05. UNDANGAN

1.4K 131 0
                                    


Dua minggu berlalu,

di ruang kerjanya yang luas, Gavin terlihat sedang bersama Ezzel yang datang ke Jogja setiap seminggu sekali  untuk membicarakan masalah bisnis. Semua karyawan di Kafe Mix rata-rata sudah mengenal Ezzel sebagai Marketing Digital Manager yang bertanggung-jawab memimpin promosi brand Mix Coffee Shop dalam beragam channel dalam dunia digital, tapi juga sebagai pemilik usaha walau sahamnya tak sebesar kepemilikan Gavin.

Di dalam ruangan, Gavin dan Ezzel tampak berdiskusi  dengan serius di dalam ruangan yang berkaca. Di lain tempat tampak Green bertugas hari itu dengan cekatan dan tak banyak bicara dengan pegawai lainnya. Green tipe gadis yang tak ingin tahu urusan orang lain dan lebih suka fokus ke pekerjaannya atau membaca buku kuliahnya jika sedang tak melayani customer.

Green paling menghindari berbasa-basi hanya untuk 'keramahan' sosial semata. Ia lebih suka fokus dan peduli dengan pekerjaan dan masalah keluarganya saja. Baginya dua hal itu sudah cukup menguras pikiran dan tenaganya selama ini. Ia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjaga ayahnya yang masih opname dan bergantian dengan kedua kakak lelakinya. Ditambah lagi masalah Marcelin yang hampir tiap hari selalu datang ke Mix untuk membujuknya berbaikan, sehingga membuatnya tak nyaman dengan pegawai lainnya.

Seperti hari itu, Marcelin sudah datang ke Kafe Mix dan menatapnya dengan senyumnya yang manis dan tak peduli dirinya dikenal dan dihafal semua pegawai di Kafe Mix.

"Untuk apa kamu ke sini terus?" tanya Green berusaha sabar menghadapi mantan kekasihnya itu.

"Menjaga kamu dari laki-laki lain. Pegawai part time di sini hampir semua cakep dan  wajah mereka khas suku yang beragam di negara kita, bahkan ada yang indo. Jangan-jangan, salah satu dari mereka bakal membawamu kabur," ujar Marcelin khawatir.

"Terserahlah kamu mau berpikir apa? Tapi please jangan ke sini lagi. Kita sudah tak ada hubungan lagi Marcelin," pinta  Green serius. "Aku tak enak dengan pegawai lainnya," jelasnya.

Sebelum Green beranjak pergi, tiba-tiba tangan Marcelin memegang telapak tangannya erat. "Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal tentang kejadian kita dulu. Aku sungguh-sungguh tak ingin mnyakitimu. Aku berpikir sesaat saja karena emosi dan tak berpikir panjang," ucap Marcelin dengan wajah serius sehingga membuat Green terdiam.

Perlahan Green melepaskan tangannya. "Kita sudah putus," jawab Green singkat sambil perlahan pergi tanpa mengucapkan kata-kata lagi meninggalkan Marcelin yang hanya bisa duduk dengan menghela nafas panjang.

***

Di ruang kerja Gavin yang luas, Ezzel berdiri di depan jendela kaca sambil melihat keluar, tepatnya ke arah para pegawai Kafe Mix yang sibuk bertugas. Ruangan kerja Gavin memang bisa melihat aktifitas para pegawai dari balik ruangan berkacanya dan juga halaman depan sehingga memiliki pemandangan bagus dan bisa mengawasi.

"Kelihatannya ada pelanggan yang menyukai salah satu pegawai wanita di sini," ujar Ezzel dengan senyum tipis saat tak sengaja melihat Marcelin dan Green sedang berbicara. "Aku lihat lelaki muda berwajah lumayan itu berkomunikasi dengan salah satu pegawai di sini dengan serius dan tampaknya sudah saling mengenal," tunjuk Ezzel ke arah meja Marcelin.

Gavin menghentikan pekerjaannya yang menumpuk di mejanya. Matanya yang berbulu mata bagus melihat ke arah tempat yang dilihat Ezzel. Ia melihat sosok Marcelin duduk di pojok ruang pengunjung seperti biasanya. "Oh, dia," sahut Gavin datar. "Dia memang kenal dengan salah satu pegawai di sini. Kudengar dari karyawan lain, katanya lelaki itu mantan kekasihnya yang ingin balikan lagi," lanjutnya sambil memeriksa kembali berkas laporan perusahaannya.

Ezzel melangkah ke arah kursi sofa dan duduk dengan santai sambil mengambil beberapa kertas kecil di dalam kotak kaca di meja. Kertas kecil tulisan para pelanggan yang meluangkan waktunya untuk mengisi review mereka saat berkunjung ke Kafe Mix. "Sepertinya banyak yang menyebut nama Green di sini. Namanya unik," ujar Ezzel heran. "Ada yang menyebutnya, dia pegawai menyenangkan dan baik hati. Apa kamu tahu karyawan ini, Vin?" tanya Ezzel penasaran. "Mungkin gadis ini bisa menjadi best employee kita bulan ini dan berhak mendapatkan bonus."

Gavin tanpa banyak bicara, tangan kanannya yang memegang pulpen menunjuk ke arah luar ruangan yang berkaca. Saat itu sosok Green tengah berjalan melewati ruangan mereka sambil membawa nampan untuk pergi ke bagian belakang atau tepatnya ke arah dapur.

"Ooh, itu yang namanya Green!" seru Ezzel manggut-manggut dengan senyum lebar. "Pantes banyak yang suka padanya. Pasti yang nulis di kotak ini sebagian besar laki-laki," tebak Ezzel yakin. "Gadis itu tidak cantik cetar yang lama-lama bikin bosan, tapi memiliki daya tarik kuat sehingga menarik. Dia tetap terlihat cantik dan manis walau tidak memakai make-up tebal. Sayang, wajahnya sepertinya tidak bahagia dan jarang sekali tersenyum. Tetapi mungkin dia dapat review bagus karena  saat melayani pelanggan dia bisa bersikap menyenangkan dan melayani dengan baik. Artinya dia bisa bersikap profesional."

Gavin tersenyum sinis mendengar komentar Ezzel yang memuji Green. "Kamu naksir dia?" 

Terdengar Ezzel tertawa keras sambil menatap Gavin yang kembali fokus menanda-tangani surat-surat penting. "Kalau naksir gadis seperti dia, itu bukan hal yang aneh, kan? Tapi untuk menggaetnya pasti sulit. Mantan pacarnya yang ganteng seperti itu, mesti membujuknya untuk mendapatkan perhatiannya. Hasilnya saja masih saja belum jelas. Kelihatan mantannya ditolak sama dia. Aku yakin, ada yang membuatnya bersikap dingin seperti itu. Lihat saja, wajahnya tak pernah tersenyum. Dia tersenyum jika melayani pelanggan saja, setelah pergi wajahnya kembali datar," ujar Ezzel yakin. "Dia tersenyum karena tuntutan pekerjaan saja," tebaknya yakin.

"Dia memang sudah aneh sejak dulu," sahut Gavin lirih. "Oya, hari ini kamu mau balik ke Jakarta, kan? Pakai flight jam berapa?" tanya Gavin sambil beranjak dari kursi dan mengambil beberapa surat yang datang dan ada di sudut mejanya.

"Jam empat sore," jawab Ezzel singkat tanpa memperhatikan Gavin karena sibuk melihat ke arah ponselnya.

Gavin menunduk menatap sebuah amplop warna ungu muda di tangan kanannya dengan wajah tertegun. Perlahan Gavin membuka surat undangan tersebut dengan tangan ragu. Wajahnya langsung diam saat membaca kartu undangan tersebut. Sebuah undangan pertunangan yang akan diadakan Sabtu depan di Jakarta. Saat Ezzel melihat Gavin membaca undangan tersebut, wajahnya langsung berkerut dengan perasaan tak enak.

"Ooh, a-aku juga dapat undangan itu. Adikku memberitahuku dari Jakarta," jelas Ezzel gugup dan wajahnya jadi tak enak saat melihat raut wajah Gavin yang hanya diam. "Tapi aku tak bisa datang karena tepat dengan janji bisnis lain di Surabaya."

Gavin hanya tersenyum sinis. "Keluarga Keiza pasti senang dengan pertunangan ini. Mereka sejak awal sudah tak menyukaiku. Sejak dulu, aku ini dianggap orang yang tak berhasil dan tak  sukses," ujarnya lirih.

Ezzel bangkit dari kursi kemudian menepuk bahu Gavin pelan. "Ayok, kita jalan-jalan saja," ajaknya menetralisir suasana yang berubah tak enak. "Kenapa mesti peduli undangan itu, kita tak usah datang saja," hibur Ezzel sambil melangkah keluar ruangan diikuti Gavin yang terlihat diam membisu, seakan sedang berpikir sesuatu dengan alis mengerut.

***

DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang