Malam telah datang. Kedua pria diruangan kerja Jenderal Ito Akeno pun telah pulang. Meninggalkan Nakamura Kazuhiko, sang tangan kanan jenderal di dalam ruangan kerja tersebut. Kazuhiko begitu menikmati kopi dengan rasa penyesalan yang tidak jelas malam itu. Sedangkan sang Jenderal hanya menatap wajah Kazuhiko dengan sesekali menghembuskan asap yang ia hisap dari rokok disela-sela jarinya.
Hening. Tidak ada percakapan sama sekali. Hanya ada suara api yang membakar daun tembakau kering di dalam kertas gulung milik Jenderal Ito Akeno.
"Apa Balvita cantik, Kazuhiko?" Tanya Jenderal Ito Akeno mencoba mencairkan keheningan tersebut.
Yang ditanya pun mengangguk, "Nona Balvita sangat mirip dengan nyonya Eugene."
Sang Jenderal tersenyum mendengar jawaban dari Kazuhiko untuk anak semata wayangnya. Memang, dari segala fisik, Balvita lebih mengikuti sang ibu dari pada sang ayah. Ia mematikan rokoknya disebuah tempat untuk mengumpulkan abu-abu dari rokok, lebih tepatnya adalah asbak. Kazuhiko meminum kopinya kembali dengan mengamati sang atasan mematikan rokoknya.
"Kau selalu saja jika diberi pertanyaan tentang kecantikan gadis-gadis maka jawabannya selalu mengangguk. Mengapa tidak kau ucapkan bahwa gadis itu cantik?"
"Bagi saya, semua gadis didunia ini memiliki paras yang sama. Hanya saja dibedakan dengan ciri khas negerinya masing-masing." Jawab Kazuhiko dengan santai.
"Apa kau tidak menyukai gadis yang cantik?"
"Saya lebih melihat seberapa gadis itu mencintai saya. Dari pada saya harus melihat seberapa cantik gadis tersebut."
Sang Jenderal mengangguk. Ia meminum kopi yang sedari tadi belum dirinya minum sama sekali. "Dan pastinya?" Ucapnya setelah meminum kopi yang sudah dingin.
Jenderal Ito Akeno memberi sejenak waktu untuk Kazuhiko menjawab pertanyaannya tadi. Pria gondrong itu menatap cangkir kopi yang kosong miliknya. Ia seperti diberikan sebuah pilihan yang membuatnya ragu untuk menjawab pertanyaan dari atasannya. Dengan menarik napasnya, ia tersenyum tipis.
"Sepertinya saya harus pulang, jenderal." Elak Kazuhiko dari pertanyaan yang membuatnya meragu untuk menjawab.
Tawa sang Jenderal memenuhi ruangan kerjanya. Dengan anggukan, ia mengizinkan Kazuhiko untuk pulang. Pria berklan Nakamura itu berdiri dan memberikan hormat sebelum dirinya berjalan kearah daun pintu.
"Kazuhiko." Panggil Jenderal Ito Akeno saat tangan Kazuhiko memegang gagang pintu. Kazuhiko pun membalikkan badannya, menatap pria tua yang sedang duduk.
"Jangan membuat kesalahan seperti saya. Cukup saya saja yang membuat kesalahan itu." Pesannya.
Kazuhiko yang tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Jenderal Ito Akeno hanya mengangguk. Setelah mengangguk, ia benar-benar keluar dari ruangan kerja yang hanya dipenuhi asap rokok dan beberapa kertas yang menumpuk. Langkah kaki yang panjang, langkah yang tegap, badan yang kekar, serta wajah yang tampan jelas membuat pembantu rumah tangga yang baru dirumah Jenderal Ito Akeno terkesima.
Pria gondrong itu berjalan tanpa tergoda pada gadis-gadis pribumi cantik yang sedang bekerja. Fokusnya kembali pada kopi yang memiliki rasa seperti buatan pembantunya, Adiratna Maryanti.
Dan tanpa Kazuhiko tahu. Langkahnya yang berjalan keluar benar-benar dilihat oleh dua gadis yang memiliki selisih umur tidak jauh. Adiratna Maryanti memandang Kazuhiko dengan rasa yang sama, kecewa. Dan Seodira memandang punggung Kazuhiko dengan rasa,
"Mungkin dia bisa membantu aku untuk keluar dari rumah ini dan bisa melihat alam semesta seperti yang Ratna ceritakan selalu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Batavia 1942 [Tamat]
Historical FictionTerlalu banyak negeri yang menginginkan tanah Indonesia menjadi salah satu bagian dari negeri mereka. Hingga negeri seindah Jepang pun menginginkan Indonesia dan salah satu tangan kanan dari seorang Jenderal menemukan sesuatu yang lebih indah dari n...