14.Dia dan dia

1K 103 4
                                    


Green dengan santai memutar-mutar pergelangan tangan kanannya dengan bibir mungilnya sambil tersenyum kecil tapi berkesan ancaman sehingga membuat Gavin tampak tegang sesaat.

"Oke! Tapi ingat jangan keras-keras," ujar Gavin dengan suara mengingatkan.

Green tak banyak bicara dan hanya mengangguk pelan sambil memutar-mutar terus pergelangan tangan kanannya. Gavin tampak berusaha tenang walau jantungnya sebenarnya agak dag-dig-dug , khawatir Green benar-benar memukulnya dengan keras.

"Oke, sekarang boleh pukul," suruh Gavin dengan wajah pasrah sambil memejamkan matanya dengan tangan kanan mengepal untuk menahan sakit jika Green benar-benar memukulnya dengan keras. Ia sadar telah melakukan kesalahan karena melanggar perjanjian mereka sehingga ia layak untuk dihukum.

Gavin menghembuskan nafas untuk mengusir rasa tegangnya ketika ia merasakan wajahnya ditimpuk berkali-kali dengan bantal sehingga ia membuka kedua matanya. Ternyata Green memukulnya dengan bantal mobil sehingga tak begitu keras walau berkali-kali sehingga tanpa sadar Gavin tersenyum tipis.

"Ini balasan untuk Pak Gavin karena sudah melanggar deal kita! Pak Gavin jahat!" ucap Green jengkel sambil memukul tubuh pria berbadan tegap itu dengan bantal mobil berulang kali dari bahu ke atas sehingga kena wajah Gavin.

Gavin menerima semua pukulan Green dengan pasrah dan tak berusaha menghindar, ia memberi Green untuk melampiaskan amarahnya padanya. "Sorry...," ucap Gavin dengan sangat lirih.

Mendengar kata maaf dari Gavin, serentak tangan Green yang memegang bantal mobil langsung berhenti. Bantal itu perlahan turun ke bawah. Green mendapati Gavin tengah menatapnya dengan rambut tak beraturan karena terkenal pukulan bantal darinya. Mereka saling berpandangan sesaat lamanya.

"Pak Gavin, tak boleh melakukannya lagi. Paling tidak harus ijin atau memberitahuku dulu sebelum melakukannya," ucap Green sambil mengatur nafas karena energinya banyak keluar untuk memukul tubuh pria berbadan jangkung itu.

Gavin tanpa bicara mengangguk pelan dengan wajah mengerti. Pria itu kemudian merapikan rambutnya yang berantakan sedangkan Green membalikkan tubuhnya ke arah lain dan menjauh dari Gavin. Mereka saling diam dengan kepala  ke arah yang berlawanan. Dari belakang setir mobil, Pak Dono sopir pribadi ayah Gavin, hanya tersenyum geli melihat tingkah mereka berdua sambil mengendarai mobil  besar dan mewah itu dengan hati-hati.

'Mas Gavin tampaknya sudah sedikit berubah,' gumam Pak Dono dengan senyum penuh arti dan teringat kejadian saat Gavin begitu terpukul kehilangan ibunya yang meninggal beberapa tahun lalu dan itu awal berseterunya dengan ayahnya.

***

Sampai di Yogyakarta.

"Stop! Stop! Di sini saja!" pinta Green ke arah Gavin dengan gugup saat melihat jam di tangan kirinya menunjuk angka jam sepuluh malam.

Gavin dan Green tiba di Jogja tepat waktu seperti jadwal penerbangan pesawat yang terakhir. Mereka kembali ke kota memakai mobil yang sama yang diparkir di bandara selama mereka ke Jakarta.

Mendengar permintaan Green, Gavin serentak menginjak rem mobil dan menghentikan mobil dengan cara mendadak. Mobil itu berhenti tepat di depan sebuah gapura di daerah perkampungan di pinggiran kota.

"Di sini?" Gavin menatap ke arah gang yang hanya diterangi lampu remang-remang yang terlihat sepi.

Green tak memberi jawaban dan hanya mengangguk cepat sambil membuka pintu mobil dengan wajah panik. Ia takut kena marah ibunya karena pulang terlambat. Green bergegas berlari ke arah gapura dengan masih memakai sepatu hak tinggi pemberian Gavin. Saat sampai bandara Jogja, Green menyempatkan diri berganti pakaian tapi tak sempat berganti sepatu karena Gavin tak sabar menunggunya.

DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang