16

315 22 1
                                    


"Eh, iya sorry. Dara di telpon rumah sakit tadi kakaknya kecelakaan."

Ian berbicara ditelepon dengan Agam.

"Iya, makasih Gam. Lo juga balik ati-ati,"

Telepon ditutup.

Ian berniat memasuki kamar rawat Tama. Tetapi, apakah itu akan menganggu Dara? Sebaiknya, ia pulang dulu saja.

"Ra, aku pulang ya. Besok kesini lagi, kalo butuh jangan sungkan langsung telepon aja."

Setelah mengirim pesan kepada Dara, Ian meninggalkan rumah sakit tersebut. Ia menelpon Lia, mengabarkan bahwa sekarang dirinya menuju ke rumah.

Jalanan terlihat sepi, padahal jika dilihat dari waktunya sekarang tidak terlalu larut. Ian menulusuri jalanan itu dengan kecepatan sedang. Dirinya masih memikirkan Dara, ia tidak tahu bagaimana cara menghibur gadis itu.

Terkadang, saat Ian melihat Dara bahagia hanya dengan hal-hal sederhana yang Ian lakukan Ian merasa dirinya kurang cukup untuk membahagiakan Dara.

Ingin sekali bisa sederajat seperti Dara. Keluarganya yang sederhana, membuat dirinya merasa kurang percaya diri saat melihat Dara. Ian tidak putus asa dan menyerah begitu saja.

Ian juga tidak mengerti kenapa Dara menyukai pria sepertinya. Tentu saja, banyak bukan pria yang lebih kayak dari dirinya? yang lebih sempurna daripadanya? Ian ingin menanyakan hal itu.

***

Malam ini terasa begitu dingin bagi Yona. Ia memberanikan diri untuk kembali membuka luka lama didalam hatinya. Tidak menyangka jika ia akan kemari bersama Adylan, pria ter menyebalkan yang ia kenal.

"Ini rumah lo?" Tanya Adylan sembari melihat ke sekeliling bangunan rumah yang cukup besar, dan rapih. Agaknya rumah ini terurus dengan baik oleh sang pemilik.

"Nggak, gue mau nyolong." Yona berucap asal.

"Wah, jadi lo ngajak gue buat maksiat?"

"Hidup lo udah penuh maksiat ya, setan." Ujar Yona, yang mendapat kekehan kecil dari Dylan.

Perlahan, Yona menaiki tangga menuju lantai 2. Kakinya yang berat untuk kembali, tetap ia langkahkan dengan sekuat tenaga.

Jika dibilang ikhlas, tentu tidak. Masih ada banyak hal yang mengganjal dalam hati gadis itu, banyak penyesalan yang ia rasakan ketika menaiki satu persatu anak tangga rumah lama nya.

"Bang Leo! Abang hari ini masak telor sapi?"

"Lea, yang bener mah telor mata sapi atuh."

"Ya ya ya, maksudnya teh itu."

Setiap harinya, ia habiskan bersama pria bernama Leonard itu. Ayah? Ibu? Cih, mana ada dua peran itu dalam hidup Yona. Mereka hanya berdua, ditinggalkan setelah katanya mereka hanyalah sebuah 'kesalahan' yang diperbuat kedua orangtuanya.

"Kenapa? Pusing?" Tanya Adylan, melihat Yona terdiam lama di anak tangga kedua tempat ia berpijak.

"Kangen, aku kangen Bang Leo.." Lirih Yona, menahan sesak yang menyerang dadanya.

Tanpa aba-aba juga basa basi, pria itu langsung mendekap tubuh kecil Yona dengan erat. Adylan tidak tahu harus melakukan apa disaat seperti ini, jujur saja ia tidak se berpengalaman itu tentang wanita. Hobinya kan, hanya berpacaran saja tapi tidak pernah jelas.

ANTARIKSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang