03. Kopi Dan Ubi Rebus

1.6K 287 20
                                    

Sudah dua minggu Ratna menjadi pembantu di rumah keluarga Nakamura, dari yang biasanya tuan muda satu ini tidak pernah memakan atau meminum, saat ini, setiap pagi akan selalu ada secangkir kopi panas bersama semangkuk ubi rebus di meja yang ada di teras rumah. Kazuhiko duduk pada kursi dan menatap langit di atas sana. Di sampingnya ada sang kakak yang menemani pagi harinya.

"Apa kita bahagia berdiri di atas tanah milik orang lain?" Pertanyaan pertama yang keluar dari bibir Kazuhiko sebelum bibir itu menegukkan kopinya.

Pertanyaan Kazuhiko sukses membuat Hanako menatap adiknya dengan tatapan tajam. Terlihat sekali gadis muda yang berbeda 2 tahun lebih tua dari Kazuhiko itu tidak menyukai pertanyaan yang tadi ia keluarkan.

"Apa? Aku hanya berbicara sesuai apa yang saat ini sedang ada dikepala kecil milikku ini." Lanjut Kazuhiko yang mengerti apa tatapan dari sang kakak itu.

Hanako mendengus kesal. Tangan cantiknya mengambil satu ubi rebus yang sedikit mendingin lalu ia mengupas kulit ubi tersebut. Perbuatan Hanako terekam jelas pada pupil mata yang tajam milik Kazuhiko. Pria gondrong berkulit putih itu mengangguk dengan meminum kembali kopinya.

"Apa kau tidak bahagia berdiri di negeri yang sebentar lagi akan menjadi milik negeri kita?" Tanya Hanako. Ia berbicara dengan mengunyah ubi rebus ditangannya.

"Bahagia. Manusia mana yang tidak bahagia ketika mempunyai negeri yang kaya akan rempah-rempah dan sumber daya alam?"

"Lantas mengapa kau menanyakan hal yang jelas-jelas kau sendiri bahagia?"

"Hei!! Sudku bilang bahwa aku berbicara sesuai apa yang aku pikirkan saat ini."

Keduanya, tiba-tiba tertawa entah karena apa penyebabnya. Disaat Hanako dan Kazuhiko asik tertawa, Ratna yang memakai kebaya baru saja kembali dari sungai dengan tangan memikul bakul. Mata Kazuhiko tidak pernah luput dari Ratna yang berjalan kemari tanpa alas kaki sepertinya. Gadis berpakaian kebaya itu masuk ke dalam melewati jalan sampai. Hanako tidak pernah peduli dengan pembantunya. Sikap angkuh dan sombong itu adalah ciri khas seorang Nakamura Hanako.

"Dia cantik bukan?" Tanya Hanako setelah Ratna tidak terlihat lagi.

Kazuhiko mengendikkan bahunya, "Aku tidak suka dengan pribumi bodoh. Sekali pun dirinya cantik bagai burung merpati, tetap saja aku tidak suka. Mereka itu hanya budak untuk negeri kita." Kata Kazuhiko.

Hanako menaruh kembali ubi baru dari tangannya pada mangkuk. Tepukkan tangan menggema dengan tawa kecil yang menyeimbangi tepukkan itu. Puas bertepuk tangan, Hanako beralih menepuk pundak kekar adiknya berkali-kali.

"Kakak salut pada mu, Kazuhiko."

"Ngomong-ngomong, aku belum melihat Kaiya sedari tadi. Dimana dia?"

"Dia ikut dengan ibu."

Hanako bangkit dari duduknya. Ia menatap Kazuhiko dengan mata yang malas. "Bukankah kau disuruh oleh jenderal untuk pergi menagih pajak pribumi yang telat membayar?"

Kazuhiko mengangguk, "Ya, sebentar lagi aku akan berangkat."

Gadis keturunan Jepang itu memilih masuk ke dalam rumah meninggalkan Kazuhiko yang masih meminum kopi buatan Ratna. Saat pria Jepang itu sendiri, helaan napas terdengar begitu berat. Berat seperti memiliki beban. Beban entah Kazuhiko sendiri tidak tahu apa isi beban pada dirinya itu.

"Terlalu berat, terlalu susah untuk dipikul. Apakah aku bisa membawanya?" Monolog yang tidak jelas keluar dari bibir Kazuhiko.

Pria itu menatap langit-langit dan sesekali menghela napas. Ia pun bangkit dari kursi setelah kopinya habis. Masuk ke dalam dengan meninggalkan cangkir serta mangkuk yang masih berisi beberapa ubi-ubian.

Batavia 1942 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang