"Ada baiknya kalian menginap saja di rumahku," tawar satu lelaki, sebelum akhirnya sebagian berpisah di pertigaan jalan.
"Apa rumah Pakde Saring masih jauh, Kang."
"Panggil saja aku Kang Maksum. Kita bicara di dalam saja. Ayo."
"Mak!" teriaknya di depan pintu.
Krek.
Pintu terbuka, satu perempuan berkebaya muncul. "Apa Lindu sudah ditemukan, Pak?"
"Sudah. Tak jauh dari kuburan," jawabnya saat istrinya menyisi memberi jalan.
"Mari. Silakan masuk," ucap istri Kang Maksum, kepada keempatnya.
"Masuk, masuk. Beginilah keadaannya," kata Kang Maksum seraya mempersilakan untuk mereka duduk.
"Mereka akan ke rumah Pakde Saring, tetapi sepertinya besok pagi saja aku mengantarnya."
"Iya. Lagi pula, jalan menuju ke sana lumayan jauh," tegas istri Kang Maksum seraya melempar senyum ke arah Gendis.
"Masih jauh, Kang?"
"Iya. Ya, walaupun tidak begitu jauh. Kalian melewati bagian belakang kampung ini. Sebenarnya ada jalan yang umum orang lalui ketimbang menempuh sisi hutan yang bersebelahan dengan pekuburan."
"Tapi di perempatan jalan sana tadi ada penjual bakso yang ramai oleh anak-anak?" sela Puan.
"Penjual bakso?" Kang Maksum menoleh ke arah istrinya.
"Mana ada yang jualan bakso di tengah hutan itu. Hutan itu jarang dimasuki oleh orang kampung sini. Bahkan bila butuh kayu bakar, mereka lebih memilih hutan lain. Kecuali satu orang yang biasa memasukinya, dan itu hanya Pakde Saring."
"Jadi Pakde Saring sering melintas ke sini, Kang?" kejar Daryono.
"Iya. Untuk mencari kayu gelondongan," jawab Kang Maksum.
"Ah. Aku sudah tak sabar untuk bertemu Pakde Saring," timpal Gendis.
"Mak, kamu siapkan satu kamar di belakang buat mereka," pinta Kang Maksum kepada istrinya.
Tanpa diminta dua kali, istri Kang Maksum bergegas ke belakang.
"Seperti ini keadaan kampung kami. Sudah sering sebenarnya larangan orang tua untuk anak-anak agar tak main menjelang surup. Lindu entah anak ke berapa yang harus kami cari." Kang Maksum membuka cerita, awal akan secara kebetulan penduduk juga menemukan mereka.
"Dan seperti biasa, di hutan dekat kuburan tadi. Di sana biasa anak-anak akan disembunyikan."
"Disembunyikan?" Puan bertanya lalu menoleh ke arah Daryono.
"Iya," jawab Kang Maksum.
"Mereka akan diberi makan dengan daging busuk, kotoran hewan, atau bahkan cacing tanah. Sebenarnya, Wewe Gombel tak pernah melukai anak-anak yang dia culik, justru sebaliknya dia akan menjaga serta mengasuhnya sementara hingga suara berisik dari peralatan dapur memaksa dia mengembalikan anak tersebut," jabar Kang Maksum.
"Bahkan dulu pernah, tujuh anak sekaligus hilang."
"Hilang? Hilang bagaimana, Kang?" Mala mengerutkan dahi.
"Hilang. Ketujuh anak tersebut tak pernah kembali."
"Ha?"
"Apakah Wewe Gombel juga yang menyembunyikannya?"
"Seharusnya tidak. Alat dapur yang dipukul, cukup untuk membuat Wewe Gombel segera mengembalikan anak yang diculik," terang Kang Maksum.
"Ah, entah. Aku sendiri kurang paham apa yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya tujuh anak yang hilang, setelahnya akan banyak anak yang hilang setiap mereka memainkan salah satu dolanan, delikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...