38. Mengapa Harus Pangkuanmu?

560 91 6
                                    

Kepergian Jenderal Ito Akeno banyak sekali perbincangan yang membuat opini-opini tentang kematian tersebut. Eugene dan Aiko seperti kehilangan seluruh kehidupannya. Manusia-manusia yang tersenyum atas kematian Jenderal Ito Akeno tentu saja banyak dan salah satunya adalah keluarga Nakamura. Seolah kematiannya adalah puncak kebahagiaan dari keluarga tersebut. Namun, puncak kebahagiaan itu bisa aja menjadi puncak kesedihan karena seseorang yang menjadi alat terakhir untuk membalas rasa sakit hati Jenderal Ito Aken belum juga datang. Seperti sosok itu tahu bagaimana cara untuk mempermainkan lawan secara baik.

Derap langkah terhenti saat obor yang menjadi penerang jalan itu menyinari seorang gadis yang sedang bersandar pada dinding padepokan tari dengan tangan yang memegangi lampion kecil.

"Nona Hanako?" Panggil Ratna dengan bertanya-tanya sedang apa gadis itu berada di padepokan tari malam-malam seperti ini.

Ratna mendekati Hanako yang kini sedang tersenyum manis kearahnya. Ia menyalakan lampu petromaks yang tersedia disana untuk menerangi padepokan tari yang gelap saat malam. Obor yang Ratna bawa, dirinya taruh pada sanggahan yang memang sudah disediakan untuk obor disekitar sana.

Hanako hanya memperlihatkannya karena jika ia membantu, ia tidak tahu harus bagaimana melakukannya. Setelah semua lampu petromaks menyala, Hanako dan Ratna duduk dikursi yang memang disediakan oleh padepokan tari untuk seseorang yang penting. Seperti saat Kazuhiko pertama kali ke padepokan dan meminta untuk Ratna menari.

"Sedang apa nona malam-malam berada di dalam bukit seperti ini?" Tanya Ratna mengeluarkan pertanyaan yang terus-menerus berada di dalam kepalanya. Pertanyaan itu sungguh berisik.

"Kau sendiri mengapa malam-malam berada disini?" Hanako bertanya balik, membuat Ratna diam sejenak.

Ia mengingat lagi mengapa dirinya bisa berada disini. Disini, padepokan yang dikelilingi oleh kegelapan dengan secercah cahaya dari petromaks. Bagaikan ditarik pada ingatan, Ratna datang karena sebuah gulungan kertas yang berisi pesan untuknya. Gulungan surat itupun ditaruh diantara batu-batu kecil pada rumah panggung mbak yu. Ia penasaran dan mengambil gulungan kertas itu.

Tadi siang, ia kira bahwa kertas itu adalah kertas yang ditaruh oleh orang-orang yang ingin membuangnya, akan tetapi saat Ratna membuka gulungan itu, ada sebuah tulisan yang tertulis dengan aksara Jepang. Setelah membaca semua tulisan beraksara Jepang, Ratna tahu bahwa gulungan kertas itu tertuju kepadanya. Mengapa Ratna bisa seyakin itu? Sedangkan dirinya hanyalah pribumi biasa meskipun memiliki bayangan sebuah gelar. Tentu saja ia tahu aksara-aksara tersebut, karena pribumi memang diajarkan bahasa penjajah. Pesan itu bertulis bahwa Ratna harus pergi menuju padepokan tari saat tengah malam. Untuk apa? Jawabannya sampai saat inipun tidak diketahui oleh dirinya sendiri.

"Saya pun mendapat pesan seperti itu." Ucap Hanako setelah mendengar cerita Ratna, tentang apa yang membuatnya datang kemari.

Mata Ratna menatap Hanako dengan tatapan seperti berkata 'apakah kita dijebak oleh seseorang?', Hanako tidak mengangguk, namun matanya seolah berkata 'sepertinya'.

"Itulah alasan saya membawa katana, Ratna." Ucap Hanako lagi, dengan suara yang hampir terdengar berbisik.

Kini, Ratna mengangguk dengan mata yang turun kearah pakaiannya, ia mengeluarkan sesuatu benda dari kain yang melilit untuk menutupi tubuh bagian atas. Hanako sedikit terkejut melihat sebuah pisau kecil, pisau  yang seperti dirinya tahu siapa pemiliknya.

"Ini—"

"Pisau ini memang milik tuan Kazuhiko dan pisau ini adalah pisau yang sama saat tuan Kazuhiko membalaskan sakit hati keluarga kalian kepada Jenderal Ito Akeno dengan membunuh nona Balvita." Jelas Ratna.

Batavia 1942 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang