33. FOOD

645 76 8
                                    

Green terkejut ketika melihat Gavin ternyata masih ada di kantor. Ia mengira bosnya itu sudah pulang sejak sore tadi. Ia sengaja tak mau bertemu dengannya karena masih marah dan gondok karena kejadian di rumah Tante Maya sehingga membuatnya gagal bertemu dengan Kak Alim.

"Kenapa belum pulang dan masih di sini?" tanya Gavin heran sambil menatap Green dengan kedua tangan bersedakep. "Ini sudah jam delapan malam. Memangnya kamu selama itu berlatih membuat makanannya?"

"Aku baru saja memakai dapurnya karena tadi harus giliran dengan peserta lain. Ternyata berlatih di sini hanya bisa hari ini saja dan mendapat giliran terakhir," jelas Green lirih sambil membalikkan tubuhnya untuk mengaduk makanan yang dibuatnya dengan wajah dingin.

Gavin melangkah mendekati Green di dapur belakang kafe yang mulai sepi  karena dapur utama ada di depan dan dipakai untuk melayani pelanggan kafe. Pria jangkung itu berdiri di samping Green dan menatap ke arah makanan yang sedang dibuat gadis itu. "Bukannya kamu yang pertama kali ke dapur tadi? Kenapa malah jadi yang terakhir?" tanya Gavin dengan alis mengerut sambil menatap ke arah Green. 

Green masih sibuk mengaduk masakannya dengan pelan. "Dia meminta ijin duluan memakai dapur di sini, karena masih ada tugas kuliah yang harus dikerjakan malam ini. Katanya hari Senin harus dikumpulkan ke dosen," jawab Green lirih.

Mendengar jawaban Green, serentak Gavin tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. "Kamu itu terlalu baik hati," ujar Gavin tak habis pikir karena tahu Green sedang dimanfaatkan oleh temannya karena ia mengenal Green tipe tak enakan jika berkaitan dengan teman. Gavin memperhatikan Green selalu dimintai tolong selama bekerja di kafe tanpa bisa menolak.

Green hanya diam saja sambil fokus mengaduk masakannya. Ia masih gondok dengan Gavin sehingga tak terlalu menanggapi kehadiran pria berbadan jangkung itu di dekatnya.

"Kenapa diam saja?" tanya Gavin heran karena Green tampak acuh terhadapnya. 

"Pak Gavin pulang saja duluan, aku masih akan berlatih di sini hingga kafe tutup nanti," ujar Green lirih. "Lagipula tak enak jika dilihat orang jika hanya berduaan di sini. Nanti bisa timbul gosip dan bisa mencoreng nama Pak Gavin."

Gavin mengerutkan keningnya mendengar nada suara dingin dan acuh Green terhadapnya. Pria berambut tebal itu kemudian melangkah keluar dari dapur dengan alis mata mengerut tampak berpikir. Tak lama setelah kepergian Gavin, Green perlahan menoleh ke belakang dengan wajah datar. Ia kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya dengan cekatan karena melihat jam sudah berputar cepat dan makin malam.

***

Satu jam kemudian.

Setelah membersihkan dapur dan menata semua barang bawaannya, Green kemudian melangkah ke arah loker miliknya untuk mengambil tas ransel dan barangnya yang lain. Jam sudah menunjukkan jam sembilan malam dan kafe masih melayani pelanggan karena ternyata malam itu ramai pengunjung.

Pelan-pelan Green melangkah keluar dari ruang karyawan sambil membawa makanan hasil masakannya ke dalam kotak makanan dan menaruhnya di tas plastik yang dibawa dengan tangan kirinya. Saat hendak melangkah keluar dari tempat loker, Green terkejut ketika mendapati sosok Gavin berdiri tak jauh di depannya sambil menatapnya dengan tatapan serius.

"Pak Gavin?" Green kaget mendapati Gavin ternyata belum pulang.

Gavin tak banyak bicara kemudian melangkah mendekati Green yang masih di ruang loker karyawan yang kecil itu. Green serentak melangkah mundur saat Gavin mendekatinya dengan wajah angkuh seperti dulu. Saat terjebak di tembok, Green terpaksa berhenti dan melihat Gavin menghentikan langkahnya dengan mata menyipit.

"Apa mau Pak Gavin?" tanya Green memberanikan diri.

Gavin tampak tersenyum sinis. "Kamu sepertinya lupa dengan perjanjian kita," ujarnya dengan nada tak enak. "Dalam perjanjian itu, hubungan kita itu tetap atasan dan bawahan. Kamu harus tetap menghormatiku," ujar Gavin mengingatkan.

Green menatap Gavin dengan kepala sedikit mendongak karena tubuh pria itu begitu tinggi. "Jika atasan salah, apa bawahannya tidak boleh mengacuhkannya sebagai luapan rasa marahnya? Itu kan menyangkut rasa dan emosi sebagai manusia," jawab Green.

Mendengar jawaban Green, raut wajah Gavin langsung mengerut. Ia tampak berpikir lalu menatap ke arah Green. "Jadi kamu bersikap seperti ini karena masih marah padaku?"

Green tak menjawab tetapi kemudian mendorong tubuh tegap Gavin agar minggir. Ia melangkah pergi meninggalkan Gavin begitu saja. Ia kesal Gavin sama sekali tak menyadari kesalahannya dan bersikap biasa saja seakan tak terjadi sesuatu.

"Maaf! Untuk kejadian waktu itu," ucap Gavin tiba-tiba sebelum Green sempat melangkah jauh. "Aku tak berniat membatalkan janji pertemuanmu dengan temanmu itu. Hari itu semuanya terjadi begitu mendadak sehingga aku terpaksa mengajakmu," jelas Gavin dengan suara serius.

Green serentak berhenti dan perlahan menoleh ke arah Gavin. Ia melihat pria itu berdiri dan menatapnya dengan sikap sungguh-sungguh. Ia masih diam tak bergeming ketika melihat Gavin mendekatinya.

"Ayo, kita pulang," ajak Gavin sambil melihat sekilas ke arah Green dengan suara pelan. "Kuantar kamu pulang karena sekarang sudah malam," ujarnya lagi sambil menarik tas ransel di punggung Green agar ikut dengannya.

Mau tak mau Green pun terpaksa ikut karena Gavin memegang erat tas ranselnya. Sampai di tempat parkir yang sepi dan tak banyak orang karena tempat parkir milik Gavin memang khusus dan tak ada yang berani masuk area tersebut.

"Kamu masuk duluan ke mobil, pintunya sudah kubuka. Pumpung sekarang sepi, segera masuk mobil. Ingat, duduk di depan. Aku bukan sopirmu," suruh Gavin sambil melepas pegangan tangannya di tas ransel Green.

Green mendesah pelan sambil berusaha sabar dengan sikap 'tukang suruh' Gavin. Ia bergegas berjalan ke arah mobil BMW itu dan membuka pintu mobil dengan cepat lalu masuk ke dalam mobil. Melihat Green sudah masuk ke dalam mobil,  Gavin segera melangkah  menyusul menuju ke mobil.

Saat berada di dalam mobil, mereka saling diam tak ada suara dengan suasana kaku. Mobil tak segera menyala dan mereka saling diam sesaat. Untung saja kaca mobil Gavin berwarna gelap sehingga mereka tak terlihat dari luar.

"Tante Maya itu, tantenya Keiza dan dia itu sangat baik padaku ketika aku masih menjalin hubungan dengan keponakannya. Makanya aku harus segera menemuinya untuk menengoknya. Tapi aku harus bersamamu karena aku tak ingin hanya berdua saja dengan Keiza. Aku ingin mereka tahu, kamulah pasanganku sekarang. Tapi ternyata, Keiza belum memberitahu tentang pertunangannya dengan Aryo, sehingga Tante Maya mengira kita masih bersama. Saat pertunangan itu, Tante Maya sedang di Singapore untuk pengobatan," jelas Gavin lirih sambil menatap ke arah depan. "Karena Tante Maya sedang sakit, aku tak ingin membuatnya kecewa jika tahu aku dan Keiza sudah putus. Aku berencana memberitahunya jika semua sudah siap. Aku tak tega terhadap orang yang sedang sakit seperti Tante Maya."

Green menatap ke arah Gavin dengan tatapan banyak makna. Ia melihat Gavin dari samping dan melihat raut wajah mendung tergurat di wajahnya saat mengucapkan kata sakit. Ia merasa ada luka dalam tatapan itu tapi ia tak tahu apa itu. Gavin dibalik sikap ketusnya seperti menyimpan sebuah ganjalan karena ada luka yang pernah menggores di hatinya.

Green paham jika setiap orang memiliki masalah, hanya saja terkadang tak terlihat dari tampilan mereka yang kadang tak tertebak seperti petuah jawa Sawang Sinawang benar adanya. Terkadang apa yang terlihat itu tak seperti yang terlihat. Kadang terlihat baik ternyata buruk, begitu juga sebaliknya.

"Pak Gavin, ini untukmu. Cobalah dan cicipi di rumah. Bisa untuk makan malam karena aku jamin makanan buatanku ini sehat untuk dikonsumsi. Jangan pesan food online sembarangan dan fast food terus. Itu tak baik. Cobalah makananku ini walau tak seenak buatan chef di sini," ujar Green sambil menyerahkan wadah kotak makanan yang berisi hasil masakannya tadi.

Gavin menoleh ke arah Green dengan wajah kaget karena tak menyangka jika akan diberi masakan buatan gadis itu. "Untukku?"

Green mengangguk pelan sambil menyerahkan kotak makanan itu ke arah Gavin yang hanya duduk dan terdiam mendapat pemberian itu.

***


DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang