32

248 8 0
                                    

Edisi spesial idul adha aku update lagi nih,
Minal aidzin walfaidzin mohon maaf lahir dan batin🙏🏻

"Naya!"

Naya menoleh, gadis itu terlihat kebingungan karena bukannya Ian yang kemari, melainkan Adylan. "Adylan?"

"Ian nggak bisa dateng," Ucapnya.

"Terus lo ngapain disini? Lebih baik lo nggak ada daripada gue harus ngeliat laki-laki brengsek kayak lo." Naya memalingkan wajahnya.

"Nay, stop jadi orang yang merasa paling tersakiti. Gue tau selama ini lo nggak pernah sekalipun tulus sama gue, lo suka Ian! Dari dulu juga lo cuma suka Ian. Gausah ngatain gue brengsek kalo lo juga bukan cewek baik." Jelas Adylan, membuat Naya terisak.

"Bisa nggak sih lo nggak usah ngomong hal yang nyakitin buat gue? Selama kita pacaran, lo nggak pernah baik ke gue. Seakan gue adalah pacar paling nggak lo anggep dari Gita ataupun Farah."

"Gita juga sama kayak lo, sedangkan Farah dia selalu berusaha ngubah gue jadi lebih baik. Gue brengsek untuk Farah, tapi nggak untuk cewek modelan lo dan Gita. Kita sama,"

"Gila lo, sekarang lo nggak ada pacar kan? Mampus, mana mungkin sih ada cewek yang mau sama lo?" Ucap Naya, menatap nyalang.

"Sekarang gue tanya, bahkan dalam keadaan se mengenaskan ini aja lo nggak punya siapa-siapa selain minta tolong ke pacar orang? Ian itu bukan temen deket lo yang bisa lo panggil sedangkan lo tau status dia punya cewek. Denger ya Nay, suka boleh tapi nggak usah ngerebut punya orang juga." Jelas Adylan, pergi meninggalkan Naya.

Disisi lain, Ian mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, setelah menelpon Adylan untuk membantunya bertemu dengan Naya pria itu langsung menuju rumah Dara.

Ian tidak tahu ini prank, atau hanya gurauan gadis itu. Namun, melihat Dara memblokir kontaknya sepertinya ini bukan hal yang main-main.

"Ya allah, cobaan apa lagi ini?" Gumam Ian, ditengah hujan malam itu.

***

Yona terduduk di ranjangnya. Gadis itu melihat ponsel berwarna Lilac —warna kesukaannya— yang ia beli sudah sekitar beberapa bulan lalu. Ia mengambilnya, lantas menelpon Adylan untuk segera ke rumahnya.

Setelah Adylan mengatakan 'iya' Yona beranjak menuju lemarinya. Untuk yang kesekian kalinya, gadis itu akan lari. Melarikan diri dari masalah yang akan ia hadapi.

Persetan dengan perkataan orang yang katanya tidak boleh melarikan diri dari kenyataan. Ia tidak sanggup, bahkan setelah ia menjadi lebih baik dan sedikit mendamaikan cerita hidupnya dimasa lalu gadis itu harus kembali melepaskan orang yang berarti untuknya lagi.

Setidaknya ini lebih baik, Adylan tidak berpulang dan masih bersamanya. Setidaknya saat Yona pergi, Yona tahu bahwa Adylan pria yang dicintainya itu masih hidup.

Kurang dari 20 menit, Adylan sudah sampai di kediaman rumah Yona. Keduanya saat ini, duduk di ruang tv sembari memakan camilan juga meminum kopi hangat. —hanya untuk Adylan—

"Kenapa lo nyuruh gue kesini? Kangen lo ya?" Ujarnya, bergurau.

"Nggak, gue harus ngomong hal penting."

"Hal penting? Kenapa? Lo masih nggak bisa gerakin badan lo lagi kalo ujan? Atau masih ada yang belum lo ceritain ke gue?"

"Bukan, ini bukan tentang gue. Tapi, tentang kita." Ucap Yona, menatap dalam ke arah Dylan.

"Jangan ngomong apapun, gue nggak mau denger." Balas Adylan, mengalihkan wajahnya.

"Pergi dari hidup gue, Adylan."

Pria itu menoleh, melihat ke arah Yona yang masih menatapnya dalam seakan sedang menjelajahi dirinya lewat dua lensa mata berwarna cokelat itu.

"Gue bilang, gue nggak mau denger."

"Stop kayak anak kecil! Lo udah mau lulus SMA! Lo harus punya gambaran buat kedepannya, jangan pernah mainin cewek! Jangan pernah pacaran kalo tau cewek itu nggak tulus sama lo!" Teriak Yona.

"Gue childish? Sekarang gue tanya, apa bagi lo selesai dengan semua ini adalah hal yang nggak bikin sakit hati? Gue tau, gue paham kita nggak akan bisa nyatu. Tapi gue mau, kita kayak gini terus aja. Jangan pergi dari hidup gue, Lea." Ucap Adylan, tatapannya sendu.

"Mungkin hidup kita dari awal emang nggak pernah searah. Kita hanya bertemu sebentar di persimpangan jalan." Yona menjeda kalimatnya.

"Adylan, ini sulit. Tapi, mari berpisah di jalan ini. Kita udah sampai pada 2 jalan yang berbeda, lo dijalan lo dan gue dijalan gue." Ucap Yona, kali ini ia meneteskan air matanya.

"Apakah kita tidak bisa menetap pada persimpangan ini saja?" Tanya Adylan, baru kali ini ia menangis dihadapan seorang wanita.

"Kisah kita, selesai. Sebuah cerita dengan epilog, namun tanpa prolog."

***

"Dara! Ra! Aldara Revalia!" Teriak Ian dari depan gerbang rumah Dara.

Dara yang mendengar itu, langsung mengecek dari jendela kamarnya. Ia pikir ini hanya imajinasi nya saja, rupanya ini benar Ian.

"Ra! Kamu bercanda kan! Kita nggak beneran putus kan!" Teriaknya lagi.

Dara menggeleng. "Aku serius kak!" Balas Dara, terdengar pelan dikarenakan rintik hujan yang masih terus mengguyur tubuh Ian.

"Kenapa Ra?!"

Dara menarik napasnya. "Orang tuaku bener, mungkin kita emang nggak pantes bersama."

Detik itu juga, Ian merasakan hantaman hebat di dadanya. "Ra.." Suaranya itu, mungkin tidak akan bisa Dara dengar.

Ian tidak bisa melawan apapun. Tidak tahu harus berkata apa karena itu memang benar. Hanya saja, ia tidak ingin meninggalkan Dara. Ia tidak ingin kisahnya selesai.

"Ra, nama aku aja yang jauh ya? Kamu jangan." Ucapannya terdengar pahit kali ini.

"Kita udah terlanjur jauh, Aksa." Dara menangis kala itu, namun kali ini ia mengusap air matanya dengan kasar. "Pulang ya kak? Makasih, dan maaf." Dara menutup gorden jendela kamarnya.

"Ra.."

tbc.

wahh, udah mau end aja hehe!! mampir ke sc yuk?? makasii ya udah mau baca cerita ini.

okay, see you on the next part!!🐙💗

ANTARIKSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang