34. BENANG MERAH

682 78 4
                                    

Sesaat Gavin terdiam tapi tak lama ia menerima pemberian Green dengan wajah diam dan menunduk sehingga Green tak bisa melihat wajah pria berhidung mancung itu dengan jelas.

"Terima kasih," jawab Gavin sambil memalingkan wajahnya seakan menyembunyikan raut wajahnya dari tatapan Green.

Green mengangguk pelan lalu menatap ke arah luar kaca mobil di sampingnya saat mobil Gavin bergerak keluar dari halaman parkir kafe. Di dalam mobil yang bergerak pelan itu, mereka tak banyak bicara dan saling diam. Suasana jalanan masih tampak ramai malam itu, beberapa kendaraan berlalu lalang karena malam Minggu. Banyak anak muda menghabiskan malam panjang bersama teman atau pasangan mereka malam itu.

"Apakah makanan yang kamu buat ini, akan kamu gunakan untuk lomba minggu depan?" tanya Gavin sambil mengendarai mobil tanpa menoleh ke arah Green.

Green mengangguk pelan."Iya."

"Saat penjurian itu, aku tak akan menjadi juri karena aku serahkan penilaiannya kepada chef agar objektif," ujar Gavin. "Kamu tak perlu khawatir, aku tak akan membuatmu tak nyaman dengan ikut dalam penilaian. Jadi berkaryalah dengan bebas tanpa memikirkanku," jelas Gavin.

Green menatap Gavin dengan tatapan penuh arti saat mendengar kata-kata Gavin.

"Tak perlu menatapku seperti itu. Aku khawatir kamu akan jatuh cinta padaku kalau sering menatapku seperti itu," ujar Gavin sambil menoleh ke arah Green dengan bibir tersenyum angkuh.

Serentak raut wajah Green langsung berubah masam dan memalingkan wajahnya ke arah lain. "Pak Gavin tak perlu takut aku akan jatuh cinta padamu. Aku tahu, kita ini memiliki tipe pasangan yang berbeda, sehingga tak mungkin itu akan terjadi di antara kita," jawab Green lirih dengan nada yakin.

Gavin mengerutkan alisnya saat mendengar jawaban Green. "Kamu yakin sekali," sahut Gavin dengan nada sedikit ketus.

Green tersenyum tipis lalu menoleh ke arah Gavin lagi dengan wajah serius. "Sekarang aku balik bertanya, apakah Pak Gavin bisa jatuh cinta padaku?" tanya Green tiba-tiba sehingga membuat Gavin kaget dan menyebabkan laju mobil mendadak agak tersendat.

"Kamu sangat percaya diri sekali," sahut Gavin dengan nada sedikit gugup.

"Nah, jelas itu tidak mungkin, bukan?" sahut Green sambil tersenyum kecil. "Dunia kita ini berbeda jauh, tipe pasangan juga berbeda. Aku yakin sekali di antara kita tak akan ada benang merah yang menghubungkan kita," jelas Green.

"Benang merah?" Gavin mengerutkan wajahnya sambil tetap konsentrasi ke arah jalanan.

"Benang merah takdir, itu adalah kepercayaan orang Jepang. Menurut mitos, setiap orang di jari kelingkingnya ada benang merah tak terlihat yang menghubungkan kita dengan jodoh kita," jawab Green lirih. "Percaya atau tidak, itu diserahkan ke masing-masing orang," jelas Green lirih.

Gavin mengangguk-anggukan kepalanya pelan. "Aku baru dengar itu."

"Pak Gavin tak perlu khawatir, kita tak akan ada benang merah itu. Tidak ada kesamaan di antara kita. Kesamaan kita hanyalah sama-sama memiliki surat perjanjian itu," jawab Green sambil menatap ke depan dengan wajah datar..

Gavin terdiam sesaat lamanya mendengar jawaban Green dan hanya mendesah pelan. Tak beberapa lama kemudian mobil yang dikendarainya berhenti di depan sebuah rumah makan yang hampir tutup. "Kamu tunggu di sini, aku keluar sebentar mengambil pesananku," suruh Gavin ke arah Green.

Green tak berkomentar tapi hanya melihat sosok Gavin memasuki rumah makan itu. Tak beberapa lama pria itu keluar sambil membawa tas plastik hitam. Saat memasuki mobil, Gavin kemudian menaruh tas plastik itu di jok belakang. Tanpa banyak bicara, bergegas Gavin menghidupkan mesin mobil lalu meninggalkan tempat itu.

Selama perjalanan mereka tak saling bicara dan suasana terasa hening, hingga tak lama mobil itu berhenti di depan sebuah gang kampung yang sempit. Area perkampungan di mana keluarga Green mengontrak rumah.

"Terima kasih Pak Gavin sudah mengantarku pulang," ucap Green sambil menundukkan kepalanya ke arah Gavin sebagai tanda ucapan terima kasih. 

Ketika tangan kanannya hendak membuka pintu, tiba-tiba tangan kiri Gavin menaruh tas plastik hitam di pangkuannya. "Untukmu. Aku beli dua tadi," ucap Gavin sebelum Green sempat bertanya. "Gunakan untuk makan malam bersama keluargamu. Itu lauk kesukaanku dan ibuku saat dia masih hidup. Semoga kalian juga menyukainya."

Green terkejut dan menunduk ke arah isi tas plastik. Ternyata berisi ayam goreng kampung utuh yang masih panas dan cukup terkenal di Jogja. Ia tak menyangka ternyata Gavin akan memikirkan dirinya bahkan memberi bingkisan untuk keluarganya. "T-terima kasih," ucapnya lirih dengan suara tersendat.

"Terima kasih juga dengan pemberianmu," ujar Gavin sambil menunjuk makanan buatan Green. "Aku pasti akan memakannya malam ini."

Green hanya tersenyum tipis lalu membuka pintu mobil. "Terima kasih sudah mengantarku, Pak Gavin," ucap Green lirih lalu keluar dari mobil sambil membawa bingkisan pemberian Gavin.

Gavin kemudian bergegas keluar dari mobil dan menatap gang kampung tempat tinggal Green yang tampak gelap. "Aku temani kamu pulang sampai rumahmu," ujarnya.

"Tak usah!" tolak Green cepat dengan perasaan tak enak. "Sebentar lagi kakakku akan menjemputku ke sini."

"Benarkah?" Gavin tampak tak percaya.

Green mengangguk. "Iya. Sebentar lagi dia pasti datang. Tadi aku sudah kirim pesan pada dia."

"Kalau begitu, aku akan temani kamu menunggu di sini," ujar Gavin singkat.

Green tak bisa menolak ketika Gavin melangkah mendekatinya dan bersandar di mobil di dekat Green berdiri menunggu. Pria itu hanya menatap ke arahnya dengan wajah acuh seperti biasanya. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya, Gavin hanya bersedakep sambil menemaninya tanpa banyak bicara.

"Green!" Terdengar panggilan dari arah gang kampung.

"Nah, itu Kak White. Kakakku datang," seru Green lega saat melihat sosok jangkung berkulit kuning dan bermata agak sipit muncul dari arah gang.

Gavin menatap ke arah sosok kakak lelaki Green dan teringat dengan pria muda berwajah oriental yang dilihatnya di toko buku. Tanpa sadar Gavin tersenyum dengan wajah geli teringat peristiwa kesalah-pahaman mereka saat itu. Green jujur mengenai kakaknya lelakinya. Kakaknya memang  berwajah tampan seperti pria  dari Jepang dengan badan tinggi dan berperawakan sedang.

"Kak White, kenalkan dia Pak Gavin atasanku di tempat bekerja," ujar Green dengan suara gugup jika kakaknya akan banyak bertanya tentang Gavin. "Dia mengantarku karena aku kemalaman dan arah rumah kita kebetulan searah," terang Green dengan wajah sedikit khawatir ketika melihat kedua mata kakaknya menyipit tanda sedang berpikir.

"Terima kasih sudah mengantar adik saya," ucap White dengan sikap sopan. "Maaf dia sudah merepotkan hari ini."

Gavin menggelengkan kepalanya. "Tidak merepotkan," sahut Gavin. "Kalau begitu, saya pamit dulu," lanjut Gavin sambil melangkah pergi dan masuk ke dalam mobil.

Tak lama setelah kepergian Gavin. Wajah White tampak berubah serius dan menoleh ke arah Green dengan tatapan curiga. "Apa hubunganmu dengan atasanmu itu, Green?" tanya White tiba-tiba sehingga membuat Green terdiam karena melihat tatapan curiga kakaknya.

***


DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang