22. TIGA PRIA

825 82 6
                                    

"Maksudmu? Kamu masih menunggu teman masa lalumu itu? Dia itu sudah melupakanmu. Dia tak akan kembali ke sini lagi. Kamu hanya menghabiskan waktumu untuk menunggunya. Kau sudah lama menantinya dan sampai sekarang dia bahkan tak pernah muncul untuk menemuimu!" ingat Marcelin gusar.

"Maafkan aku. Tapi aku harus menantinya, karena itu penting buatku!" jawab Green tegas hingga membuat Marcelin menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan keteguhannya.

Sejak berhubungan dekat dengan Green, Marcelin menganggap cerita teman masa lalu Green hanyalah sebuah omong kosong belaka. Lambat laun, rasa cemburu mulai mengusik hatinya setiap melihat wajah Green yang begitu bangga menceritakan tentang pria bernama Kak Alim. Dan ternyata hingga sekarang Green masih saja menantinya kembali.

"Kamu ini memang aneh, Green?" ujar Marcelin heran. "Tapi jangan khawatir, aku juga akan selalu menunggumu. Jika dia tak datang, aku akan selalu mendampingimu," lanjutnya sungguh-sungguh hingga membuat Green terdiam.

Ketika Marcelin dan Green tengah berbicara serius di halaman parkir, tampak mobil Gavin meluncur masuk ke halaman kafe dan berhenti tak jauh dari tempat mereka. Gavin keluar dari mobil tanpa sedikit pun menoleh ke arah mereka. Ia berjalan dengan acuh menuju ke arah ruangannya.

***

Sampai di dalam ruangannya, Gavin berdiri di depan jendela dengan wajah diam. Jemari tangannya perlahan menyibak tirai jendela berwarna putih di dekatnya. Kedua matanya yang dalam langsung menyipit saat melihat Green tengah melerai Marcelin bertengkar dengan seorang pria asing berwajah kebulean di halaman parkir kafe.

"Ada apa lagi dengan gadis itu lagi?" Gavin menggelengkan kepalanya heran. "Selalu saja, dia bikin masalah."

Gavin menutup tirai jendela dengan wajah bingung dan alis mengerut. Ia tak tahu banyak tentang Green. Banyak sekali pria-pria yang bisa dikatakan memiliki wajah lumayan mengelilinginya. Pertama, Marcelin yang selalu nongol di kafe hingga semua pegawainya hafal dengannya. Kedua, pria berwajah oriental yang ditemuinya di toko buku. Dan yang ketiga, pria berwajah tampan keindoan yang sekarang berada di halaman kafenya dan tampak begitu melindungi Green.

Gavin perlahan duduk di kursi kerjanya dan tertawa geli dengan dirinya sendiri. "Apa urusanku memikirkan kehidupan gadis itu? Apa peduliku!" gumamnya sambil memulai pekerjaannya yang sudah menumpuk di meja untuk diperiksanya.

***

Di halaman kafe, Green menarik lengan Blue, kakak sulungnya yang hampir terayun ke arah wajah Marcelin. "Jangan, Kak! Dia nggak salah!" pinta Green sambil memegang erat tangan kakaknya yang sudah mengepal kuat menahan emosi.

Green sama sekali tak menduga Kak Blue akan muncul di kafe pagi itu. Kakak sulungnya tak pernah menyukai Marcelin semenjak mereka putus demi gadis lain. Dulu kakaknya begitu mempercayai Marcelin karena yakin akan membuat adiknya bahagia. Tapi sikapnya berubah drastis saat tahu Marcelin melukai adiknya hanya karena dendam pribadi padanya. Marcelin menduga Blue telah mempermainkan hati kakak perempuannya yang bernama Sheila, padahal semua itu tak benar sama sekali. Kakak Marcelin bertepuk sebelah tangan dengan Blue yang menolak perasaannya.

Tak bisa dipungkiri, banyak gadis yang menyukai kakak sulung Green karena wajahnya yang tampan keindoan. Kulitnya putih seperti orang barat, rambutnya coklat gelap dan tubuhnya tegap seperti orang eropa. Tak mengherankan jika kakak sulung Green sangat dikenal di kalangan para gadis.

"Aku sudah memperingatkanmu, jangan dekati adikku lagi!" ancam Blue serius. "Awas jika kau berani menyakitinya lagi!"

"Kak Blue, Marcelin tidak berbuat apa-apa," jelas Green dengan suara memohon. "Tolong, jangan bertengkar di sini. Aku tidak mau ada masalah di sini gara-gara kalian berdua. Aku bisa dipecat karena membuat kegaduhan di sini."

Blue menatap ke arah Green dan melepas pegangan adiknya dari lengannya. Ia kemudian menyentuh kepala Green pelan. "Kamu baik-baik saja kan semalam? Aku mencarimu semalam bersama White sampai ke rumah Priyanka dan temanmu yang lain," jelasnya dengan wajah khawatir karena Green tak pulang semalam. "Paling tidak beri kabar ke kita sehingga kita tak kebingungan mencarimu."

"Maaf, hape-ku ketinggalan di rumah," jawab Green tak enak dan menyesal. "Aku baik-baik saja. Kemarin aku menginap di tempat yang aman," jawab Green gugup dan tak berani menceritakan jika ia menginap di rumah Gavin.

"Ayah pulang besok dan kamu harus ada di rumah. Jelaskan pada Ibu kalau kamu bukan seperti yang dituduhkan orang selama ini. Aku dan White akan membujuk Ibu agar tidak lagi salah paham. Tapi ingat? Kamu harus jujur dan jelaskan semuanya," pinta Blue tegas.

Green mengangguk pelan sehingga membuat Blue tersenyum lega. Laki-laki berbibir bagus itu kemudian pamit pulang dan berjalan pergi menyusuri trotoar menuju ke arah halte bis Transjogja.

"Apa yang harus kulakukan untuk menjelaskan soal uang 150 juta itu pada Ibu?" keluh Green sedih sepeninggal kakaknya.

Tanpa sengaja mata Green menatap Marcelin yang masih berdiri tak jauh darinya. Ia mengepalkan tangannya seakan memberi semangat untuk Green, sehingga membuat Green tersenyum tipis sambil masuk ke dalam kafe.

***

Siang harinya, Green bersiap pulang ketika matanya yang lentik melihat ke arah ruangan Gavin yang masih tertutup rapat. Hampir setengah hari ia bekerja di kafe, tapi Green sama sekali tak melihat Gavin keluar ruangan padahal ia ingin sekali bertemu dengannya untuk meminta bantuan.

Dengan wajah lesu Green keluar dari kafe dan duduk di bangku panjang di depan gardu satpam. Tampak Pak Panji, satpam baru langsung tersenyum ramah ke arahnya setelah mengecek seluruh area tempat itu.

Hampir setengah jam Green duduk termenung di bangku sambil memikirkan cara mengatasi permasalahannya dengan ibunya. Ia tak tahu harus meminta tolong siapa untuk membantunya. Yang pasti, ia harus bisa menjelaskan kesalah-pahaman antara dirinya dan ibu sesegera mungkin sebelum ayahnya pulang dari rumah sakit.

Mata Green langsung bersinar cerah saat melihat Gavin muncul dari dalam ruangannya dan tampak menuju ke arah mobilnya yang terparkir. Ragu-ragu Green melangkah mendekati Gavin yang terlihat mengambil sesuatu dari dalam mobil .

Belum sempat Green mengeluarkan suara, tiba-tiba Gavin berbalik ke arahnya dan menatapnya. "Ada apa?" tanyanya dengan wajah dingin dan suara tak ramah.

***

DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang