33. Berbakti

419 88 1
                                    

Siapa seseorang yang menangkap selendang Ratna pada malam itu? Apakah dia hanya menyimpan selendang itu tanpa mempunyai maksud tertentu? Entahlah, pria itu tiba-tiba menghilang seperti ditelan oleh alam semesta setelah melihat pertikaian Kazuhiko dengan pria putih. Berita tentang pria putih yang kepala dan badannya terpisah begitu cepat menyebar hingga ke dalam telinga sang pemburu.

Apa reaksi Kazuhiko dan Jenderal Kobayashi Eiji? Mereka berdua tersenyum seolah itu adalah tindakan yang benar.

Hukum apa yang bisa melawan manusia-manusia berkuasa? Bukankah tidak ada? Mungkin, jika hukum ditegakkan secara adil dan benar maka negeri ini tidak akan dijajah. Negeri ini tidak akan mengalami kerugian karena selalu diperas hasil panen mereka. Beberapa warga yang mendengar berita tersebut kini mulai berhati-hati akan perlakuan serta tindakan mereka. Melihat warga akhir-akhir ini yang bergerombol untuk membicarakan masalah tersebut, membuat Ratna berkali-kali menghembuskan napasnya.

"Kita yang tidak memiliki kuasa akan susah jika melawan mereka." Ucap wanita yang melihat anaknya belajar berjalan dengan alat yang ia buat dari bambu menancap di atas tanah.

Ratna mengangguk, ia mengiyakan apa yang diucapkan wanita di sampingnya. Hembusan napasnya terdengar lebih lembut dari yang awal.

"Mbak yu, sanes susah bilih ngrimat lan ngagengaken setunggaling tiyang putra tanpa sosok sang romo?" Prihatin Ratna yang kini ikut menatap anak yang berusaha bangkit dari jatuhnya. (Kakak, bukankah susah menjaga dan menyemangati seorang anak tanpa sosok romo?)

Senyuman Ratna mengembang saat anak itu berkali-kali jatuh namun tidak menangis sama sekali, anak yang memiliki keinginan untuk bisa lebih cepat. Dari ujung matanya, ia melihat anggukan kepala yang pelan dari wanita itu.

"Sesusah menapa mawon menika kagem ngagengaken putra kula, bilih menika sampun dados takdir." Hembusan napas yang terdengar berat itu keluar dari bibir wanita di samping Ratna. "Mila kados pundi?"

Benar, sesusah itu menjaga seorang anak tanpa bantuan seorang suami. Namun jika memang itu yang dituliskan oleh sang pencipta untuk takdirnya maka harus bagaimana? Ratna merasa terbelenggu atas pertanyaannya. Seperti ia menanyakan perasaan sang biyung selama merawatnya sedari bayi hingga remaja. Kini yang menghembuskan napas yang terdengar berat bukanlah wanita itu, melainkan Ratna. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang kembali berkeliaran dalam pikirannya. Salah satunya adalah apakah biyungnya penderita dalam menjaga dan merawat Ratna?

"Icalaken pemikiran wonten pundi menawi panjenengan terlahir inggiling kelepatan, Ratna. Panjenengan wiyos inggih menika anugerah ingkang dipunkagungani romo panjenengan lebeting sugengipun." Seolah wanita itu bisa membaca salah satu pemikiran Ratna hingga ia berkata seperti itu. (Berhentilah memikirkan di mana kamu terlahir dari kesalahan, Ratna. Hidup kamu adalah hadiah yang didapatkan oleh romo kamu sepanjang hidupnya)

Sang gadis pribumi menoleh menatap seorang wanita yang telah menjadi ibu dengan senyuman manisnya, "Mbak yu harus tahu bahwa tidak ada seorang anak yang lahir atas kesalahan keduanya yang menjadi anugerah untuk dua orang yang melakukan kesalahan itu."

Rasanya ingin sekali wanita di samping Ratna menempeleng kepala gadis itu akibat keras kepalanya.

"Sampunlah, bilih kula berdebat kalih panjenengan mila kula tansah kawon." Kata wanita itu dengan mengangkat anaknya untuk masuk ke dalam rumah. (Sudahlah, kalau aku berdebat denganmu maka aku selalu kalah)

Kemana wanita itu melangkah di dalam rumahnya maka disitulah Ratna mengikuti langkah wanita yang sering dipanggil 'mbak yu' itu. Wanita itu menatap Ratna jengah karena terus mengikutinya hingga ia berhenti membuat sang pengikut pun berhenti.

"Kau ambillah gulungan kertas yang ada di dalam kamarku, itu adalah pesan yang ditulis oleh kangmas mu."

Ratna mengangguk lalu berjalan kearah kamar untuk mengambil gulungan kertas yang diucapkan oleh mbak yu itu. Tatapan Ratna seolah berubah menjadi ragu-ragu saat melihat gulungan kertas di atas meja kayu yang terlihat rapuh.

Batavia 1942 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang