19. TUGAS DADAKAN

974 90 8
                                    

"Pak Gavin, lebih baik aku tak usah mandi," pinta Green tak enak hati dan hendak kelar kamar.

Gavin memegang lengan Green dan menatapnya dengan serius. "No. Aku lebih suka orang yang bersih badannya sehingga selalu sehat," jawabnya sambil mendorong Green masuk ke kamarnya lalu menutup pintu. "Tak usah takut, aku tidak akan berbuat macam-macam sama kamu. Kamu itu sama sekali bukan tipeku. Aku tak suka orang yang tak mandi!" jelas Gavin dari balik pintu dengan nada tersinggung.

"Dia juga bukan tipeku," sahut Green dengan wajah mengerut.

Green kemudian berdiri diam di depan pintu kamar Gavin dengan wajah gugup. Ia kemudian melihat sekeliling kamar pribadi Gavin itu dengan wajah sungkan dan tak enak. Mungkin ia satu-satunya karyawan yang bisa masuk ke dalam kamar pribadi bosnya.

Sambil menarik nafas panjang Green memberanikan diri melangkah ke dalam kamar sembari mengamati seisi kamar dan melihat sebuah kamar mandi tak jauh darinya. Green bergegas membuka pintu dan bibirnya langsung terbuka karena kagum. Ia melihat sebuah kamar mandi pribadi yang luas seperti di hotel-hotel berbintang. Lantainya sama sekali tak basah dan semua perlengkapan mandi semua ada di situ. Green melihat sebuah kamar mandi berkaca buram yang di dalamnya ada shower dan pemanas untuk mandi. Bergegas ia masuk dan mengamati sekelilingnya. Ia tersenyum karena cara pemakaian peralatan mandi di dalamnya hampir mirip dengan yang ada di rumahnya yang dulu. Tanpa banyak bicara, Green bergegas membersihkan diri dengan cepat dan tak ingin berlama-lama.

Setelah selesai mandi dan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, Green bergegas keluar kamar mandi dengan badan yang jauh lebih segar dan tubuh begitu harum. Ia berdiri sesaat sambil melihat ke arah kamar tidur Gavin yang begitu luas dan rapi. Tak banyak perabot, hanya sebuah smart tv besar menempel di tembok dan sebuah rak buku yang berisi banyak buku asing di salah satu dinding kamar. Kedua mata Green berhenti di sebuah dinding kamar karena melihat sebuah pigura besar terpasang, ia melihat Gavin saat masih remaja berfoto bersama seorang wanita yang begitu cantik dan berwajah lembut. Green bisa menebak, wanita itu adalah ibunya karena garis wajah yang begitu mirip dengan Gavin. Dan ternyata, foto mereka berdua juga ada di pigura meja di dekat tempat tidur sehingga ia bisa menebak kedekatan hati Gavin dengan ibunya. Hanya saja, Green tak menemukan foto Gavin bersama ayahnya dan itu menandakan hubungan mereka sepertinya tidak baik.

Bergegas Green keluar karena tak tak ingin terlalu lama di dalam kamar itu, saat ia membuka pintu ia mendapati Gavin tengah menuggunya di ruang santai sambil duduk di sofa. Mereka tak sengaja saling bertatapan dan tampak tangan kanan Gavin menunjuk ke arah kursi sofa di depannya agar ia segera duduk.

Tanpa banyak protes, Green segera mendekat dan duduk di depan Gavin yang menatapnya dengan tatapan serius ke arahnya. Green tak berani menatap mata tajam Gavin ke arahnya sehingga ia melihat ke arah lain.

"Mandinya dengan air hangat, kan?" tanya Gavin dengan tampang serius.

"Iya," jawab Green sambil mengangguk.

"Bagus. Kamu akan terhindar dari sakit karena ini sudah malam untuk mandi," jawab Gavin dengan wajah yakin. "Oya, kenapa kamu seperti orang hilang? Apa kamu tak tahu bahayanya seorang gadis sendirian di malam hari dan di tempat seperti tadi? Apa kamu ini memang dilahirkan untuk jadi gadis yang suka bikin masalah?" tegur Gavin heran. "Aku tak perlu dengar penjelasanmu atau alasan apapun darimu. Sekarang bersiap, kamu akan kuantar pulang," lanjut Gavin tegas sambil beranjak dari kursi sehingga membuat Green kaget. "Ayok, kok malah diam saja? Orang tuamu bisa khawatir kalau kamu tak pulang malam ini."

Gavin sekilas melihat ke arah Green sambil meraih kunci mobil yang ditaruh di lemari kaca di dekat ruang tamu. Pria jangkung itu kemudian menoleh ke arah Green lagi dan mendapati gadis itu hanya diam saja tak bergerak sehingga membuat alis matanya yang tebal mengerut dengan wajah bingung."Kenapa kamu tak segera bersiap?" tanya Gavin heran.

Green menoleh ke arah Gavin dengan wajah murung dan baru pertama kalinya Gavin melihat kedua mata Green yang berwarna bagus itu, tak sedingin biasanya. "Jika malam ini aku pulang diantar laki-laki asing. Ibu akan lebih marah dan membenciku. Waktu Pak Gavin mengantar pulang dari bandara, Ibu marah besar karena ada tetangga melihat kita di dalam mobil. Mereka  menuduhku telah mengotori kampung mereka. Mereka berpikir aku menjual diri pada sembarang laki-laki. Itu membuat Ibu terluka dan aku tak mau menambah luka itu. Aku tak mau membuatnya menangis lagi. Ibu sudah banyak menangis selama ini dan aku tak ingin menambah air mata itu lagi," jelas Green dengan pandangan sedih sehingga Gavin hanya bisa berdiri tertegun.

Tak sengaja Gavin melihat memar merah di kening kiri Green dan ia bisa menebak, itu adalah luka memar karena pukulan seorang ibu yang terluka dengan pemberitaan anak gadisnya. Kekecewaan seorang ibu yang merasa telah gagal mendidik putrinya. Banyak airmata keluar bukan karena kebencian dan kemarahan, tapi karena sebuah kasih sayang tulus yang tergores sebuah kekecewaan.

"Baiklah kalau begitu. Kamu tunggu di situ," ucap Gavin tiba-tiba setelah beberapa saat terlihat membisu dengan bibir merengut. "Duduklah di situ dan jangan ke mana-mana," suruhnya lagi.

Green dengan patuh duduk di sofa dengan wajah masih mendung, hingga tak lama muncul Gavin sambil menyodorkan sebuah obat ke arahnya.

"Apa ini?" tanya Green sambil menatap krim berbentuk salep kecil di tangan Gavin.

"Ini Krim Vitamin K. Bisa untuk mengurangi memar di wajahmu," jawab Gavin sambil menunjuk wajah sebelah kiri Green yang tampak memerah.

Dengan tangan ragu, Green menerima krim itu. "Terima kasih," ucapnya lirih sambil menundukkan kepalanya.

"Dioleskan di wajahmu yang memar itu," suruh Gavin lagi saat melihat Green hanya diam saja menatap obat itu.

Green mengangguk pelan tanpa banyak kata.

"Kamu tak bisa memakainya? Jangan pernah berpikir aku akan mengoleskan obat itu seperti yang ada di drama-drama romantis," ujar Gavin tak suka. "Ingat, drama itu jarang ada dalam realiti. Tak ada laki-laki yang romantis kecuali ada maunya," ujar Gavin lagi mengingatkan.

Green menoleh ke arah Gavin dan tiba-tiba tersenyum. "Pak Gavin tak perlu khawatir. Aku bisa melakukannya sendiri," jawab Green lirih. "Terima kasih sudah menolong dan membantuku."

Gavin hanya mengangguk pelan dengan wajah acuh. "Hmm!"

Green kemudian menatap ke arah Gavin dengan pandangan segan sehingga membuat Gavin mengerutkan keningnya.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Gavin curiga.

"Pak Gavin juga ada memar di wajahnya dan luka di bibir, apakah sudah diobati?" tanya Green lirih dengan suara terdengar hati-hati tapi membuat Gavin terdiam.

Gavin kemudian menyentuh memar di pipi kirinya. "Aku nanti bisa obati sendiri lukaku," jawabnya singkat sambil memalingkan kepalanya ke arah lain. "Pikirkan saja luka memarmu itu. Seorang gadis tak boleh ada memar di wajahnya," ujarnya lagi.

Green mengangguk pelan sambil menatap salep kecil di tangannya. "Baiklah."

Gavin perlahan menoleh ke arah Green di sofa dan melihatnya menundukkan kepalanya. Wajah gadis itu tampak mendung dan tak seperti biasanya yang selalu terlihat dingin dan acuh. Ia kemudian menyipitkan kedua matanya. "Segera diobati memarnya, kamu masih ada tugas malam ini," ujar Gavin kemudian.

"Tugas?" Green menatap Gavin kaget.

Gavin mengangguk pelan. "Segera obati memarmu nanti aku beritahu tugasmu selanjutnya selama di sini," suruhnya lagi sambil beranjak pergi menuju ke arah kamarnya meninggalkan Green bergitu saja. 

"Ya ampun, tugas apa lagi?" keluh Green lirih dengan wajah tertunduk lesu. "Bos satu itu memang sering membuat kejutan yang tak mengenakkan."

***


DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang