25. ALBUM

765 78 2
                                    

"Kamu jangan keluar dulu. Tidak enak jika hanya Keiza yang ada di dalam ruangan ini. Jika Keiza berniat membantumu, aku akan antar kalian berdua menemui ibumu untuk menyelesaikan kesalah-pahaman itu," ucap Gavin lirih sambil meletakkan telapak tangan kirinya ke bahu Green pelan.

"Tak perlu diantar," potong Keiza cepat. "Aku ke sini membawa mobil sendiri dan bisa mengantar Green ke rumahnya," jelasnya sambil menatap ke arah Green dan Gavin di depan pintu.

"Apa maksudmu?" tanya Gavin dengan mata menyipit.

"Maksudku, hanya aku dan Green saja," jawab Keiza. "Bagaimana Green, kamu setuju kan, kalau hanya kita berdua saja yang pergi?" tanya Keiza ke arah Green dengan wajah ramah sehingga membuat Green terdiam sesaat.

Green sama sekali tak menyangka mantan kekasih Gavin yang baru ditemuinya sekali di Jakarta, sekarang terlihat begitu baik dan sangat peduli terhadapnya. Green memang tak ingin Gavin terlibat dengan masalah keluarganya, apalagi sampai mengenal keluarganya. Ia tak mau masalah makin rumit jika keluarganya sampai mengenal Gavin apalagi jika sampai tahu soal perjanjian itu.

"Bagaimana, Green?" tanya Gavin sambil menunduk ke arah Green yang ada di dekatnya.

Green perlahan mengangguk sambil menatap ke arah kedua mata Gavin. "Tidak apa-apa kita pergi berdua saja."

"Baiklah, aku percayakan Green padamu. Kumohon, jangan memperumit atau menambah masalah dalam keluarganya," pinta Gavin dengan wajah sangat serius. "Jika sampai terjadi sesuatu dan salah paham, aku tak akan memaafkanmu," ujarnya lagi dengan nada sedikit mengancam.

"Jangan khawatir. Aku akan jaga kekasihmu," jawab Keiza dengan suara meyakinkan. "Ayok, Green. Kita berangkat saja sekarang!" ajaknya ke arah Green.

Green mengangguk pelan dan hendak membuka pintu, ketika tangan kiri Gavin tiba-tiba memegang lengan kanannya sehingga langkahnya tertahan. Ia melihat Gavin memegang kepalanya lembut dan Green tak sempat menghindar ketika sebuah kecupan singkat dan lembut jatuh di ujung hidung mancungnya. Wajah Green sontak berubah memerah karena malu dan juga kaget.

"Hati-hati...," bisik Gavin sambil mengelus kepala Green lembut.

Green mendapati Gavin tersenyum tipis sambil menatapnya penuh perhatian. Ia sadar, Gavin sedang berpura-pura sekarang di depan mantan kekasihnya, sehingga dia bersikap mesra terhadapnya. Ia tak bisa berbuat apa-apa karena teringat dengan perjanjian mereka yang mengharuskannya berperan menjadi 'kekasihnya' di saat diperlukan seperti saat itu.

Keiza hanya diam sesaat melihat kejadian itu walau kedua matanya sekilas tampak mendung tapi ditutupi dengan sebuah senyum tipis di wajahnya yang cantik. Gadis itu kemudian melangkah ke arah pintu lalu berjalan keluar ruangan.

Green bergegas mengikuti Keiza di belakang dengan pipi memerah karena masih tak percaya Gavin berani menciumnya lagi tanpa memberitahunya dulu. Ia memejamkan kedua matanya karena teringat bagaimana Gavin mengecup hidungnya tadi.  Ia tak berani menoleh ke belakang di mana Gavin berada, padahal pria itu menatap Green hingga menghilang dari pandangannya dengan tatapan berpikir.

***

Setengah jam kemudian.

Sampai di rumah, Green begitu bahagia karena akhirnya bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Keiza berhasil meyakinkan ibu bahwa uang 150 puluh juta itu berasal darinya dan Gavin. Green sangat bahagia saat bisa melihat ayahnya pulang ke rumah. Green tak bisa mengucapkan dengan kata-kata. Rasa bahagia berkumpul menjadi satu, walau ayahnya pulang dengan tongkat kayu di tangan kanannya. Kakinya masih belum bisa berfungsi normal karena sempat tak sadarkan diri sehingga masih harus melakukan terapi secara rutin di rumah sakit.

Malam itu mereka sekeluarga berbincang di meja makan sambil menyiapkan bahan-bahan membuat kue buatan ibu untuk esok pagi. Green bahagia saat menatap wajah ayahnya walau tampak lebih kurus dan sedikit pucat, tapi ia sangat bersyukur karena masih bisa memiliki senyum lembutnya. Ia begitu menyayangi ayahnya yang tak pernah berkata keras dengan semua anaknya. Baginya ayahnya adalah segalanya untuknya.

Jam sepuluh malam, perlahan Green membuka pintu kamarnya pelan dan menatap kamar sempit itu dengan senyum tipis. Rasanya ia begitu rindu dengan kamar yang sederhana itu karena sudah terbiasa sejak pindah rumah beberapa waktu lalu. Green melangkah ke arah lemari plastik dan melihat ponsel pemberian Gavin di tumpukan bajunya. Pelan-pelan Green menghidupkan ponsel tersebut dan wajahnya langsung kaget saat mendengar ponselnya berdering keras. Tampak ada video call masuk ke ponselnya dan itu berasal dari... Si Bos Gavin!

Sesaat Green ragu untuk mengangkat video call tersebut, tapi dengan terpaksa ia mengangkatnya. "Halo," sapanya tak bersemangat saat layar ponsel terbuka dan menampilkan sosok Gavin yang berada di dalam kamarnya yang luas.

"Kamu sudah sampai rumah?" tanya Gavin dengan wajah datar. "Apakah masalahmu sudah beres?"

Green mengangguk pelan tanpa senyum."Sudah," jawabnya singkat.

"Bagus!" sahut Gavin lega. "Sekarang lihat ke arahku, jangan menunduk terus," suruh Gavin lagi sambil menatap wajah Green yang tampak tak antusias.

Green kemudian menatap ke arah layar ponselnya.

"Senyum sekarang," suruh Gavin sambil mendekatkan wajahnya ke arah ponsel.

"Apa? Senyum?" ulang Green kaget.

Gavin mengangguk. "Senyum itu salah satu tugas dari karyawan di Mix, jangan remehkan power of smile. Senyum bisa menyenangkan banyak orang. Lakukan sekarang agar wajahmu terbiasa tersenyum, tak sedingin biasanya. Ayo, lakukan!"

Green menghela nafas pelan dan tak lama akhirnya tersenyum ke arah layar ponsel dengan terpaksa.

"Yang lebih manis," suruh Gavin lagi. "Itu senyum tak ikhlas."

Green berusaha menahan rasa kesalnya dan berusaha sabar. Ia kemudian tersenyum lagi dan kali ini benar-benar tersenyum dengan manis agar Gavin puas dan tak menyuruhnya lagi.

"Bagus! Itulah senyum yang baik. Lakukan itu setiap bekerja di Mix. Lakukan mulai besok dan seterusnya," suruh Gavin tampak puas. "Oke, gitu saja. Dan ingat, jangan biasakan mematikan hape. Hape-mu harus selalu aktif dan selalu kamu bawa. Jangan sampai lupa seperti kemarin," suruh Gavin dengan tegas dan tak lama sambungan video call  pun terputus karena Gavin mematikannya.

"Dasar, bos satu ini bener-bener...!" Green melempar ponsel tersebut ke ranjang tidurnya. "Kalau aku tak terikat perjanjian itu aku tak mau kenal dekat dengannya," keluhnya.

Sesaat Green berdiri dengan wajah gondok, kemudian matanya yang lentik melihat sebuah album foto tergeletak di meja belajarnya. Ia segera bergerak ke arah meja dan mengambil album foto tersebut dengan wajah sendu dan terduduk di kursi. Perlahan dibukanya satu persatu album foto bersampul hitam itu dan matanya yang lentik tertuju pada sebuah foto lama.

Tak lama terhias senyum yang begitu manis di wajahnya. Senyum tulus yang jarang sekali terhias di wajah Green selama ini. "Kak Alim....," gumamnya lirih sambil meraba foto tersebut dengan telapak tangan kanannya.

Foto yang diambil saat Green masih kecil. Tampak foto Keluarga Buditomo bersama Keluarga Santosa di halaman rumah lama mereka. Tampak Kak Alim berdiri di belakang Green yang tertawa ceria dengan rambut panjangnya dikucir dua. Tubuh Kak Alim paling jangkung di antara mereka semua dan memakai kacamata minus. Sayang, foto itu tak begitu jelas karena wajah Kak Alim sedang menunduk saat diambil.

"Di mana kamu, Kak Alim?" ucap Green sendu. "Aku lama menunggumu. Kenapa kamu tak datang? Apakah kamu sangat membenciku?" keluhnya dengan wajah mendung sambil memeluk erat album foto itu sambil kedua matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya.

Wajah Kak Alim masih begitu membekas di dalam ingatan Green. Saat ia pergi meninggalkan Jogja untuk pergi ke luar negeri bersama keluarganya, Kak Alim masih bisa tersenyum kepada Green, walau ia tak bisa berdiri gagah seperti sebelumnya. Saat masuk ke dalam mobil keluarganya, tubuhnya harus dibantu dan diangkat ayahnya masuk ke dalam mobil agar bisa duduk dengan baik. Momen itu tak akan pernah dilupakan Green selama ini, bahkan seumur hidupnya....

***


DEAL WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang