"Ra? Hei, kenapa? Kenapa nangis, Ra?"
"Maafin aku Aksa, aku minta maaf." Ujarnya lirih.
"Kamu minta maaf kenapa? Kamu nggak salah apapun Ra." Ian melepaskan pelukan Dara, pria itu menatap sendu pada netra wanitanya yang terus mengeluarkan air mata.
"Dengerin ya, cewek aku, kamu, nggak pernah ngelakuin kesalahan apapun ke aku. Jangan nangis ya, Ra? Udah sore, kita pulang." Ian menghapus air mata Dara, menggandeng gadis itu sembari tersenyum hangat.
"Besok kita bisa jalan-jalan lagi kan?" Tanya Dara, di tengah perjalanan mereka.
"Bisa, kapanpun bisa kalo sama kamu Ra."
Percayalah, menahan sesak adalah hal tersulit yang harus Dara lakukan. Mengapa semuanya menjadi seperti ini? Mengapa Ian dan dirinya tidak bisa bersama? Apakah sesulit itu?
"Aku lebih baik kalo kamu selingkuh Aksa, seenggaknya aku tau kalo kamu udah nggak jatuh cinta sama aku lagi. Biar aku aja yang sakit, kamu jangan." - batin Dara.
Ian menghentikan motornya tepat didepan gerbang besar dan mewah kediaman keluarga Dara. Setiap kali Ian kemari, ia selalu sadar. Akan dirinya dan Dara yang sulit untuk bersama.
"Masuk, abis itu bersih-bersih, terus makan jangan lupa solat." Ian mengelus puncak kepala Dara.
"Iyaa," Dara memanjangkan huruf belakangnya. Menyiratkan bahwa Ian sangat bawel.
"Aku pamit ya, besok ketemu lagi."
Dara mengangguk kemudian melambaikan tangannya ke arah Ian yang sudah pergi dengan motornya. Dengan langkah berat, Dara memasuki kediamannya.
Rumah tidak pernah menjadi pelepas penat baginya. Bangunan sebesar ini, tidak pernah hangat. Selalu dingin, bahkan sangat dingin sampai rasanya ia bisa membeku ditempat itu.
Andai mereka hanyalah sebuah keluarga sederhana seperti dulu, akankah semuanya akan berbeda? Atau perpisahan antara Ian dan dirinya tetap akan terjadi namun dengan cara yang berbeda?
***
Malam hari ini terlihat suram, sangat suram karena hujan deras mengguyur kota Jakarta malam itu.
"Bang! Kemarin kan janji mau beli buku sama Lia!" Teriak Lia, setelah Ian selesai mengerjakan tugasnya.
"Maaf yaa, kamu mau beli buku apa memangnya? Nanti abang belikan sendiri." Ucap Ian, Lia menggeleng.
"Sudahlah, Lia beli dengan teman Lia saja." Balasnya merajuk.
Ian hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria itu menutup bukunya, lantas membaringkan tubuhnya pada ranjang minimalis miliknya itu.
Ian menghadapkan tubuhnya ke arah jendela. Rintik-rintik hujan terdengar di telinganya, Ian mengerti mengapa hujan selalu identik dengan kesedihan.
Dinginnya malam itu, juga tangisan semesta yang Ian rasakan membuatnya teringat semua hal-hal menyedihkan dalam hidupnya. Begini ya rasanya? Kesedihan, yang diiringi oleh hujan.
"Dalam 7 hari itu, apa sesuatu yang baik akan terjadi? Sekalipun orang tua Dara mau mikirin lagi tentang hubungan gue sama anaknya, apa dia akan setuju?" - Batin Ian.
Ting!
Suara notifikasi Ian membuyarkan lamunannya, pria itu beranjak bangun mengambil ponselnya yang ia taruh di meja belajar.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARIKSA [END]
Romansa⚠️YANG MAU PLAGIAT JAUH-JAUH AJE SONOH⚠️ ⚠️BACA SELAGI ON GOING⚠️ . . . "Nama aku aja yang jauh, kamu jangan." - Antariksa. "Kita udah terlanjur jauh, Aksa." - Aldara. Cerita ini sebagian kisah nyata 2 remaja yang tidak di restui orang tua nya yai...