Suara petir yang menggelegar membuat Ratna terbangun dari tidur lelapnya. Ratna menatap sekeliling kamar yang sudah beberapa bulan terakhir ia tempati bersama dua gadis pribumi lainnya yang memiliki status sama seperti dirinya, berstatus sebagai pembantu rumah tangga di dalam kediaman keluarga Jenderal Ito Akeno. Ia mengusap wajahnya dengan tangan yang kasar dan menghembuskan napas sangat pelan.
Sunyinya malam bercampur dengan suara rintikan hujan yang mengenai genting-genting rumah, terdengar sangat mengganggunya. Terlebih lagi dengan isi kepalanya yang seperti sedang bertengkar. Ratna mencoba memejamkan matanya kembali. Namun, isi kepala dan sesuatu rasa yang membuat dirinya susah untuk kembali terpejam.
Rasa yang mengganggunya malam ini adalah sebuah rindu. Rindu terhadap keluarga yang tidak bisa menghargai kerja kerasnya. Rindu kepada keluarga yang setiap hari selalu menyiksanya. Ia rindu segalanya di dalam rumah itu, meskipun dirinya bekerja hanya sebentar.
"Apa kabar dirimu, tuan? Aku harap, kau selalu bahagia–meskipun bahagia di atas tanah milik negeri orang." Ucap Ratna sambil tersenyum dan bangun dari tidurnya. Ia duduk dengan meluruskan kaki. "Hufhhh, bukankah ini aneh?" Tanyanya pada diri sendiri.
"Kau yang aneh Ratna." Ucap salah satu gadis pribumi yang terbangun akibatnya. Ratna menatap gadis tersebut dengan tersenyum kikuk.
"Ah, maafkan saya yang telah membuat kau terbangun."
Gadis pribumi yang terbangun itu menggelengkan kepalanya pertanda bahwa Ratna tidak perlu meminta maaf karena itu bukan sebuah kesalahan untuknya. Ia tersenyum tipis kepada Ratna.
"Kau merindukan rumah majikan pertamamu?" Tanya gadis itu membuat Ratna mengendikkan bahunya. Hanya dua gadis yang sekamar dengan Ratna sajalah yang tahu bahwa Ratna pernah bekerja disalah satu kolonial Jepang. Hanya sekedar tahu pernah bekerja, tidak dengan keluarga siapa ia bekerja.
"Entahlah. Rasanya sangat aneh."
Gadis yang menjadi lawan bicara Ratna pun memiringkan kepalanya karena tidak mengerti rasa aneh yang dimaksud oleh gadis dihadapannya.
"Aneh?" Pekik gadis pribumi itu. Ratna mengangguk sekilas, "Disini, kita tidak akan mendapatkan penyiksaan jika kita tidak melakukan kesalahan. Berbeda dengan rumah majikan pertama saya. Tapi sekarang saya malah merindukan rumah itu–mungkin lebih tepatnya saya merindukan keluarga itu."
Tawa pelan terdengar ditelinga Ratna. Gadis pribumi yang tadi berbicara pada Ratna, kini menatap tubuh gadis pribumi yang sedang tertidur menghadap dinding. Karena asal suara tersebut dari gadis itu. Tubuh yang menghadap dinding telah berbalik menatap kedua gadis yang lahir ditanah kelahiran yang sama.
"Ratna, apakah dirumah majikan pertamamu memiliki seorang anak laki-laki?" Tanya gadis itu tiba-tiba. Yang ditanya mengangguk dengan pelan. "Jika anak laki-laki tersebut berusia seperti dirimu atau lebih, maka, yang kau rindukan ada anak itu. Bukan keluarganya yang kau rindukan." Jelas gadis yang berada dekat dinding itu.
Ratna kini menatap jari-jari kakinya. Pikirannya melayang entah kemana dan hanya ada satu penjelasan yang ada di dalam kepala kecilnya itu. Ia menghela napas.
Rindu.
Satu kata yang benar-benar membuat diri Ratna terganggu hingga ia berpikir, apakah dirinya benar merindukan Kazuhiko bukan keluarga Nakamura? Wajah Kazuhiko seketika terbayang dalam kepalanya. Ia menggelengkan kepalanya yang telah lancang membayangkan betapa tampannya wajah sang tangan kanan Jenderal yang sedang tersenyum indah. Meskipun dirinya sendiri belum pernah lihat senyuman indah yang ia bayangkan.
Kepala gadis itu menatap pintu yang berbunyi sedikit. Dua gadis pribumi yang tidur bersama Ratna sudah berada diambang pintu. Mereka menatap Ratna dengan tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batavia 1942 [Tamat]
Historical FictionTerlalu banyak negeri yang menginginkan tanah Indonesia menjadi salah satu bagian dari negeri mereka. Hingga negeri seindah Jepang pun menginginkan Indonesia dan salah satu tangan kanan dari seorang Jenderal menemukan sesuatu yang lebih indah dari n...