13. Bolehkah Berharap?

885 186 13
                                    

Waktu berlalu begitu cepat sampai tepat pukul 12 malam dini hari, tahun telah berganti. 1942 kini telah bertambah tahun menjadi 1943. Ketidakpulangan seorang pembantu dalam keluarga Nakamura bernama Adiratna Maryanti pun bisa terhitung oleh Kazuhiko. Tujuh bulan Ratna entah berada dimana itu benar-benar membuat Kazuhiko murka. Bahkan disaat pergantian tahun, wajah datar milik pria berambut gondrong berkebangsaan Jepang mengeluarkan beberapa ekspresi. Mimik wajah yang menggambarkan murka, marah, kesal, lelah, dan juga-penyesalan. Entah hal apa yang membuat Kazuhiko bisa mengeluarkan mimik wajah yang sangat mustahil ia keluarkan.

Yang jelas, dengan penerangan bulan purnama yang terang, Kazuhiko benar-benar mengeluarkan ekspresi menyesal. Pria itu berada diambang penyesalan yang dirinya sendiri pun tidak tahu mengapa. Neraka untuk manusia adalah diambang penyesalan yang tidak jelas asal usulnya. Sama seperti Nakamura Kazuhiko saat ini.

"Apa itu penyesalan?" Pertanyaan bodoh yang begitu gamblang keluar dari bibir Kazuhiko.

Angin yang menusuk kulit putih Kazuhiko seperti memberi jawaban atas pertanyaan bodohnya. Seolah berbisik bahwa penyesalan adalah hukuman dari Sang Maha Kuasa diperuntukkan pada manusia yang tidak bisa sedikit bersyukur atas apa yang diberikan-Nya. Hukuman yang berjalan dengan sangat lambat, namun, saat waktunya pas, ia akan menghantam sosok orang itu.

Kazuhiko menendang batu kecil di depannya. Mungkin takdir Sang Maha Kuasa. Batu yang ditendang itu mengenai kening Hanako yang baru masuk perkarangan rumah. Sedikit panik dan takut. Kazuhiko pun kembali memasang wajah datar saat ringisan Hanako terdengar.

Dengan memegang kening, Hanako menajamkan matanya saat melihat Kazuhiko seperti tidak peduli. Gadis itu pun menarik napasnya panjang-panjang bersamaan dengan melemparkan satu sendalnya yang saat ini ia pakai.

Pas. Sendal tersebut mengenai wajah Kazuhiko. Bahkan, hidung mancung milik pria berambut gondrong itu mengeluarkan darah segar.

Bagaimana tidak mengeluarkan darah segar. Sendal yang dilempar oleh anak sulung keluarga berklan Nakamura itu terbuat dari kayu. Sangat tidak setimpal dengan batu kecil yang tidak sengaja mengenai kening Hanako. Puas menertawakan darah segar yang keluar dari hidung adiknya, gadis itu baru menghampiri sang korban.

"Sakit?" Tanya Hanako dengan lembut. Mata gadis itu fokus menatap darah yang masih keluar meskipun sudah ditampung oleh kain dari pakaian sang kakak. Senyum yang manis terpancar pada wajah datar Kazuhiko. Ia menggeleng. Seulas senyum pun terpancar diwajah Hanako. "Sama sekali tidak sakit-" Katanya.

Senyum Kazuhiko memudar, "Tapi rasa sakit itu ada disuatu bagian dalam tubuhku." Lanjut Kazuhiko membuat Hanako berubah menjadi,

Cemas.

"Dimana? Apakah sangat sakit? Apa kau membutuhkan seorang dokter? Ata-"

Ucapan Hanako yang panjang terhenti karena telapak tangan Kazuhiko yang menutup wajah cemas sang kakak. Wajah yang sangat cemas membuat Kazuhiko tertawa terbahak-bahak. Jari telunjuk Kazuhiko menunjuk pada dadanya.

"Disini rasa sakit itu, kak." Jawaban Kazuhiko membuat Hanako yang cemas menjadi seperti manusia yang tidak memilik akal. Bukan gila, namun yang dimaksud adalah terlihat seperti manusia bodoh. "Seperti ada yang hilang. Namun, aku sendiri tidak tahu apa yang hilang."

Pakaian yang menampung darah yang tadi mengalir dihidung Kazuhiko kini sudah tidak menampung kembali. Darah pun sudah tidak mengalir. Kekehan kecil terdengar.

"Apa kau sedang jatuh cinta? Setahuku, seseorang jatuh cinta adalah merasa kehilangan." Kazuhiko diam. Ia tidak menjawab. "Gadis dari mana yang bisa membuat dirimu yang berhati batu bisa jatuh cinta." Hanako menggelengkan kepalanya. Helaan napas yang seperti bingung terdengar pada indra pendengaran Hanako.

Batavia 1942 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang