25

315 11 1
                                    

Saat ini, Dara juga Ian berada di Waryun. Karena Ian tidak tahu harus mengajak Dara berbicara dimana. Tapi sebelum kemari Ian sudah bilang untuk mengosongkan tempat itu sementara.

Tujuannya agar mereka bisa lebih nyaman, bahkan Bi Yuni saja sampai menutup warungnya agar tidak ada yang bisa datang kesana. Ian sangat berterimakasih tentu saja.

"Mau minum dulu nggak?" Tanya Ian, Dara hanya menggeleng.

"Jelasin ke aku, kenapa kamu bohong?" Tanya Dara.

Ian menarik napas panjang. "Aku nggak mau bikin kamu khawatir lagi, Ra. Dengan kejadian tentang abang kamu aja, udah bikin kamu capek kan? Aku nggak mau nambah beban buat kamu lagi." Jelasnya.

"Tapi ini tentang hubungan kita, Aksa. Tentang aku sama kamu, kamu nggak bisa ambil keputusan sepihak kayak gitu." Ujarnya kembali meneteskan air mata.

"Maaf ya, aku minta maaf karena udah ambil keputusan tanpa bicara apapun sama kamu." Ian tersenyum tipis, mengelap air mata gadis itu.

"Terus sekarang kita gimana? Kamu mau putus?" Pertanyaan itu, membuat hati Ian tersayat.

"Yang orang tua kamu bilang itu bener kok, aku emang nggak pantes kalo bersanding sama kamu. Orang tua kamu lebih penting, Ra. Mereka keluarga kamu, dan aku bukan siapa-siapa."

"Nggak! Kalo mereka keluarga aku, harusnya mereka ngerti kenapa aku maunya cuman sama kamu. Harusnya mereka tanya dulu alasan aku mau sama kamu, mereka itu cuman jadiin aku boneka Aksa!" Teriak gadis itu.

"Kamu bisa ninggalin mereka? Kamu mau jadi anak durhaka? Nggak kan? Jangan gini ya, Ra. Restu orang tua itu penting untuk hubungan kita, kalo kita nentang mungkin hal buruk bakalan kejadian. Stop ya," Ucap Ian, membuat Dara terisak hebat.

"Jangan tinggalin aku, aku bakalan bujuk Papa. Kita bujuk Papa bareng-bareng, ya? Kita usaha dulu, kalo emang nggak bisa juga nanti aku sendiri yang akan lepasin kamu." Dara memohon, tatapannya terlihat begitu sedih.

Ian hanya mengangguk, memeluk Dara erat. Tapi Ian tidak begitu yakin, apakah dia bisa melakukan semua ini? Jujur, semua perkataan orang tua Dara benar. Ian tidak bisa bersanding dengannya. Ada tembok status yang sangat besar ditengah-tengah mereka.

***

"Ah, kepala ku sakit banget rasanya." Lirih Alma, mencoba terbangun dari kegiatan pingsannya.

"Banget?" Tanya Yohan, gadis itu langsung meloncat dari sofa, terkejut.

"Lo kenapa sih? Duduk disini, nanti pingsan lagi." Ucap Yohan, memandang Alma tajam sembari menuntun gadis itu untuk duduk.

"Ini rumah Kak Yohan?!" Alma masih terkejut tapi ia mengikuti arahan Yohan untuk duduk kembali.

"Bukan, ini rumah Dylan." Jelasnya.

"HAH!" Teriak Alma kali ini ia langsung berancang-ancang untuk berlari lagi.

"Duduk, Alma." Kata kata Yohan penuh penekanan.

Sementara itu, dari sisi lain Adylan menghampiri keduanya dengan membawa soda juga beberapa jajanan ringan yang bundanya baru beli tadi di minimarket.

"Jangan galak-galak lah Yo, takut noh si Alma. Duduk dulu sini, tadi bunda gue sama Yohan bawa lo yang pingsan. Kenapa dah bisa begitu?" Tanya Adylan duduk di salah satu sofa ruang tengahnya.

Alma berusaha mengingat-ingat kejadian tadi. Sial, rasanya memalukan sekali. Apa ia harus berpura-pura tidak ingat saja ya? Oke, seperti itu saja.

"Aduh, kepalaku sakit banget. Aku nggak inget apa yang terjadi tadi." Ucap Alma memegangi kepalanya.

"Dibilangin ngeyel, duduk gua kompresin lagi." Alma membulatkan matanya, apakah selama ini Yohan mengompres benjolan dikepalanya itu?!

"Ja-Jadi, yang kompresin aku kakak?!" Teriak gadis itu, memekik.

"Woy! Astaga, bisa gila gue. Dahlah mau nguping bunda sama Lea aja. Ribut banget lo berdua." Ujar Adylan berjalan pergi.

"Cepet sini, apa harus gua gendong?" Alma merasa bulat matanya ini tidak cukup, gila saja maksud perkataan Yohan tadi apa!

Yohan berjalan mendekati Alma, ia menggendong gadis itu yang daritadi hanya membeku tidak tahu kenapa.

Setelah kesekian kalinya, lagi-lagi Alma terkejut atas sikap Yohan. Gila! Benar saja perkataan pria itu. Alma langsung mencoba untuk melepaskan diri dari Yohan. Hasilnya nihil, tubuh Yohan terlalu kuat untuk menahan pergerakan Alma.

***

"Istirahat, besok sekolah." Ucap Ian setelah mengantarkan Dara kembali ke rumahnya.

Dara hanya mengangguk. "Hati-hati dijalan, Aksa."

"Ra, tau nggak? Panggilan Aksa buat aku, udah jadi hal yang biasa sekarang." Pria itu tersenyum lebar dan Dara hanya membalas senyumannya tipis.

Ian mengerti penderitaan gadis itu, melepaskan Dara pada orang tuanya apakah hal yang benar? Sementara Ian tahu, bahwa orang tuanya terlalu menekan Dara untuk jadi apa yang mereka inginkan.

Tapi Ian juga tidak mau membuat Dara menjadi durhaka kepada orang tuanya. Bagaimanapun, Dara tetap anak mereka dan mereka pasti memikirkan masa depan Dara yang lebih cerah.

"Maafin aku ya Ra, maaf karena nggak bisa jadi yang terbaik buat kamu." Batin Ian.

Dara memasuki rumahnya, terlihat kedua orang tua nya sedang berbincang di ruang tv. Gadis itu berpura-pura tidak melihat dan langsung melewatinya begitu saja.

"Dara, Papa tau kamu sudah pulang."

Dara menghentikan langkahnya, ia melihat kedua orangtuanya yang saat ini sedang berjalan menuju ke arahnya. Jantungnya berdegup kencang, kali ini tidak akan ada yang membelanya. Tama tidak ada disini.

"Jauhi pria bernama Antariksa Geviandra itu." Ucap Papa nya, penuh penekanan.

Air matanya menetes, sungguh apakah Dara harus menangis terus hari ini? Mengapa tidak ada hal yang cukup baik untuk membuatnya tertawa?

"Nggak mau, Pa." Geleng Dara, suaranya terdengar kecewa.

"Dia tidak pantas bersanding dengan kamu Dara! Lihat status mereka yang lebih rendah dibandingkan kita! Sedangkan pria harusnya lebih bisa diandalkan dalam masalah keuangan! Tidak akan ada masa depan cerah untukmu jika kamu bersama dia!" Teriaknya.

"Pa, tenang." Mama Dara mengelus bahu suaminya.

"Papa sama Mama nggak pernah mengerti perasaan Dara." Gadis itu menghapus air matanya kasar, menatap kedua orangtuanya secara bergantian.

"Apa kalian nggak mau tanya alasan Dara menyukai Ian?" Ucap Dara, terdengar decihan pelan dari mulut pria yang ia sebut Papa.

"Alasan? Kami tidak butuh alasan itu, kamu harus tau Papa sama Mama mau yang terbaik untuk kamu!" Teriaknya lagi.

"Cukup! Dara capek Pa!" Dengan langkah gontai, Dara menaiki tangga menuju kamarnya.

tbc.

mampir sc yukk!! tulis apapun yang kalian mau ><

okay, see you on the next part!!🐙💗

ANTARIKSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang