakit hati dengan perlakuan Gavin hari ini. Pengorbanannya terlalu besar, seharusnya ia bisa menemui Kak Alim tapi semua gagal total gara-gara bos satu itu. Green benar-benar membencinya!

***


DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang