7

537 25 0
                                    

"Kapan mau ke Bandung?" Tanya Yohan menyantap makanannya.

"Secepatnya, mungkin besok? Besok libur." Jawab Yona yang masih memainkan ponselnya.

"Kenapa lo mau kesana?"

"Gue kangen aja, oh iya. Soal hal ini, jangan kasih tau Adylan ya. Nanti gue ke Bandung sendiri aja," Yona menatap pria dihadapannya itu dengan serius.

"Oke."

Yona hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Yona percaya pada Yohan. Tentu karena Yohan sudah mengetahui segala hal tentang kehidupannya di masa lalu. Sedikit pahit, jika harus diceritakan.

"Lo persis kayak Leo." Yohan berujar dengan ragu.

"Yaiyalah, orang gue kembarannya." Yona melirik malas.

"Iya? Pantesan."

"Kok lo bisa kenal abang gue? Kan dia adek kelas lo." Yona mulai penasaran.

"Leo, udah nyelametin gua. Lo tau kan? Dulu pernah ada tawuran di Bandung. Waktu itu, gua hampir mati. Dan Leo yang nyelametin gua." Jelasnya.

"Pantes dia masuk kantor polisi. Ternyata gara-gara lo," Yona menatap tajam.

"Maaf." Yohan menunduk, menghindari tatapan tajam dari mata gadis itu.

Yona hanya tertawa kecil. Ya sebenarnya pun, gadis itu tidak masalah jika Abangnya masuk ke dalam kantor polisi. Lagipula dia tidak dipenjara, hanya ditahan beberapa jam saja.

"Ra, ada orang tua lo nggak papa? Gue nggak enak nih." Ucap Anya gelisah.

"Nggak papa lah, kenapa emangnya?" Dara tersenyum lebar.

"Kayaknya gue pulang aja deh." Anya langsung mengemasi barang-barangnya.

"Yah, jangan dong." Dara mencegah kepergian gadis itu. "Disini aja ya,"

Alma yang melihat itu, langsung berbisik pada Anya. Membuat gadis itu kembali duduk di ranjang milik Dara. Dara tersenyum senang, mengingat dirinya tak akan kesepian.

Disisi lain, Tama sedang dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya. Tentu karena dirinya terlalu sibuk bekerja dan sering sekali meninggalkan Dara seorang diri.

Orang tua mereka itu, sangat tidak menyukai orang asing yang masuk ke dalam rumahnya. Mereka akan memikirkan hal-hal buruk, seperti mencuri atau bahkan ingin menyakiti mereka.

"Kok salah Tama sih ma? pa?" Ujar pria itu memberikan pembelaan.

"Ya iyalah, terus salah siapa lagi?!" Papa menatap tajam anak sulungnya.

"Kan Papa sama Mama yang minta Tama buat urusin Perusahaan yang ada di Jakarta."

"Bang, kan harusnya kamu itu juga tetep urusin adik kamu. Kan Mama sama Papa titipin dia ke kamu, harusnya kamu jaga dia dong." Mama berujar.

"Itukan tugas Mama! Mama nggak harus kerja kok, Mama harusnya di rumah aja! Biar Tama sama Papa yang kerja!"

Percaya atau tidak, Tama juga merasakan hal yang sama seperti Dara. Itulah sebabnya, ia lebih suka memperbanyak kesibukan agar dirinya tak pernah memikirkan hal-hal seperti itu.

"Kalo Mama nggak kerja, hidup kamu nggak akan bisa mewah kayak gini Tama." Ujar wanita itu masih mengontrol emosi nya.

"Siapa juga sih ma yang mau hidup mewah kalo nggak ada kehangatan keluarga? Coba tanya Dara, apa dia bahagia selama ini dengan fasilitas yang lengkap? Uang yang selalu ada?"

Plak!

Pria berusia sekitar 40 tahunan itu menampar pipi Tama dengan kencang. Tama hanya tersenyum, sembari merasakan denyutan pipinya yang memerah.

ANTARIKSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang