14

327 17 0
                                    


Suasana hari itu nampak mendukung kedua insan yang sedang kasmaran tersebut, mengelilingi kota Bandung sembari mencari tempat makan.

Ian menoleh ke arah suatu tempat. "Ra! Disitu ada warung seblak tuh! Mau?"

"Perlu ditanya ya?" Dara tersenyum, dan langsung mendapat kekehan kecil dari Ian.

Ian memarkirkan motornya di depan warung seblak tersebut, berjalan masuk dan memesan. Dara sangat antusias, layaknya orang yang belum pernah mencoba seblak. Padahal, sebaliknya.

Mungkin, bukan antusias pada seblaknya. Tapi pada orang yang menemaninya. Dara memandangi pria itu, hanya tidak menyangka saja bahwa hari-hari seperti ini akan datang kepadanya.

Mustahil saja baginya, bisa seperti ini bersama Ian. Dara pikir, cintanya tidak akan pernah terbalas. Bahkan, melihat Ian dari kejauhan saja terkadang sudah cukup baginya. Tapi siapa sangka? Hari ini, pria itu sudah menjadi kekasihnya.

Telepon berdering . . .

Dara melihat ke arah ponselnya yang bergetar. "Sebentar ya kak, aku angkat telepon dulu." Ian mengangguk.

"Halo?"

"Dengan adik saudara Pratama Ganendra?"

"Saya sendiri."

"Kami dari Rumah Sakit Sejahtera ingin memberitahu bahwa saudara Pratama Ganendra mengalami kecelakaan dan harus segera melakukan operasi."

"A-apa?!"

"Kami menelepon untuk meminta persetujuan keluarga. Kami sudah menghubungi kedua orang tua saudara Pratama namun tidak dapat tersambung."

"Tolong operasi kakak saya terlebih dahulu, saya akan segera ke sana sekarang. Masalah pembayaran akan saya transfer."

"Baik, jika begitu."

Tut . . Tut . . telepon di matikan.

"Kenapa Ra? Kayaknya, kamu panik gitu." Ian melihat wajah Dara yang semakin pucat.

Tangannya bergetar. "Bang Ata, masuk rumah sakit dan harus di operasi."

"H-hah?! Yaudah, ayok pergi sekarang!" Ian terburu-buru.

"Emangnya, nggak papa? Aku nggak enak, jadi ngerepotin terus." Dara menunduk dalam.

"Kamu masih ragu sama aku? Aku ini siapa sih, kan aku pacar kamu. Kamu bisa minta bantuan kapanpun, aku bukan orang asing. Inget itu,"

Dara mengangkat kepalanya perlahan. Menatap ke arah pria itu yang sedikit kesal dengan apa yang Dara ucapkan tadi. Ian menarik lengan gadis itu, membayar seblak yang sudah mereka pesan hanya saja belum mereka coba sedikitpun.

Ian tidak masalah dengan hal itu, lagipula hal itu tidak seberapa dengan nyawa Abang Dara bukan? Dara menangis dipunggung besar milik Ian. Rasanya sangat takut jika Abangnya akan meninggalkan Dara begitu saja.

Jujur, Dara sangat menyayanginya.

"Ra, mungkin bakalan lama sampe sana. Kamu berdoa aja ya, semoga abang kamu baik-baik aja."

Dara mengangguk kecil, yang bisa Ian rasakan dibalik jaket levis nya. Gadis itu membasahi seluruh punggung Ian, membuat pria itu merasa bersalah.

"Maaf, aku nggak bisa ngelakuin apapun Ra." Ian bergumam dihatinya, menyesal membawa gadis itu kemari. Mungkin jika Ian tidak memaksanya, Dara sudah berada disana sekarang. Menyemangati kakaknya berjuang melawan luka ditubuhnya.

Angin berhembus pelan, suasananya terasa sepi. Entah karena memang suasana hati mereka berkabung, atau memang jalanan sedang sepi.

Dara berdoa dalam hatinya, sangat berharap jika Bang Ata akan baik-baik saja disana. Hanya ia yang Dara miliki disini. Walau pria itu tidak dekat dengannya, tapi hari-hari yang mereka habiskan bersama saat kecil sudah sangat berkesan bagi Dara.

ANTARIKSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang