11. Rokok dan Pemantik

893 180 3
                                    

Dorrr

Suara senapan menggelegar di sebuah desa, membuat para penduduk masuk ke dalam rumah dengan langkah. Hal itu pun membuat para pembantu jenderal Ito Akeno yang berada dipadepokan tari tepat lereng bukit terkejut dan sama takutnya dengan penduduk desa yang berada di bawah bukit. Sri yang berada di samping Ratna pun memegang lengan gadis pribumi itu tanpa sengaja. Ratna pun hanya bisa mengelus punggung lengan yang sudah keriput milik Sri untuk sedikit menenangkan sang empu, meskipun yang mengelus punggung lengan tersebut sama takutnya seperti yang lain.

"Tenang semua, mungkin itu hanya penduduk Jepang yang sedang berburu hewan." Ucap sang pencerita menenangkan ketakutan rakyat Indonesia yang ada disana.

Dari mata Ratna, terlihat sekali perawakan sang pencerita yang tidak takut sama sekali dengan suara senapan yang menggelegar tadi. Berbanding balik dengan yang lain. Menurut Ratna sangat wajar jika pribumi yang lain sangat amat takut dengan suara tambakan ataupun senapan, karena sebelum adanya Jepang datang ke tanah Indonesia, Indonesia sendiri sudah dijajah oleh negeri yang lain. Terlebih lagi dengan Belanda. Wajar jika mereka, pribumi, rakyat asli Indonesia memilik ketakutan yang amat luar biasa pada suara seperti itu. 

"Aku pun sama takutnya seperti yang lain." Batin Ratna.

Gadis itu hanya bisa tersenyum tanpa harus berkata sepatah apa pun. Ia berdiri dengan menunjukkan wajah tidak takutnya pada suara senapan tadi.

"Saya akan memeriksanya, apakah benar suara senapan tadi memang untuk memburu hewan atau tidak." Ucapnya dan langsung berlari menjauh pada padepokan tersebut. Dan juga tanpa memdengarkan teriakkan 'jangan' dari yang lain, termasuk pembantu tertua jenderal Ito Akeno.

"Ratna benar-benar selalu nekat. Apakah dia sedang mencari simpati pria kolonia Jepang?" Bisik salah satu gadis yang rambutnya digerai kepada gadis yang berambut kepang di sampingnya.

"Setidaknya, Ratna tidak takut akan kematian yang sungguh menyeramkan itu." Begitu jawab sang gadis pribumi yang diajak berbisik, matanya menatap kearah punggung Ratna yang mulai menjauh dari padepokan. "Semoga bumi dan alam semesta melindungi dirinya." Lanjut gadis itu seperti meminta pada sang bumi. 

Gadis berkepang itu mengagumi keberanian Ratna yang menentang para penjajah dan berbisik pada hatinya seperti,

"Sedikit tidak wajar rasanya jika penduduk asli Indonesia yang mempunyai keberanian dan tidak takut akan mati, malah diolok-olok oleh mereka yang selalu berpikir bagaimana cara agar tidak mati."

Dan dibalik pohon-pohon yang rindang, terdapat Ratna yang menahan rasa sakit akan batu kerikil yang masuk pada sela-sela luka yang ada ditelapak kakinya. Ratna terus berlari tanpa memperdulikan rasa sakit yang ada. Gadis itu terus dan terus mencari di mana sumber suara itu berasal. Darah yang keluar dari telapak kaki Ratna menjadi ciri nyata jejak pencarian gadis pribumi yang kurang kerjaan mencari asal suara senapan. Hingga diantara pohon-pohon yang menjulang tinggi, terdapat sosok pria yang sedang mengarahkan senapannya kearah burung-burung yang sedang duduk bersama keluarganya didahan pohon.

Dengan ancang-ancang, Ratna melempar batu yang cukup besar untuk menggagalkan aksi pemburuan pria itu.

Batu yang dilempar Ratna memang tepat sasaran, namun wajah tidak suka dari pria itu sangat terlihat. Ia menoleh ke belakang dengan sedikit menyerong membuat Ratna dengan jelas melihat mata tajam pria itu. Tatapan tajam seperti tuannya dahulu, namun pria itu bukanlah tuannya. Maka, dengan secepat kilat pria bermata tajam itu menaring selendang yang ada dileher Ratna. Itu semua karena Ratna yang ingin pergi begitu saja.

Rasa tarikkan pria itu sama seperti cekikan Ryuzaki pada saat Ratna ingin membangunkkan Kazuhiko. Sedetik kemudia, selendangnya dilepas dan bergantian memegang pundak gadis pribumi itu cukup keras.

Batavia 1942 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang