Waktu berjalan begitu cepat, bulan terus berganti, membuat Ratna menjadi sosok Bendara Ajeng Adiratna Maryanti. Jauh dari kehidupan sosok Adiratna Maryanti sebagai pembantu dari kolonial penjajah. Beberapa kali Ratna merasa jenuh berada di dalam rumah, membuat ia diam-diam keluar dari sana dan berkali-kali pula Ratna ketahuan keluar dari pagar rumah oleh sang romo. Namun, sang romo memilih diam dan meninggalkan seolah anak gadisnya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Mungkin sang romo takut anak gadisnya akan pergi kembali, hingga ia hanya bisa mengabaikan apa saja yang dilakukan oleh Ratna selagi masih di dalam batas wajar.
Alat-alat gamelan ditatapnya tanpa ada yang memainkan dan menari dengan diiringi alunan gamelan tersebut. Ia kembali mengingat masalalunya pada saat berada di Kota Batavia.
Batavia 1942.
Kota dan tahun yang memberikan makna berarti pada Ratna dalam hidupnya yang suram selama ini. Kota Batavia telah memberitahu bagaimana rasanya mencintai dan dicintai oleh seseorang. Ah, sepertinya Ratna rindu pada kota yang penuh sesak dan penyiksaan.
"Ratna." Panggil kang masnya dengan menepuk pelan lengan adiknya membuat tatapan tak senang dilayangkan oleh gadis itu.
"Opo?"
"Jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Cobalah untuk melepaskan, agar sosoknya bisa leluasa berjalan menghampiri sang pencipta." Pesan Bhanu.
Ratna menatap sosok pria yang memberikan pesan untuknya, dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan oleh seorang Gusti Raden Mas Bhanu Sadina Bratadikara. Sepasang nayanika Ratna, selama kembali pada rumah terus memberikan makna bahwa sang pemilik mata itu kehilangan arah, kehilangan sosok yang berarti dalam hidupnya. Hembusan napas lelah terdengar di dalam gendang telinga Ratna. Tahu, gadis itu tahu bahwa kang masnya sangat lelah menghadapi dirinya yang terus berlarut-larut dalam genangan air kehilangan. Namun bagaimana cara melepaskan kenangan itu jika di dalam alam mimpi terus didatangi oleh sosoknya?
Ia bangkit dari duduk dan ingin pergi meninggalkan Bhanu, akan tetapi sosok kakak laki-lakinya itu memanggil namanya, membuat ia kembali terduduk dengan wajah malas menghadapi pesan atau nasihat dari Bhanu lagi.
"Kang mas hari ini akan melakukan perjalanan ke Kota Batavia, mungkin sesampainya disana kang mas akan menghampiri tempat terakhirnya. Apa Ratna punya doa yang akan—"
"Bolehkah Ratna ikut, kang mas?" Potong Ratna.
Ia sungguh berharap besar kepada Bhanu akan nemperizinkan dirinya ikut bersama Bhanu pada kota penuh sesak itu, Kota Batavia. Namun pada akhirnya harapan besar itu pupus saat gelengan kepala yang menjadi jawaban dari sosok Bhanu Sadina Bratadikara. Baiklah, mungkin memang bukan takdir Ratna untuk kembali pada Kota itu dan menghampiri tempat terakhir sosok yang masih menjadi bagian di dalam hatinya.
"Apakah ada doa atau pesan yang ingin disampaikan kepadanya?"
Beberapa detik terbuang karena Ratna terus diam. Setelah ia siap, Ratna berkata, "Sampaikan salam Ratna padanya, kang mas. Katakan padanya, kau melupakan janji-janji yang telah dibuat masa-masa terakhir kepada diriku."
Senyuman diakhir ucapan yang baru saja ia ucapkan adalah senyuman yang dipaksa. Janji-janji yang terus menghampiri mimpinya bak makhluk halus yang suka mengganggu manusia. Bhanu pun berdiri setelah mendengar pesan yang harus ia sampaikan pada sang pemilik pesan. Pria itu menghampiri seorang pekerja yang membawakan barang-barang yang akan ia bawa untuk hidup di Kota Batavia itu.
Bhanu membalikkan badannya lalu tersenyum pada sang adik, "Kang mas tahu bagaimana rasanya kehilangan sosok yang sangat berarti dalam hidup, namun kau harus bisa melepaskannya dan membebaskan pikiranmu untuk bisa hidup selayaknya manusia tak kehilangan sosok itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Batavia 1942 [Tamat]
Historical FictionTerlalu banyak negeri yang menginginkan tanah Indonesia menjadi salah satu bagian dari negeri mereka. Hingga negeri seindah Jepang pun menginginkan Indonesia dan salah satu tangan kanan dari seorang Jenderal menemukan sesuatu yang lebih indah dari n...