20. Sebuah Pengakuan

58K 5.8K 1K
                                    

Sudah hampir satu bulan setelah pertemuan keluarga dirumah Aeris. Gadis itu benar benar mencemaskan bagaimana kelanjutan kisah mereka. Semakin hari dirinya semakin dekat dengan Altarel, bahkan mereka saling bertukar cerita mengenai apa yang terjadi pada hari hari mereka. Namun salah satu dari mereka belum menyadari perasaannya sepenuhnya.

Aeris melempar ponselnya kearah tepi ranjang karena merasa bosan. Gadis itu tidur telentang menghadap langit langit kamarnya. Semua pekerjaan rumah di hari minggu ini sudah dikerjakannya, jam menunjukkan pukul 4 sore, sebentar lagi malam akan tiba.

"Besok senin, sangat sangat membosankan!" gumamnya sambil berpikir untuk menyibukkan dirinya.

Ia bangkit dari ranjangnya. Perempuan itu mungkin terlihat pucat karena tak mengenakan pewarna bibir di hari libur ini. Aeris mendekati rak buku yang tertata rapi di pojok ruangannya. Kumpulan novel serta karya sastra yang ia beli semua terpajang disana. Aeris memilih salah satu buku favorite nya yang belum sempat ia baca sampai habis. Ia mengambil posisi ternyamannya untuk membaca cerita yang dipenuhi keuwuan yang pastinya akan membuatnya berteriak, kayang, serta guling guling setelah membacanya.

Beberapa menit berlalu, ia sudah sampai pada halaman 200. Matanya sudah terasa sangat berat sepertinya ia membutuhkan tidur setelah ini. Buku adalah alternatif untuk membuat mengantuk. Secara tak sengaja Aeris menjatuhkan bukunya kesamping dan langsung memejamkan matanya.

Sore ini ia habiskan untuk tidur di kamarnya karena jam 6 sore nanti, teman temannya akan menjemputnya untuk jalan jalan weekend hanya sekedar mendapatkan moment bersama. Ia mempunyai waktu 1 jam untuk istirahat. Semoga saja ia tak sampai ketiduran hingga malam tiba.

.....

Altarel sudah mengenakan celana jenas hitam dengan sedikit robek pada bagian lutut. Ia berdiri didepan lemarinya untuk memilih milih baju yang akan dikenakannya malam ini. Warna pakaian yang mendominasi lemarinya adalah hitam dan putih, Altarel tak mmpunyai banyak baju berwarna warni. Ia mengambil baju yang berada di urutan ketiga, baju kaos dengan gambar abstrak berwarna putih.

Altarel mengenakan baju yang telah dipilihnya. Ia menyisir sedikit rambutnya kemudian merapikannya secara manual menggunakan tangan. Cowok berparas tampan itu memperhatikan dirinya sendiri di cermin sambil mengenakan jam hitam di tangan kirinya. Jangan ragukan apakah Altarel wangi atau tidak, jawabannya lebih dari wangi. Siapapun yang lewat disebelahnya, pasti akan menengok kembali hanya untuk mencari sumber wangi yang ditangkap hidung mereka.

Altarel tersenyum miring sembari menaikkan alisnya, ia memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Malam ini adalah jadwalnya untuk pergi keluar bersama Aeris atas paksaan mamanya namun ia menjalaninya dengan senang hati.

Altarel mengambil dompet serta ponselnya dan memasukkannya kedalam waist bag hitam. Langkah kakinya menuruni tangga disambut baik oleh kedua orang tuanya. Godaan dari papa dan mamanya bukan membuat Altarel malu ataupun salting namun makin membuatnya semangat. Ia harus berterimakasih pada orang tuanya.

"Akhirnya anak kita bener, Ma," ujar Om Arya. Beliau dan istrinya sedang duduk di ruang tamu sambil menonton berita.

Altarel menghampiri mereka. Ia mencomot mangga yang sedang dipotong mamanya. Cowok yang memiliki sifat hampir sama dengan sang papa, katakanlah mereka sefrekuensi. Ia menaikkan alisnya pada papanya. Mereka berdua melakukan tos dengan tangan yang terkepal.

"Pepet terus Rel, itu baru laki!" semangat papanya.

"Kamu suka sama dia ya?" tanya mamanya.

Altarel menggeleng. "Biasa aja," sahutnya sambil memakan mangga suapan mamanya.

"Jujur aja deh. Kamu keliatan tertarik gitu sama dia," goda mamanya sambil mendorong dorong Altarel.

"Biasa aja. Jelek dia tuh kaya bebek!" ujarnya dengan santai. Altarel membuka kunci layar ponselnya. Ia mengerutkan keningnya ketika Aeris sangat slow respon membalas chatnya sedari tadi.

ALTAREL versi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang