36. GENANGAN MASA LALU

656 68 4
                                    

Gavin sesaat tampak bimbang melihat makanan di meja. Tangan kanannya bergerak ke arah makanan buatan Green yang ada dalam kotak makanan dan masih terasa hangat wadahnya. Gavin kemudian menoleh ke arah pizza pemberian Keiza dan menatapnya lama, karena pizza itu masih begitu hangat dan memang menu favoritnya.

Gavin kemudian dengan cekatan mengambil pizza milik Keiza dan menutup tempatnya lagi, begitu juga kotak makanan pemberian Green. Gavin kemudian membawa makanan itu ke arah dapur dan memasukkannya ke dalam kulkas. Ia tak berencana untuk memakan makanan keduanya malam itu. Setelah itu, Gavin tampak melangkah menuju ke arah kamarnya sendiri dan tak keluar lagi.

Dua puluh menit kemudian, Gavin keluar dari kamarnya dengan wajah tampak lebih segar dengan pakaian rumah berupa kaos dan celana panjang putih. Gavin terlihat sudah membersihkan badan dan tampak fresh. Ia kemudian melangkah ke arah kulkas dan sesaat berdiri di depannya. Tak lama tangan kanannya mengambil kotak makanan milik Green yang tahan panas dan menghangatkannya di alat penghangat listrik yang ada di dapur.

Tak sampai lama, terdengar bunyi denting mesin penghangat makanan sebagai tanda makanan sudah bisa disantap. Gavin kemudian mengambil makanan itu dan menaruhnya di meja makan. Gavin kemudian duduk dan sesaat menatap kotak makanan itu penuh arti. Tangan kanannya perlahan membuka penutupnya dan melihat masakan buatan Green. Sesaat ia terdiam dan hanya menatapnya lama. Gavin melihat bubur sumsum buatan Green yang tampak putih, kental dan gurih. Di sampingnya terdapat saus gula merah yang kental yang bisa disiram di buburnya. Ternyata Green berlatih membuat bubur sumsum khas milik Kafe Mix yang jadi andalan selama ini untuk perlombaan minggu depan.

Gavin kemudian mengambil sendok dan mulai menyantap bubur sumsum yang sudah dicampur dengan saus gula merahnya dengan pelan. Saat bubur sumsum itu berada di mulutnya dan terasa begitu lembut dan gurih, Gavin perlahan memejamkan kedua matanya dan menunduk. Rambut bagian samping tampak menutupi wajahnya dan perlahan tangan kiri Gavin terangkat dan terlihat mengusap kedua matanya pelan.

"Gadis itu membuatku teringat masakan Ibu," ucap Gavin dengan suara serak sambil mendongakkan kepalanya ke atas karena tanpa sadar kedua matanya berkaca-kaca merasakan masakan bubur sumsum buatan Green benar-benar persis buatan Ibu Gavin saat masih hidup. "Gara-gara Green mataku jadi berair," keluh Gavin sambil mengusap pelan kedua matanya lagi.

Gavin kemudian menatap bubur sumsum itu dengan pandangan penuh makna. Perlahan ia menyantapnya dan tak lama Gavin tersenyum tipis. Ia seakan kembali ke masa lalu saat ibunya masih hidup  lewat makanan buatan Green. Mengenang hari di mana ia masih merasakan kasih sayang kedua orang-tuanya sebelum problema keluarganya terjadi dan merusak semuanya.

***

Seminggu kemudian,

Green terlihat serius membuat makanan hari itu. Ia berusaha tak terpengaruh dengan dua lawannya di final lomba membuat kue ala Kafe Mix. Ia juga tak menghiraukan semua pandangn mata penonton yang menonton acara lomba hari itu. Ia hanya ingin membuat dua makanan dengan baik dan selesai sesuai waktu yang diberikan juri.

Marcelin tampak berdiri di belakang dengan wajah tegang. Sebelum lomba dimulai, ia sudah datang duluan dan memberi semangat untuk Green. Tak jauh darinya tampak Priyanka ikut menonton, ia menyempatkan diri ke acara tersebut setelah kabur dari toko ayahnya. Tiap libur kuliah, Priyanka dapat tugas orang tuanya untuk menjaga toko kain milik keluarganya di Jalan Solo, tapi berhubung lomba yang diikuti Green jatuh di hari Minggu, Priyanka terpaksa kabur dari toko. Ia sudah tak memikirkan orang-tuanya akan memarahinya setelah pulang nanti.

"Ayok, Green! Kamu pasti bisa!" ucap Priyanka penuh semangat di samping Marcelin yang tampak tegang di sampingnya.

"Kamu tak tegang?" tanya Marcelin lirih ke arah Priyanka.

"Tentu saja tapi tak setegang dirimu," jawab Priyanka sambil menoleh ke arah Marcelin dengan alis mengerut melihat Marcelin begitu gugup.

Marcelin menoleh ke arah gadis bermata indah dan berambut kecoklatan itu dengan bibir manyun. Sahabat Green yang berwarna kulit putih seperti keturunan bule itu, tampak tersenyum ceria ke arahnya. "Kamu memang dari dulu selalu santai. Kelebihanmu di situ," puji Marcelin membandingkan dengan dirinya sendiri.

"Lihat, semua peserta sudah menyajikan hasil masakan mereka ke arah juri," ujar Priyanka antusias sambil menunjuk ke arah tiga peserta lomba menaruh hasil masakan mereka di depan meja juri setelah hampir satu jam lebih mereka mengolah masakan mereka.

Marcelin menatap tegang dan tak sengaja melihat sosok Gavin muncul dari arah pintu belakang. Hari itu adalah hari libur sehingga tak ada aktifitas kerja di bagian kantor. Sejak berlangsungnya perlombaan, Gavin tak terlihat hadir dan itu membuat Marcelin senang karena ia tak mau melihat sosok bos satu itu ada di acara tersebut. Tapi entah kenapa, Gavin tiba-tiba datang dan hadir pada saat penilaian dari juri. Raut wajah Marcelin langsung mengerut dan berubah serius. Ia melihat Gavin dengan pakaian rapi berdiri di belakang dengan kemeja hitam berlengan panjang dan celana denim hitam berdiri dengan wajah dingin. Gavin hanya berdiri dengan kedua tangan bersedakep sambil kedua matanya yang tajam menatap ke arah tiga peserta lomba sedang menyajikan hasil masakan mereka.

"Siapa dia?" tanya Priyanka sambil menoleh ke belakang ke arah Marcelin sedang menatap.

"Dia bosnya Green," jawab Marcelin lirih dengan suara tak antusias.

"Wooooh, ternyata orangnya masih muda dan cakep seperti itu!" puji Priyanka dengan bibir melongo karena kaget melihat sosok Gavin dari kejauhan. "Kupikir bosnya itu sudah di atas 40 tahunan, ternyata seorang pengusaha muda dan berwajah keren," pujinya jujur.

"Dia sudah mau om-om," sahut Marcelin dengan nada tak suka.

Mendengar jawaban Marcelin, Priyanka hanya tersenyum. "Kata ayahku, kita tak boleh cemburu, nanti kita semua juga akan jadi om dan tante dan melewati usia itu juga. Tak usah merasa terlalu pede karena umur kita jauh lebih muda. Saatnya nanti kita juga akan melewati usia itu tanpa bisa menghindar. Usia menuju kematangan, bertambah tanggung jawab dan tentunya tekanan sosial yang lebih berat. Tak mudah melalui fase itu tergantung masing-masing orang saat menghadapinya. Itulah kenapa orang harus belajar keras sejak menempuh pendidikan, agar di usia fase tersebut, kita memiliki pondasi masa depan, prestasi pencapaian dan kepercayaan diri yang bisa membantu kita menghadapi beratnya tekanan sebagai orang dewasa di dalam masyarakat sosial kita," ujar Priyanka lagi.

"Iya-ya!" jawab Marcelin sambil tersenyum masam.

"You are good listener!" sahut Priyanka sambil melihat ke arena lomba dan melihat dua orang chef maju ke depan untuk mengumumkan hasil perlombaan atau pemenangnya.

"Setelah kita pertimbangkan dan diskusi bersama serta mencicipi hasil olahan masakan ketiga peserta, pemenang lomba masak Kafe Mix tahun ini jatuh kepada...?" Seorang chef membaca selembar kertas di tangannya dan itu membuat wajah Marcelin, Priyanka dan khususnya Green tampak tegang dan gugup.

Green berusaha untuk tersenyum walau sebenarnya jantungnya berdebar  karena ini pertama kalinya ia mengikuti lomba memasak. Dulu memasak hanya sebatas hobi saja dan tak pernah terpikir untuk ikut lomba apa pun. Jika bukan karena kondisi keluarganya sekarang dan juga hutangnya pada Gavin, mungkin ia tak akan mengikuti lomba itu.

***


DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang