12. Kaiya Dan Rindunya

907 166 10
                                    

Tangan yang kekar milik Kazuhiko terus memijat pangkal hidung untuk mengurangi rasa pusing yang ada di kepalanya. Semenjak kata-kata jenderal Kobayashi Eiji tentang lereng bukit dan gadis pribumi membuat Kazuhiko setiap sore kesana. Entah untuk memastikan apakah benar gadis itu Ratna atau bukan. Tapi, Kazuhiko selalu kesana. Sekedar bersinggah di padepokan tari dengan rasa berharap Ratna akan muncul menghampirinya.

Desahan pelan yang seperti muak dengan tangan sawo matang ciri khas pribumi yang mengusap-usap bahu Kazuhiko. Ia memegang tangan yang mengusap-usap bahunya, senyuman meremehkan tercetak jelas diwajah datar miliknya. Dengan sekali hempasan, tangan sawo matang itu pun sudah tidak lagi berada dibahunya.

"Kau tahu saya kesini hanya untuk minum, bukan untuk bermain dengan wanita-wanita seperti anda." Tegas Kazuhiko yang sama sekali tidak menoleh kepemilik tangan tersebut.

Wanita yang memakai kemben itu berjalan ke depan untuk melihat wajah tampan Kazuhiko. Bola mata Kazuhiko yang memutar, menandakan bahwa dirinya benar-benar muak akan tingkah laku wanita pribumi yang ada di rumah lanjo. Lihat saja, bahkan saat ini wanita itu duduk di depan kaki Kazuhiko dengan gaya yang terlihat sangat—

Menjijikkan!

Tangan sawo matang milik wanita itu bergerak kearah paha Kazuhiko yang berlapis celana panjang. Mencoba merangsang pria bermata tajam dihadapannya. Namun bukannya terangsang, Kazuhiko malah semakin muak melihat kelakuan wanita di depannya ini.

Tangan Kazuhiko masuk ke dalam saku celana mengambil benda kecil yang berlapis emas. Pemantik. Entah dari kapan, pria berambut gondrong ini selalu membawa pemantik berlapis emas di dalam saku celananya. Ia langsung menggeser penutup pematik lalu segumpal api terlihat.

Tanpa rasa kasihan, ia langsung mengarahkan tangannya dengan cepat menuju rahang wanita dihadapannya. Kejam, namun ada yang lebih kejam darinya. Wanita pribumi itu menjauh dari kaki Kazuhiko dengan memegang rahangnya yang sedikit panas karena pemantik milik Kazuhiko.

"Saya tahu jika taun kesini hanya untuk minum, namun, tidak adakah niat tuan sedikit pun untuk bersentuhan dengan saya atau wanita lain yang berada di rumah lanjo ini?" Kesal wanita itu.

Kazuhiko mengambil sebotol penuh minuman yang ada di sampingnya lalu berdiri mendekati wanita pribumi itu. Ia menumpahkan sebotol penuh minuman tersebut tepat di atas kepala wanita tersebut. Setelah minuman itu habis, Kazuhiko melempar kearah sembarangan membuat botol tersebut pecah menjadi beberapa potongan kecil. Tangan kekarnya mencengkram rahang wanita itu.

"Beberapa wanita pribumi yang sudah dipakai oleh rakyat Jepang pun masih ada yang menangis memikirkan nasib buruknya, sedangkan kau?" Ucapan Kazuhiko menggantung. Cengkramannya ia hempaskan. "Kau layaknya seperti binatang. Bahkan binatang pun lebih baik dari pada anda." Lanjutnya

Terlihat tangan wanita pribumi itu mengepal. Tawa disertai decihan menguasai ruangan yang ditempati mereka berdua. Kazuhiko bersedekap dada dengan mata yang tajam serta wajah yang masih tetap datar memandang wanita tersebut.

"Mereka hanya berpikir tentang kesucian saja tanpa berpikir cara seperti inilah yang membuat mereka tetap bernyawa."

Decihan Kazuhiko kembali terdengar, "Artinya wanita-wanita seperti dirimu siap mengabdi pada Jepang?"

"Dengan senang hati tuan. Demi kehidupan."

Pria berambut gondrong itu menunduk, tertawa pelan, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia memilih pergi dari ruangan itu, namun suara wanita yang berada satu ruangan dengannya terdengar kembali.

"Apakah tuan benar-benar tidak ingin menyentuh saya?" Tanya wanita itu mengundang senyuman miring dari Kazuhiko. "Selera saya bukanlah wanita yang sudah dipakai oleh banyak orang. Mungkin lebih tepatnya, saya yang pertama memakai wanita itu. Yang pastinya bukan anda."

Batavia 1942 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang