PROLOG

772 48 0
                                    

"Hompimpa alaikum. Gambreng!" (Dari Tuhan dan kembali ke Tuhan. Ayo, bermain!). Semua mata menatap tujuh telapak tangan yang menghadap ke atas.

"Hompimpa alaikum ...." (Dari Tuhan dan kembali ke Tuhan ...). Diucapkan bersama-sama, seraya menggoyangkan telapak tangan pada kedua sisi.

"Gambreng!" (Ayo, bermain!).

Enam telapak menghadap ke bawah. Wagon namanya, dengan kaus putih lusuh terlihat menggaruk kepala. Dia tahu apa yang harus dilakukan setelah mengetahui hasil undian telapak tangan yang tadi diucapkan bersama-sama.

"Gancang. Sun itung taker sepoloh, yok," (Cepat. Saya hitung sampai sepuluh, ya), ucap Wagon, seraya melangkah pada salah satu batang waru yang terlihat menghitam dalam remang siram cahaya purnama.

"Reng kono," (Di sana), pinta satu anak perempuan ketika mengetahui satu anak lainnya berdesakan untuk bersembunyi di balik rimbun pohon ceplok piring.

"Siji!" (Satu!). Wagon mulai menghitung, sekaligus tanda dimulai bagi sahabatnya untuk mencari tempat bersembunyi.

Lima anak lainnya berpencar. Terlihat sebagian menuju rimbun gelap di bawah pohon mundu.

"Loro!" (Dua!). Masih terdengar lantang.

"Telu!" (Tiga!).

"Papat." (Empat). Dengan terus meletakkan dua lengan pada batang waru, matanya terpejam.

Dalam remang siram bulan, tampak satu anak berpindah tempat bersembunyi setelah dirasa tak cukup aman baginya dan mungkin lebih mudah ditemukan.

"Limo!" (Lima!).

"Pindah byaen, yok. Konangan gedigenan dung dewen delik reng kene," (Pindah saja, ayo. Ketahuan sepertinya kalau kita bersembunyi di sini), bisiknya, satu anak yang terlihat bersembunyi berdua di balik rimbun beluntas.

"Riko byaen hang ngaleh. Kono ngaleh," (Kamu saja yang pergi. Sana pergi), balas bocah di sampingnya.

Dengan mengendap, bocah berbadan kurus itu pindah, terlihat menuju kebun jagung yang sudah mengeluarkan buah muda.

"Enem!" (Enam!). Masih terdengar suara Wagon.

"Pitu!" (Tujuh!).

"Wolu!" (Delapan!).

Dia masih bisa mendengar hitungan itu. Langkahnya terus menjauh menuju ke tengah kebun jagung, tempat yang dia yakini akan sulit bagi anak yang berjaga dan bertugas menemukannya.

"Songo!" (Sembilan!).

"Sepoloh!" (Sepuluh!).

Batas waktu bagi enam anak untuk mencari tempat bersembunyi sudah habis. Akan datang Wagon yang tadi terus berhitung untuk mencari keberadaan mereka.

Keadaan gelap sejenak saat gumpalan awan hitam menutup rembulan yang bulat penuh.

Wagon terus berjalan menuju rimbun dedaunan pagar, lalu terus menyibak.

Keresek!

Wagon dengan badan paling gempal meninggalkan tempat itu untuk terus berpindah dan mencari enam sahabatnya yang bersembunyi.

Keresek!

Segera dia menoleh setelah mendengar daun saling gesek. Berlari dia menuju arah samping, lalu menyibak.

"Barman!" teriaknya, setelah menemukan satu anak yang bersembunyi.

"He he he." Dengan menggaruk kepala, Barman yang bersembunyi tadi berdiri.

"Wes kono enteni reng ngesor waru. Sun goleti sulung hang liyane," (Sudah sana menunggu di bawah waru. Aku mau mencari yang lain), balas Wagon yang bertugas menemukan, seraya meninggalkan tempat itu.

Wagon menuju beluntas, kemudian dia menemukan satu anak bersembunyi dengan meringkuk. "Mujari! Carok to?" (Mujari! Ketahuan toh?).

"Aduh, konangan maning," (Aduh, ketahuan lagi), balas Mujari. Sama, dia lalu berjalan menuju pohon waru untuk berkumpul.

"Indah!"

"Parto!"

Satu persatu mulai ditemukan di balik tempat bersembunyi.

"Yani!"

Bahkan kini hanya menyisakan satu lagi sahabatnya untuk mengakhiri permainan petak umpet.

Lima anak sudah berkumpul di bawah pohon waru untuk menentukan putaran awal undian, sebelum mereka melakukan tahap awal lagi.

****

Sementara itu, bocah yang terus bersembunyi di pekat rimbun batang jagung yang berdaun rapat, mendongak. Terang purnama kembali jelas terlihat. Sekian lama dia bersembunyi, hingga mendengar satu langkah tak jauh dari tempatnya. Semakin erat dia memeluk tubuhnya sendiri.

Keresek!

Langkah itu terdengar makin dekat.

Dia yakin, kali ini Wagon akan segera menemukan dirinya. Dengan cara beringsut, dia makin membenamkan dirinya di sela rapat batang jagung, berharap itu tak terjadi.

****

"Caruk osing?" (Sudah temu belum?), tanya Barman, setelah mendapati Wagon berjalan menuju di mana lima lainnya berkumpul.

"Sing," ( Tidak), jawab Wagon.

"Yo, digoleti taker kecarok," (Ya, harus dicari sampai temu), timpal Yani, anak perempuan dengan kepang kuda.

"Nawi menek uwit." (Paling juga panjat pohon). Mujari mencoba menunjuk pohon mundu.

"Lik, Beng, wes bengi! Wes gancang moleh!" (Le, Nduk, sudah malam loh! Sudah cepat pulang!). Terdengar teriak perempuan dari ambang pintu rumah yang tak jauh dari bawah waru. Tampak pula dua obor tak jauh dari pagar jalan.

"Terus kelendai?" (Lalu bagaimana?), tanya Indah.

"Mak wes ngongkon campleng. Kelendai dung dewe goleti bareng-bareng byaen." (Mamak sudah menyuruh untuk menyudahi. Bagaimana kalau kita cari bersama-sama saja). Wagon terlihat pasrah.

"Wes ayok, bareng-bareng byaen nggoleti. Nawi sing adoh. Wes ayok, mencar," (Sudah ayo, bersama-sama saja mencarinya. Paling tidak jauh. Sudah ayo, berpencar), ajak Parto.

"Ayo."

Belum lagi mereka melangkah, Wagon memberikan tanda untuk memasang baik-baik pendengaran.

"Sst!"

"Krungu ta osing?" (Dengar apa tidak?). Dia berbalik lalu menatap mata satu persatu sahabatnya.

Semuanya menggeleng.

"Mau sun krungu sworone Wage. Berak." (Tadi aku mendengar suaranya Wage. Berteriak).

"Paran iyok?" (Apa iya?). Parto maju selangkah.

"Iyok. Sumpah! Reng kono asale." (Iya. Sumpah! Dari sana asalnya). Wagon menunjuk kebun jagung yang ada di belakang rumah.

"Sun sing krungu paran-paran," (Aku tidak mendengar apa-apa), timpal Yani menoleh Indah.

"Iyok ki. Sun yok sing krungu." (Iya juga. Aku tidak mendengarnya). Indah membenarkan.

"Akh!"

"Akh!"

"Akh!"

Sontak keenamnya terdiam. Jelas kini semua mendengar teriakan.

"Iyo! Iyo, iko kuryane Wage. Yok, Lik!" (Iya! Iya, itu pasti Wage. Ayo, Teman!). Didahului oleh Wagon, lalu semuanya berlari menuju arah kebun jagung.

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang