Manusia selalu menginginkan kebebasan. Entah itu pribumi yang menginginkan kebebasan untuk negerinya. Atau Jepang yang ingin kebebasan dalam menguasai bangsa Indonesia. Atau seorang anak yang sangat ingin kebebasan meskipun sebentar untuk melihat alam semesta. Anak yang selalu memohon kepada sang ayah. Namun ditolak secara keras.
Mungkin, jika ditanya bagaimana rasanya, Seodira Balvita sudah kebal dengan rasa tolakan dari sang ayah.
"Saya hanya menginginkan izin dari ayah sebentar saja untuk melihat dan mengetahui semesta sendiri. Dengan mata kepala saya."
Itulah kata yang selalu diucapkan oleh Balvita kepada Adiratna Maryanti ketika merasa dirinya benar-benar lelah setelah meminta izin kepada jenderal Ito Akeno. Kepada Ratna lah Balvita mengeluh. Seperti semesta memberikan gadis berdarah campuran Jepang-Belanda itu pendengar untuk keluh kesahnya.
Ratna yang mendengarnya hanya bisa menjawab, "Mungkin memang belum saatnya nona untuk melihat semesta dengan mata nona sendiri. Tanpa diceritakan lagi oleh saya."
Selama beberapa bulan Ratna menjadi pembantu pada keluarga Jenderal Ito Akeno, sampai detik ini, dirinya sama sekali tidak tahu alasan sang Jenderal melarang Balvita untuk keluar dari rumah. Dan beberapa bulan terakhir ini. Kedekatan Ratna dengan Balvita seperti gunjingan untuk Ratna. Banyak pembantu rumah tangga di dalam rumah itu tidak suka kepada Ratna.
Tidak suka karena wajah, fisik, serta cara Ratna yang sangat mudah mendekati Balvita. Pada kenyataannya. Anak satu-satunya dari pernikahan Jenderal Ito Akeno dan nyonya Seodira lah yang mendekati Ratna. Hidup itu memang bukan tentang bagaimana cara bertahan hidup saja. Melainkan juga tentang bagaimana kita di dalam pemikiran orang-orang. Lebih tepatnya, hidup itu tentang bagaimana kita berjalan di atas takdir.
"Lantas kapan saya melihat sungai, desa, padepokan tari, dan segala hal yang selalu kau ceritakan kepada saya?" Ucapnya meremas gaun putih yang sangat cantik ditubuhnya. Berbanding balik dengan kebaya lusuh yang dipakai oleh Ratna. Meskipun lusuh, ia tidak pernah malu pada pakaiannya.
"Nanti. Saat Tuhan memberikan takdir yang indah untuk nona melihat alam semesta seperti yang nona inginkan." Jawab Ratna.
Balvita menyatukan alisnya, "Kau selalu berucap tentang Tuhan. Memangnya Tuhan itu ada?" Ratna mengangguk dengan memijat kaki sang nona dengan pelan. "Tentu saja ada, nona. Jika Tuhan tidak ada, maka alam semesta tidak akan terbentuk."
"Tapi alam semesta itu terbuat dengan sendirinya."
"Kau tahu dari mana?"
"Ibu yang memberi tahukan kepadaku saat kecil."
Ratna memiringkan kepalanya sedikit dengan menatap heran Balvita. Gadis yang ditatap oleh Ratna pun ikut memiringkan kepalanya.
"Nyonya Seodira yang memberi tahu?"
Ah, gelengan dari kepala Balvita sudah menjawab pertanyaan Ratna tadi. Balvita tersenyum tanpa menjawabnya. Senyuman itu terlihat sangat menyedihkan.
"Jangan menatapku menyedihkan seperti itu Ratna. Ingatlah dirimu yang harus ditatap dengan tatapan seperti itu." Ucapan Balvita mengingatkan betapa menyedihkannya hidup Ratna.
Bukan hanya hidup Ratna saja yang menyedihkan. Tapi juga dengan pribumi di luar sana yang nasibnya menyedihkan karena negerinya masih disaja dijajah. Dengan senyuman, Ratna mengangguk.
"Pasti aku akan mengingat betapa menyedihkannya diriku ini, nona."
Balvita menggerakkan kakinya pertanda bahwa gadis itu sudah tidak ingin dipijat lagi oleh Ratna. Ia berdiri dengan memegang bahu Ratna untuk ikut berdiri. Ratna menatap heran pada gadis di depannya. Berpikir, mau apakah majikan mudanya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batavia 1942 [Tamat]
Historical FictionTerlalu banyak negeri yang menginginkan tanah Indonesia menjadi salah satu bagian dari negeri mereka. Hingga negeri seindah Jepang pun menginginkan Indonesia dan salah satu tangan kanan dari seorang Jenderal menemukan sesuatu yang lebih indah dari n...