39. Lukamu dan Lukaku

472 95 1
                                    

Tatapan kosong terus menyelimuti mata Ratna. Kekosongan yang menggemaskan membuat Bhanu menghembuskan napasnya pelan. Ia tahu penyebab kekosongan yang dialami oleh Ratna. Penyebab yang membuat Ratna datang kepadanya dan meminta untuk pulang tanpa dipaksa seperti beberapa hari yang lalu. "Turun Ratna, kita sudah sampai."

Pria itu terus memandangi adiknya yang masih setia duduk di atas kereta kuda dengan tatapan kosong dan hanya anggukan kepala yang menjadi jawaban atas ucapan Bhanu. Ia masih setia menunggu Ratna yang belum juga kunjung untuk turun. Teriakan sang biyung yang sangat senang bahwa anaknya pulang membuat Ratna menoleh sejenak lalu turun dengan perlahan, karena bahunya masih terasa sakit. Kepulangan Ratna tentu saja menjadi kebahagiaan untuk seorang ibu yang telah lama ditinggalkan oleh anaknya. Kepulangan dengan tubuh utuh serta napas yang masih berhembus membuat biyung Ratna berlari dan memeluk erat-erat tubuh anak gadis satu-satunya. Tanpa disadari oleh sang biyung, Ratna diam-diam menahan sakit atas lukanya yang tak sengaja ditekan oleh bahu biyung. Ratna menghembuskan napas lalu tersenyum sembari memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya pada dunia yang kejam ini.

"Panjenengan gesang pinten-pinten warsa wonten kitha Batavia, menapa panjenengan sae-sae mawon nduk?" Ucap biyung dengan mata yang berkaca-kaca menahan rindu yang amat mendalam. "Menapa panjenengan bingah sugeng tebih saking biyung?" Lanjut wanita itu dengan memeluk kembali tubuh anaknya.

Ratna tidak menjawab ucapan-ucapan yang telah keluar dari mulut sang biyung. Ia melepaskan pelukan tersebut dan menatap lekat-lekat kedua bola mata biyungnya. Senyuman manis, semanis wajahnya yang menurun kepada Ratna. Wanita yang telah melahirkan Ratna itu mengecup kening, pipi, hidung, dan mata secara terus-menerus untuk meluapkan rasa rindunya. Kejadian itu terhenti oleh sosok pria yang telah berumur menatap datar kearah kedua wanita yang sedang meluapkan rindu masing-masing.

"Jumpai romo mu." Titah biyungnya itu dengan jelas membuat tatapan tidak setuju dari Ratna. "Entah apa ucapan yang membuat dirimu tidak bisa memaafkannya, namun pria itu tetaplah romo mu, Ratna."

Dengan hembusan napas pasrah, Ratna pun jalan menghampiri sang romo. Namun saat gadis pribumi itu beberapa langkah lagi dekat dengan sang romo, pria tua itu memilih berbalik dan berjalan masuk ke dalam membuat Ratna kembali mengikuti langkahnya. Ia yakin, bahkan sangat yakin bahwa romonya saat ini ingin berbicara empat mata dengan dirinya.

Ratna duduk bersimpuh saat romonya telah duduk pada kursi kayu jati yang ada diruangan yang akan membuat pembicaraan antara sosok ayah dan anak dimulai. Tatapan datar dari romo membuat Ratna terus menundukkan kepalanya. Hembusan napas terdengar digendang telinga Ratna, membuat diam-diam gadis itupun ikut menghembuskan napasnya juga secara pelan. Lelah. Sungguh ia lelah.

"Apakah luka dibahu mu sudah lebih baik?"

Ratna mengangkat kepalanya dengan wajah yang terkejut. Ia memandang tak percaya sang romo yang memulai pembicaraan dengan menanyakan keadaan luka yang dibuat oleh Kaiya dibahunya. Saat kesadarannya mulai kembali, Ratna mengangguk dan kembali menundukkan kepalanya.

"Kang masmu yang bilang bahwa bahumu terdapat luka." Jelas sang romo membuat Ratna menjawab dengan mengangguk-anggukkan kepalanya lagi.

Senyuman tipis terpancar diwajah Ratna saat luka itu kembali terasa sakit. Luka itu adalah kenangan untuknya, meskipun kenangan tersebut sangat buruk. Luka itu adalah lambang dari Kazuhiko. Sosok pria dengan sejuta luka yang dipendam dan tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk Ratna yang menyandang pujaan hatinya.

"Kakung pundi ingkang ndamel lare prawan kula milih kagem mboten kondur lan manggen wonten kitha tiyang Batavia?" Ucapnya dengan diakhir kekehan yang membuat Ratna sedikit merasa tidak enak.

"Maaf jika Ratna menjawab membuat diri ini terlihat tidak menghormati romo." Sela Ratna lalu ia menarik napas dalam-dalam, "Alasan Ratna memilih tidak pulang bukanlah karena sosok pria itu, romo. Melainkan ucapan romo sendiri yang menerima Ratna dan biyung karena terpaksa."

Batavia 1942 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang