Apa yang dirasakan ketika sosok yang dicintai dekat dengan orang yang cukup berharga dalam hidup kita? Sedih, kecewa, kesal, atau marah? Hal seperti itupun dirasakan oleh Adiratna Maryanti. Yang berbeda hanyalah ia selalu menghembuskan napas berat setiap mengingat kejadian ataupun bertatapan dengan orangnya secara langsung.
Terkadang, mendengarkan apa nasihat yang pernah diberikan oleh seorang ibu itu ada benarnya. Wejangan demi wejangan yang pernah ibunya berikan kepada Ratna saat remaja mulai kembali terlintas pada kepalanya. Ia hanya bisa tersenyum sambil menunduk saat satu wejangan paling sesuai untuk dirinya saat ini,
"Kita terlahir saking rah limrah, sampun nate ngajeng-ajeng punapa-punapa saking jaler ingkang memilki kasta langkung inggil saking kita. kita bodoh. Angsal namung mawon sampun dumugi terbuai inggiling tembung-tembung manisipun." Ucap ibu memberikan wejangan. (Kita terlahir dari darah biasa, kita tidak mengharapkan apapun dari pria yang memiliki kasta lebih tinggi dari kami. kita bodoh, kita hanya sampai pada titik di mana kita telah terombang-ambing oleh kata-kata manisnya)
"Kita tidak bodoh, biyung." Sahut Ratna.
Tangan wanita yang telah melahirkan Ratna itu terus membelai rambut anaknya yang kini sedang menaruh kepala di atas kedua pahanya. Senyuman wanita yang dipanggil biyung itu terpancar melihat kecantikan anaknya.
"Bukankah kau pernah berbicara kepada kang mas mu bahwa wanita yang telah melahirkan dirimu itu bodoh?" Wanita itu tersenyum mengingat perkataan Ratna beberapa hari yang lalu saat bertengkar kecil dengan kakak laki-lakinya.
Kepala Ratna terangkat, mata cantik itu menatap wajah biyung dengan berpikir, mungkinkah ia perkataan itu menyakiti hatinya? Meskipun ia tahu bahwa perkataan itu telah menyakiti hati biyungnya akan tetapi yang dirasakan oleh Ratna bukanlah penyesalan dan semacamnya, melainkan perasaan yang berkata bahwa dirinya memang benar berkata seperti itu.
"Biyung memang bodoh, nduk. Maka dari itu biyung memberikan wejangan untuk dirimu agar tidak jatuh pada lubang yang sama seperti biyung."
Hembusan napas Ratna terdengar berat, seberat beban pikirannya yang ia pikul sedari kecil atas dirinya. "Biyung ucap bahwa, sampun nate ngajeng-ngajeng punapa-punapa saking jaler ingkang memiliki kasta langkung inggil saking kita." Kalimatnya ia gantung sebentar lalu, "Apa alasan biyung memilih romo jika bukan karena kastanya dan jabatannya?"
Seperti diberikan sambaran petir disiang hari, biyung Ratna dibuat bungkam atas pertanyaan anaknya. Pertanyaan itu yang selalu Ratna pikul. Kelahirannya penuh dengan dosa dan teka-teki. Siapa jati dirinya yang sebenarnya? Apakah jati dirinya yang selalu orang-orang pandang atas dirinya? Atau dirinya sama seperti sang biyung?
Ratna remaja itu langsung berdiri dan meninggalkan sang biyung dengan tatapan bersalah. Entah apa yang membuat dirinya merasa bersalah, Ratna rasanya ingin acuh dari tatapan tersebut.
Suara isakan terdengar jelas dengan lengan kebaya yang dibanjiri oleh air mata. Ratna menangis atas ingatan dirinya saat remaja. Entah menangisi karena menyesal berkata seperti itu ataupun menangisi karena pertanyaan itu belum juga terjawab hingga dirinya sebesar ini. Hanya jawaban singkat yang ingin ia dengar dari bibir biyungnya.
Sejauh manapun Ratna berbicara kepada siapapun bahwa ia membenci ibunya, tidak bisa dipungkiri bahwa bencinya kepada sang biyung nyatanya hanya omong kosong belaka yang selalu Ratna ucapkan karena ia malu atas takdir yang ditulis oleh sang pencipta untuknya.
"Saleresipun biyung mboten lepat, ananging romo lah ingkang lepat." Ucapnya sebelum pintu kamar terdengar karena diketuk oleh seseorang di luar sana. (Sebenarnya biyung tidak salah, tapi romo lah yang salah)
***
Hanya sebuah pelukan dan keheningan yang dapat Ratna rasakan setelah membuka pintu kamarnya. Tanpa balasan, tanpa sepatah katapun, hanya deru napas yang didengar pada daun telinga Ratna atas perlakuan seseorang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batavia 1942 [Tamat]
Ficción históricaTerlalu banyak negeri yang menginginkan tanah Indonesia menjadi salah satu bagian dari negeri mereka. Hingga negeri seindah Jepang pun menginginkan Indonesia dan salah satu tangan kanan dari seorang Jenderal menemukan sesuatu yang lebih indah dari n...