Gendis berjalan tergesa dalam pekat malam. Sinar perkampungan yang memancar lampu gantung makin jelas terlihat. Sejenak dia menoleh ke belakang, dan tenda dengan lampu petromaks yang sinarnya koma, sudah tak lagi terlihat.
"Buhuk. Bhuk!"
Gendis sontak menghentikan langkah saat di hadapannya terlihat sosok hitam berdiri di sisi jalan dengan memunggunginya.
Si ... siapa kamu!" Gendis mencoba menanyakan itu dengan peluh yang sontak meleleh di dahi.
"Buhuk. Buhuk." Kembali terbatuk-batuk.
"Apa maumu berdiri di situ." Gendis surut dua langkah ke belakang.
"Aku hanya mau menjemputmu. Kamu salah arah menuju jalan pulang," katanya.
Gendis menoleh ke segala arah. Yakin dia tak salah jalan, bahkan rumah-rumah perkampungan sudah jelas terlihat di ujung jalan.
"Kalau macam-macam akan aku adukan ini ...."
"Saring? Kau mengadukan kepada lelaki bodoh itu." Terdengar berat.
"Dari mana kau tahu! Katakan siapa kamu sebenarnya."
"Buhuk ... buhuk." Sosok itu perlahan membalikkan badan.
Gendis mencoba untuk mencari tahu sosok yang mengenakan udeng khas Osing itu.
"Ikut aku. Itu kalau kamu tak keberatan," ajaknya lalu melangkah pelan. Menyisakan Gendis yang masih berdiri bertanya-tanya.
"Aku akan mengantarmu," ucapnya lagi seraya menoleh ke arah Gendis.
Dan bodohnya, Gendis mengikuti apa yang dikatakan sosok lelaki dengan paduan celana gombroh hitam, satu warna dengan baju yang dia kenakan.
****
"Masuk. Jangan sungkan-sungkan."
Gendis melangkah masuk, tetapi menyeruak rasa aneh memenuhi isi kepalanya saat ruangan yang dia pijak bagai tak berdinding, begitu luas.
"Ini rumahku. Kamu dari tadi hanya berputar-putar saja di jalan itu."
"Berputar-putar?"
Lelaki itu mengangguk, tak lama kemudian ruangan terlihat terang saat pendar lampu yang digantung menyala.
"Mbah Kus!"
"Iya. Kita pernah berjumpa sebelumnya."
Dan itu terdengar mengerikan di telinga Gendis. Bukan tanpa sebab, pertemuan dengan Mbah Kus kala itu harus berakhir mengusap tengkuk saat Gendis dinyatakan hilang lima belas hari, Gendis masih mengingat cerita itu.
"Tidak, Mbah. Aku mau pulang!" Gendis berbalik, tetapi pintu yang dia lalui sudah menghilang, tak terlihat, bahkan kini, Gendis seperti berada di satu alam terbuka, bukan di dalam ruangan.
"Pulanglah, bila kamu telah membantu mereka."
"Membantu mereka? Mereka siapa?" Gendis berbalik lalu duduk di hadapan Mbah Kus, satu tanah gundukan dan bukan kursi kayu.
"Mereka menginginkan kalian."
"Mereka mengharapkan kalian menemukannya, lalu mengantarnya dengan layak."
"Aku makin tak mengerti apa yang Mbah Kus, katakan."
"Dengar. Kalian adalah orang luar Banjarsari yang berhasil menginjakkan kaki di kampung ini. Belum pernah ada orang lain yang menginjakkan kaki yang masuk ke Banjarsari melalui jalan paling timur."
"Kalian datang dengan aroma melati, sebagai tanda bahwa kalian datang untuk mereka." Sepertinya Mbah Kus langsung menyampaikan pesan kepada Gendis, meski Gendis memutar otak untuk mencernanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...